Gerakan Pembela Brand #SaveAhok
A
A
A
Malam minggu lalu saya hadir di acara ulang tahun Kick Andy yang ke-9. Inti acara ini adalah penganugerahan award untuk para pejuang sosial-kemanusiaan. Yang spesial dalam acara ini adalah pembaca award -nya dari kalangan menteri dan pejabat tinggi.
Salah satunya adalah Pak Ahok, Sang Gubernur DKI. Dalam pembacaan award -nya, beliau mengapresiasi program Kick Andy: “Kalau ada program acara yang didemenin’ sampai 9 tahun, itu berarti hebat”. Didemenin? Mungkin tidak banyak yang memperhatikan kalimat Pak Ahok, tetapi saya mengernyitkan kening dan menggarisbawahi kata didemenin yang disampaikan beliau pada sebuah acara yang cukup formal ini.
Tetapi, itulah ciri-ciri sebuah brand yang bernama Ahok! Kalau bahasanya biasa saja bukan Ahok namanya. Jadi, kalimat didemenin itu memperkuat ciri khasnya. Dalam berbagai wawancara, beliau sering menggunakan bahasa ‘Lu-Gue’ . Ini ekspresi egalitarian. Cuek. Gaya Ahok ini yang sedang diminati masyarakat, terutama oleh audience anak muda yang melihat beliau sebagai refleksi sifat ‘rebellion’ , tidak menyukai status quo.
Gaya bahasa merupakan satu paket dengan tawaran brand Ahok sebagai Agent of Change dan simbol “one-of-us“. Saat ini, di mana Ahok sedang berseteru dengan DPRD DKI, apa yang terjadi? Dukungan yang mengalir melalui tagar Menyelamatkan Ahok (#Save- Ahok) lebih deras dibandingkan kubu sebaliknya.
Dalam branding, yang memegang peranan penting adalah bagaimana membentuk persepsi di benak audiens. Ahok sudah terlebih dahulu “dekat” dengan masyarakat Jakarta yang ingin mengubah nasibnya. Saat perseteruan timbul, audiens telah mempunyai keterikatan emosional. Ini merupakan modal awal dalam terciptanya brand social movement #SaveAhok tersebut.
Yang bergerak bukan lagi sekedar para brand ambassador, tetapi sudah sampai pada tingkatan brand guardian, sang pembela brand. Berpikir tentang brandbrand yang berhasil di era modern ini, terlintas topik yang diangkat MIST (Marketing Insights) Conference FEUI Ke-11 tahun ini yaitu karakteristik urban customer.
Salah satu kunci keberhasilan brand di masa kini adalah mengikuti audience needs yang sudah bergeser minat dan karakteristiknya. Mari kita analisa pengelolaan brand modern: Brand Ahok dan resepnya memenangkan simpati massa.
Media Contact Point.
Masyarakat urban Jakarta adalah pengguna media sosial kelas berat. Sudah sejak lama Ahok eksis di media sosial dan ikut bermain di dalamnya. Akunnya @Basuki_btp mempunyai 2,4 juta pengikut. Ini contoh twit beliau di tanggal 1 Maret kemarin. “Teman-teman, terima kasih banyak atas dukungannya. Kita bersama perjuangkan transparansi anggaran, bukan sekedar seorang ahok”
Content dan Engagement
Di era di mana content adalah segalanya, tidak bisa hanya mengandalkan isi media dari pemilik brand sendiri. Gerakan #SaveAhok ini juga merupakan bagian dari upaya pengisian content secara serentak dan massal, mengisi pembicaraan di forum online
Interactivity:
Audiens mengharapkan komunikasi 2 arah. Mereka senang didengar, bukan hanya diminta mendengar. Memberikan kesempatan untuk dialog dan bisa dihubungi menggambarkan kesiapan brand Ahok di aspek interactivity . Nomor SMS dicantumkan di twitter Ahok: “SMS pengaduan: sms ke satu nomer saja sesuai kartu yang dipakai agar lebih murah. Sekretariat.gubdki- @gmail.com”
Creativity:
Setiap harinya beribu pesan di timeline seseorang belum tentu bisa menembus perhatian audiens. Tetapi dengan bantuan crowd sourcing yang kreatif misalnya dengan ekspresi gambar meme yang lucu-lucu, mempermudah penyampaian pesan gerakan social movement #SaveAhok.
Para tokoh anggota DPRD DKI, belum banyak yang masuk secara aktif di media sosial dan secara konsisten berdialog dengan masyarakat yang diwakilinya. Mereka berjarak dengan audiensnya. Para anggota DPRD DKI harus bisa bersaing dalam pengelolaan personal brand -nya dan sekaligus mengelola institutional brand mereka. Branding adalah “the Art of Shaping Audience Perceptions over time”. Mudah-mudahan masih banyak waktu untuk mengejar ketinggalan.
