Disparitas Harga Pangan Jadi Masalah Krusial
A
A
A
JAKARTA - Dosen Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Edi Santosa mengatakan, masih adanya disparitas harga pangan masih menjadi permasalahan krusial di Tanah Air. Ketergantungan Indonesia terhadap impor komoditas, membuat negara tidak mengalami perbaikan dalam sektor pencapaian pangan.
"Kalau ditelusuri indeks pangan tidak naik maupun turun apalagi ketergantungan impor yang tinggi. Akses masyarakat dalam negeri yang terbatas terhadap pangan serta riset development kita masih kecil terhadap pangan," ujarnya di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Senin (9/3/2015).
Menurutnya, ketika ada pergerakan atau tekanan ditingkat global sangat mudah berdampak masuk ke dalam negeri. Sedangkan ketika ada isu di dalam negeri sulit untuk mengangkatnya ke ranah internasional.
Edi menjelaskan, pangan serta energi merupakan sektor yang relatif cepat bertumbuh dibandingkan dengan sektor lainnya. Terlebih adanya keterkaitan erat antara pangan dan energi.
"Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik maka harga pangan juga naik, namun bila harga minyak turun 60% maka berdampak pada harga pangan turun 2,8%. Lalu meningkatkan indeks ketahanan pangan pada 79 dari 109 negara," jelas dia.
Kedua sektor tersebut dinilainya dapat dilihat sebagai pencapaian dalam 100 hari pemerintahan Jokowi-JK. Pada sisi energi, Edi mengimbau pemerintahan Jokowi harus melakukan pembaharuan atas kontribusi minyak dan gas (migas) sebagai penopang ekonomi dalam negeri.
Sekadar informasi, berdasarkan rilis Global Food Security Index Januari tahun ini, dijelaskan bila adanya keterkaitan erat antara pangan dan energi. Di antaranya dengan harga minyak yang turun 60%, maka harga pangan turun 2,8%, dan meningkatkan indeks ketahanan pangan pada 79 dari 109 negara. Selain itu, harga pangan tahun ini akan semakin murah karena biaya transportasi.
"Kalau ditelusuri indeks pangan tidak naik maupun turun apalagi ketergantungan impor yang tinggi. Akses masyarakat dalam negeri yang terbatas terhadap pangan serta riset development kita masih kecil terhadap pangan," ujarnya di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Senin (9/3/2015).
Menurutnya, ketika ada pergerakan atau tekanan ditingkat global sangat mudah berdampak masuk ke dalam negeri. Sedangkan ketika ada isu di dalam negeri sulit untuk mengangkatnya ke ranah internasional.
Edi menjelaskan, pangan serta energi merupakan sektor yang relatif cepat bertumbuh dibandingkan dengan sektor lainnya. Terlebih adanya keterkaitan erat antara pangan dan energi.
"Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik maka harga pangan juga naik, namun bila harga minyak turun 60% maka berdampak pada harga pangan turun 2,8%. Lalu meningkatkan indeks ketahanan pangan pada 79 dari 109 negara," jelas dia.
Kedua sektor tersebut dinilainya dapat dilihat sebagai pencapaian dalam 100 hari pemerintahan Jokowi-JK. Pada sisi energi, Edi mengimbau pemerintahan Jokowi harus melakukan pembaharuan atas kontribusi minyak dan gas (migas) sebagai penopang ekonomi dalam negeri.
Sekadar informasi, berdasarkan rilis Global Food Security Index Januari tahun ini, dijelaskan bila adanya keterkaitan erat antara pangan dan energi. Di antaranya dengan harga minyak yang turun 60%, maka harga pangan turun 2,8%, dan meningkatkan indeks ketahanan pangan pada 79 dari 109 negara. Selain itu, harga pangan tahun ini akan semakin murah karena biaya transportasi.
(izz)