Industri Tak Gunakan Kayu Ilegal
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) memastikan industri resmi tidak memanfaatkan kayu ilegal. Meski demikian, Kemen LHK menyampaikan bahwa persoalan illegal logging masih menjadi masalah besar di Indonesia.
Sekjen Kementerian LHK Hadi Daryanto mengatakan, pihaknya sudah melakukan kajian terkait supply-demand bahan baku untuk industri kehutanan di Tanah Air, termasuk kayu lapis, furnitur, kayu pertukangan, serta bubur kayu dan kertas. ”Terbukti, tidakada gap antarapasokan dan kebutuhan bahan baku kayu seperti yang dituduhkan,” kata dia dalam keterangan pers di Jakarta Selasa (24/2).
Diamenambahkan, memang ada perbedaan catatan nilai ekspor jika membandingkan data Kementerian LHK (Sistem Informasi Legalitas Kayu/SILK) dan Kementerian Perdagangan (Indonesian National Single Window/ INSW). Berdasarkan SILK, nilai ekspor produk kayu Indonesiapada2014lalusebesar USD6,6 miliar. Sementara, berdasarkan INSW mencapai USD9,8 miliar.
Hadi memaparkan, adanya perbedaan data dikarenakan SILK hanya mencatat produk berbasis kayu yang sudah diwajibkan untuk menggunakan dokumen v-legal dalam proses ekspor seperti diatur dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Produk tersebut adalah plywood, woodworking, dan bubur kayu. Sementara, produk furnitur dan sebagian produk kertas belum dikenai kewajiban SVLK meski sudah ada yang memanfaatkan dokumen v-legal dalam proses ekspornya.
”Jadi, yang dicatat di SILK hanya yang sudah diwajibkan saja. Sebagian produk kertas berorientasi ekspor yang berbahan baku kayu limbah, juga belum diwajibkan. Inilah yang memunculkan perbedaan angka ekspor antara Kementerian LHK dan Kemendag,” jelas Hadi. Terkait industri bubur kayu dan kertas, Hadi juga memastikan bahwa industri tersebut memanfaatkan bahan baku dari sumber yang resmi.
Kertas memiliki rantai pasokan bahan baku yang beragam, termasuk bubur kayu dari dalam negeri, bubur kayu impor, kertas bekas, dan bahan baku nonkayu. ”Tidak semua bahan baku untuk kertas berasal dari hutan. Kalau ada laporan yang menyatakan terjadi gap bahan baku pada industri pulp dan kertas, maka perlu dilakukan analisa lebih lanjut dengan mempertimbangkan kompleksitas rantai pasokan bahan baku,” katanya.
Sebagai gambaran, Hadi memaparkan analisa pemanfaatan bahan baku industri pulp dan kertas pada 2013. Saat itu produksi pulp nasional tercatat 3.987.390 ton dengan kebutuhan kayu sebanyak 17.225.526 m3 (1 ton pulp membutuhkan 4,32 m3 bahan baku kayu). Sementara, produksi bahan baku kayu yang bisa dimanfaatkan oleh industri pulp mencapai 36,1 juta m3 yang terdiri dari produksi dari hutan tanaman industri (HTI) sebesar 35,2 juta m3, 949.607 m3 dari izin sah lainnya, dan 7,9 juta dari berbagai sumber legal.
Menteri LHK Siti Nurbaya menegaskan bahwa masalah pembalakan liar masih terjadi di lapangan. Kemen LHK pun sedang mengumpulkan buktibukti akurat sejumlah kasus pembalakan liar skala besar. ”Pembalakan liar ini kejahatan yang luar biasa, seperti terorisme,” katanya.
Yanto kusdiantono/Ant
Sekjen Kementerian LHK Hadi Daryanto mengatakan, pihaknya sudah melakukan kajian terkait supply-demand bahan baku untuk industri kehutanan di Tanah Air, termasuk kayu lapis, furnitur, kayu pertukangan, serta bubur kayu dan kertas. ”Terbukti, tidakada gap antarapasokan dan kebutuhan bahan baku kayu seperti yang dituduhkan,” kata dia dalam keterangan pers di Jakarta Selasa (24/2).
Diamenambahkan, memang ada perbedaan catatan nilai ekspor jika membandingkan data Kementerian LHK (Sistem Informasi Legalitas Kayu/SILK) dan Kementerian Perdagangan (Indonesian National Single Window/ INSW). Berdasarkan SILK, nilai ekspor produk kayu Indonesiapada2014lalusebesar USD6,6 miliar. Sementara, berdasarkan INSW mencapai USD9,8 miliar.
Hadi memaparkan, adanya perbedaan data dikarenakan SILK hanya mencatat produk berbasis kayu yang sudah diwajibkan untuk menggunakan dokumen v-legal dalam proses ekspor seperti diatur dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Produk tersebut adalah plywood, woodworking, dan bubur kayu. Sementara, produk furnitur dan sebagian produk kertas belum dikenai kewajiban SVLK meski sudah ada yang memanfaatkan dokumen v-legal dalam proses ekspornya.
”Jadi, yang dicatat di SILK hanya yang sudah diwajibkan saja. Sebagian produk kertas berorientasi ekspor yang berbahan baku kayu limbah, juga belum diwajibkan. Inilah yang memunculkan perbedaan angka ekspor antara Kementerian LHK dan Kemendag,” jelas Hadi. Terkait industri bubur kayu dan kertas, Hadi juga memastikan bahwa industri tersebut memanfaatkan bahan baku dari sumber yang resmi.
Kertas memiliki rantai pasokan bahan baku yang beragam, termasuk bubur kayu dari dalam negeri, bubur kayu impor, kertas bekas, dan bahan baku nonkayu. ”Tidak semua bahan baku untuk kertas berasal dari hutan. Kalau ada laporan yang menyatakan terjadi gap bahan baku pada industri pulp dan kertas, maka perlu dilakukan analisa lebih lanjut dengan mempertimbangkan kompleksitas rantai pasokan bahan baku,” katanya.
Sebagai gambaran, Hadi memaparkan analisa pemanfaatan bahan baku industri pulp dan kertas pada 2013. Saat itu produksi pulp nasional tercatat 3.987.390 ton dengan kebutuhan kayu sebanyak 17.225.526 m3 (1 ton pulp membutuhkan 4,32 m3 bahan baku kayu). Sementara, produksi bahan baku kayu yang bisa dimanfaatkan oleh industri pulp mencapai 36,1 juta m3 yang terdiri dari produksi dari hutan tanaman industri (HTI) sebesar 35,2 juta m3, 949.607 m3 dari izin sah lainnya, dan 7,9 juta dari berbagai sumber legal.
Menteri LHK Siti Nurbaya menegaskan bahwa masalah pembalakan liar masih terjadi di lapangan. Kemen LHK pun sedang mengumpulkan buktibukti akurat sejumlah kasus pembalakan liar skala besar. ”Pembalakan liar ini kejahatan yang luar biasa, seperti terorisme,” katanya.
Yanto kusdiantono/Ant
(bbg)