AMALIA E. MAULANA. PH.D.
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting
www.amaliamaulana.com
@etnoamalia
Salah satunya adalah Pak Ahok, Sang Gubernur DKI. Dalam pembacaan award -nya, beliau mengapresiasi program Kick Andy: “Kalau ada program acara yang didemenin’ sampai 9 tahun, itu berarti hebat”. Didemenin? Mungkin tidak banyak yang memperhatikan kalimat Pak Ahok, tetapi saya mengernyitkan kening dan menggarisbawahi kata didemenin yang disampaikan beliau pada sebuah acara yang cukup formal ini.
Tetapi, itulah ciri-ciri sebuah brand yang bernama Ahok! Kalau bahasanya biasa saja bukan Ahok namanya. Jadi, kalimat didemenin itu memperkuat ciri khasnya. Dalam berbagai wawancara, beliau sering menggunakan bahasa ‘Lu-Gue’ . Ini ekspresi egalitarian. Cuek. Gaya Ahok ini yang sedang diminati masyarakat, terutama oleh audience anak muda yang melihat beliau sebagai refleksi sifat ‘rebellion’ , tidak menyukai status quo.
Gaya bahasa merupakan satu paket dengan tawaran brand Ahok sebagai Agent of Change dan simbol “one-of-us“. Saat ini, di mana Ahok sedang berseteru dengan DPRD DKI, apa yang terjadi? Dukungan yang mengalir melalui tagar Menyelamatkan Ahok (#Save- Ahok) lebih deras dibandingkan kubu sebaliknya.
Dalam branding, yang memegang peranan penting adalah bagaimana membentuk persepsi di benak audiens. Ahok sudah terlebih dahulu “dekat” dengan masyarakat Jakarta yang ingin mengubah nasibnya. Saat perseteruan timbul, audiens telah mempunyai keterikatan emosional. Ini merupakan modal awal dalam terciptanya brand social movement #SaveAhok tersebut.
Yang bergerak bukan lagi sekedar para brand ambassador, tetapi sudah sampai pada tingkatan brand guardian, sang pembela brand. Berpikir tentang brandbrand yang berhasil di era modern ini, terlintas topik yang diangkat MIST (Marketing Insights) Conference FEUI Ke-11 tahun ini yaitu karakteristik urban customer.
Salah satu kunci keberhasilan brand di masa kini adalah mengikuti audience needs yang sudah bergeser minat dan karakteristiknya. Mari kita analisa pengelolaan brand modern: Brand Ahok dan resepnya memenangkan simpati massa.
Media Contact Point.
Masyarakat urban Jakarta adalah pengguna media sosial kelas berat. Sudah sejak lama Ahok eksis di media sosial dan ikut bermain di dalamnya. Akunnya @Basuki_btp mempunyai 2,4 juta pengikut. Ini contoh twit beliau di tanggal 1 Maret kemarin. “Teman-teman, terima kasih banyak atas dukungannya. Kita bersama perjuangkan transparansi anggaran, bukan sekedar seorang ahok”
Content dan Engagement
Di era di mana content adalah segalanya, tidak bisa hanya mengandalkan isi media dari pemilik brand sendiri. Gerakan #SaveAhok ini juga merupakan bagian dari upaya pengisian content secara serentak dan massal, mengisi pembicaraan di forum online
Interactivity:
Audiens mengharapkan komunikasi 2 arah. Mereka senang didengar, bukan hanya diminta mendengar. Memberikan kesempatan untuk dialog dan bisa dihubungi menggambarkan kesiapan brand Ahok di aspek interactivity . Nomor SMS dicantumkan di twitter Ahok: “SMS pengaduan: sms ke satu nomer saja sesuai kartu yang dipakai agar lebih murah. Sekretariat.gubdki- @gmail.com”
Creativity:
Setiap harinya beribu pesan di timeline seseorang belum tentu bisa menembus perhatian audiens. Tetapi dengan bantuan crowd sourcing yang kreatif misalnya dengan ekspresi gambar meme yang lucu-lucu, mempermudah penyampaian pesan gerakan social movement #SaveAhok.
Para tokoh anggota DPRD DKI, belum banyak yang masuk secara aktif di media sosial dan secara konsisten berdialog dengan masyarakat yang diwakilinya. Mereka berjarak dengan audiensnya. Para anggota DPRD DKI harus bisa bersaing dalam pengelolaan personal brand -nya dan sekaligus mengelola institutional brand mereka. Branding adalah “the Art of Shaping Audience Perceptions over time”. Mudah-mudahan masih banyak waktu untuk mengejar ketinggalan.
AMALIA E. MAULANA. PH.D.
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting
www.amaliamaulana.com
@etnoamalia
(bbg)