China Pelajari Sejarah Ekonomi Jepang

Selasa, 10 Maret 2015 - 09:54 WIB
China Pelajari Sejarah Ekonomi Jepang
China Pelajari Sejarah Ekonomi Jepang
A A A
BEIJING - Para regulator China mengambil pelajaran dari sejarah ekonomi Jepang agar Negeri Panda dapat terhindar dari resesi dan deflasi yang telah terjadi di Negeri Sakura selama 20 tahun terakhir.

Beijing menganggap langkah Tokyo meliberalisasi aliran modal dan yen selama lebih 30 tahun silam sebagai faktor kunci yang memicu terciptanya gelembung aset di Jepang pada awal 1990-an. Hal itu diungkapkan pejabat Pemerintah Jepang dan sumber lain yang memiliki kontak langsung dengan para regulator China.

“Mereka tidak tertarik dengan kesuksesan Jepang. Ketertarikan terbesar mereka ialah pada kesalahan Jepang. Ekonomi Jepang dan China memiliki banyak kemiripan, jadi saya asumsikan ada banyak yang dapat dipelajari dari pengalaman kami,” ungkap sumber yang berbasis di China yang dekat dengan para regulator di Negeri Panda kepada kantor berita Reuters kemarin.

Para pembuat kebijakan dan analis China di berbagai lembaga think tank pemerintah telah mendalami pengalaman Jepang dan negara-negara lain. Sumber itu menjelaskan, komunikasi dua pihak, baik oleh pemerintah maupun sektor swasta, terus terjadi meskipun ada masalah diplomasi antara kedua negara sejak 2012.

Meski demikian, saat pertumbuhan ekonomi melemah dan ada tanda-tanda deflasi, ketertarikan China pada Jepang meningkat, terutama sekitar kebijakan pemerintah Negeri Sakura. Saat pertemuan parlemen tahunan yang dimulai pada Kamis (5/3) lalu, China mengumumkan target pertumbuhan ekonomi sekitar 7% pada tahun ini, turun dari 7,4% pada 2014, atau level terlemah dalam 24 tahun.

China menerapkan tiga reformasi keuangan utama Jepang selama dekade lalu, yakni liberalisasi suku bunga, internasionalisasi mata uang, dan membuka aliran modalnya. Reformasi ini harus membantu mengembangkan perekonomian, tapi kesalahan langkah dapat memiliki dampak yang besar.

Para pembuat kebijakan China melihat Plaza Accord 1985 antara Jepang dan kekuatan Barat, yang secara efektif menyetujui yen yang lebih kuat dan membuka aliran modal selama 1980-an dan 1990-an, sebagai momen penting bagi Tokyo yang pada puncaknya mengakibatkan Jepang merugi dua dekade.

Penguatan yen setelah kesepakatan itu memukul pelaku ekspor utama Jepang, yakni para produsen automotif sehingga terpaksa memindahkan lebih banyak produksi keluar negeri. Hal ini mulai mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan memaksa Bank Sentral Jepang menerapkan kebijakan moneter dana murah.

Dana yang melimpah akibat kebijakan pemerintah, disertai dana asing setelah liberalisasi neraca modal, membanjiri bursa saham, properti dan aset lainnya. “China telah menerapkan pelajaran dari pengalaman Jepang. Meskipun saat pertumbuhan melemah, para pembuat kebijakan China tidak mengambil kebijakan yang dapat meningkatkan ketidakseimbangan keuangan. Itu sangat bijak,” ungkap anggota dewan Bank Sentral Jepang Takahide Kiuchi saat konferensi pers di Maebashi, utara Tokyo.

Meskipun saat gelembung aset terbentuk, Jepang tidak mampu memperketat kebijakan moneter karena dampaknya terhadap Amerika Serikat (AS), mitra terbesarnya. “Salah satu pelajaran dari pengalaman Jepang ialah mencapai stabilitas ekonomi domestik harus menjadi prioritas utama para pembuat kebijakan dibandingkan pertimbangan internasional,” ujar Kiuchi.

Sementara itu, surplus perdagangan bulanan China menyentuh 370,5 miliar yuan (sekitar Rp771 triliun) pada Februari lalu. Ini merupakan rekor baru untuk negara ekonomi terbesar kedua dunia tersebut. “Ekspor naik 48,9% year on year (yoy) menjadi 1.04 triliun yuan. Adapun impor turun 20,1% menjadi 666,1 miliar yuan,” ungkap laporan Badan Bea Cukai China, dikutip kantor berita AFP .

Surplus perdagangan China naik di atas rekor tertinggi bulanan sebelumnya yakni 366,9 miliar yuan pada Januari. Ini terkait dengan kenaikan ekspor menjelang tahun baru China pada 19 Februari lalu. “Dipengaruhi faktor Festival Musim Semi, perusahaan-perusahaan ekspor di negara ini meningkatkan ekspor menjelang hari libur dan hanya kembali bekerja setelah itu,” papar Badan Bea Cukai China.

Tahun baru China bertepatan pada 31 Januari pada 2014, diikuti hari libur nasional satu pekan sehingga perbandingannya lebih rendah pada Februari ini. Untuk dua bulan pertama tahun ini, surplus perdagangan China sebesar 737,4 miliar yuan.

Syarifudin
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4689 seconds (0.1#10.140)