Proyek Pelabuhan Cilamaya Ancam Kedaulatan Pangan
A
A
A
JAKARTA - Rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya di Karawang, Jawa Barat, dinilai dapat mengancam upaya pencapaian kedaulatan pangan Indonesia di tengah harga beras yang terus meningkat akhirakhir ini.
Pakar agronomi yang juga aktivis lingkungan hidup Emmy Hafidz mengatakan, jika pembangunan Pelabuhan Cilamaya dipaksakan, maka pemerintah akan kehilangan kawasan pertanian seluas 150.000 hektare (ha) per tahun atau setara dengan 650.000 ha dalam kurun waktu lima tahun.
Hal itu akibat konversi lahan pertanian menjadi perumahan dan industri sebagai dampak ikutan pembangunan Pelabuhan Cilamaya. “Kondisi demikian tentu kontraproduktif dengan target Presiden Joko Widodo yang akan mencetak 1 juta hektare lahan pertanian baru dalam waktu lima tahun. Bagaimana mungkin pemerintah akan membuka lahan baru jika yang sudah ada dan jelas sangat berkualitas saja akan dikorbankan demi pelabuhan,” kata Emmy dalam keterangan tertulisnya kemarin.
Emmy mengingatkan bahwa Karawang merupakan “periuk nasi” bangsa Indonesia karena produksi beras kabupaten tersebut merupakan yang terbesar dan terbaik di tanah air bahkan beras dengan kualitas nomor satu pun dihasilkan dari wilayah ini. “Kalau pun ada pencetakan lahan baru, belum tentu menyamai kualitas dan produktivitas lahan pertanian di Karawang,” katanya.
Menurut Emmy, ancaman itu tidak main-main karena hingga saat ini sudah dipastikan banyak spekulan yang mengincar tanah di daerah tersebut. “Begitu pembangunan dimulai, maka transaksi atas lahan pertanian secara besar-besaran akan terjadi,” katanya.
Emmy menuturkan, kondisi Cilamaya bakal persis seperti Cengkareng yang dahulu dikenal sebagai hutan mangrove di kawasan utara Jakarta, namun begitu bandara dibangun, tanaman bakau semakin habis sehingga saat ini hanya menyisakan 25 hektare saja.
“Ini benar-benar bahaya. Pemerintah harusnya tanggap dan segera menghentikan rencana proyek tersebut. Mengapa proyek tersebut seperti dipaksakan? Mengapa tidak digeser saja ke luar Jawa, seperti Kota Agung Lampung, yang merupakan pelabuhan alam,” katanya.
Untuk itulah, Emmy mendesak agar berbagai kajian yang dilakukan terkait Pelabuhan Cilamaya harus memasukkan bahasan mengenai pertanian di Karawang, tidak hanya kajian yang dilakukan Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo, namun juga amdal yang saat ini pun sebenarnya masih bermasalah.
Selain pertanian, pakar ternak ruminansia kecil IPB M Yamin menyatakan, potensi lain yang akan terganggu dengan munculnya Pelabuhan Cilamaya adalah peternakan. Menurut dia, kondisi alam seperti Cilamaya dan Karawang yang merupakan lumbung padi nasional jelas sangat mendukung bagi ternak domba dan kambing, bukan hanya kelembaban, namun juga kondisi tanah yang subur.
“Pada keadaan demikian tentu mendukung pula bagi pertumbuhan hijauan pakan ternak. Untuk padi saja bagus, apalagi untuk ternak,” katanya. Yamin menyatakan, jika pembangunan Pelabuhan Cilamaya dipaksakan, akan menjadi gangguan bagi peternakan di daerah tersebut.
Yanto kusdiantono
Pakar agronomi yang juga aktivis lingkungan hidup Emmy Hafidz mengatakan, jika pembangunan Pelabuhan Cilamaya dipaksakan, maka pemerintah akan kehilangan kawasan pertanian seluas 150.000 hektare (ha) per tahun atau setara dengan 650.000 ha dalam kurun waktu lima tahun.
Hal itu akibat konversi lahan pertanian menjadi perumahan dan industri sebagai dampak ikutan pembangunan Pelabuhan Cilamaya. “Kondisi demikian tentu kontraproduktif dengan target Presiden Joko Widodo yang akan mencetak 1 juta hektare lahan pertanian baru dalam waktu lima tahun. Bagaimana mungkin pemerintah akan membuka lahan baru jika yang sudah ada dan jelas sangat berkualitas saja akan dikorbankan demi pelabuhan,” kata Emmy dalam keterangan tertulisnya kemarin.
Emmy mengingatkan bahwa Karawang merupakan “periuk nasi” bangsa Indonesia karena produksi beras kabupaten tersebut merupakan yang terbesar dan terbaik di tanah air bahkan beras dengan kualitas nomor satu pun dihasilkan dari wilayah ini. “Kalau pun ada pencetakan lahan baru, belum tentu menyamai kualitas dan produktivitas lahan pertanian di Karawang,” katanya.
Menurut Emmy, ancaman itu tidak main-main karena hingga saat ini sudah dipastikan banyak spekulan yang mengincar tanah di daerah tersebut. “Begitu pembangunan dimulai, maka transaksi atas lahan pertanian secara besar-besaran akan terjadi,” katanya.
Emmy menuturkan, kondisi Cilamaya bakal persis seperti Cengkareng yang dahulu dikenal sebagai hutan mangrove di kawasan utara Jakarta, namun begitu bandara dibangun, tanaman bakau semakin habis sehingga saat ini hanya menyisakan 25 hektare saja.
“Ini benar-benar bahaya. Pemerintah harusnya tanggap dan segera menghentikan rencana proyek tersebut. Mengapa proyek tersebut seperti dipaksakan? Mengapa tidak digeser saja ke luar Jawa, seperti Kota Agung Lampung, yang merupakan pelabuhan alam,” katanya.
Untuk itulah, Emmy mendesak agar berbagai kajian yang dilakukan terkait Pelabuhan Cilamaya harus memasukkan bahasan mengenai pertanian di Karawang, tidak hanya kajian yang dilakukan Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo, namun juga amdal yang saat ini pun sebenarnya masih bermasalah.
Selain pertanian, pakar ternak ruminansia kecil IPB M Yamin menyatakan, potensi lain yang akan terganggu dengan munculnya Pelabuhan Cilamaya adalah peternakan. Menurut dia, kondisi alam seperti Cilamaya dan Karawang yang merupakan lumbung padi nasional jelas sangat mendukung bagi ternak domba dan kambing, bukan hanya kelembaban, namun juga kondisi tanah yang subur.
“Pada keadaan demikian tentu mendukung pula bagi pertumbuhan hijauan pakan ternak. Untuk padi saja bagus, apalagi untuk ternak,” katanya. Yamin menyatakan, jika pembangunan Pelabuhan Cilamaya dipaksakan, akan menjadi gangguan bagi peternakan di daerah tersebut.
Yanto kusdiantono
(ftr)