Pembangunan Pelabuhan Cilamaya Langgar UU Tata Ruang
A
A
A
JAKARTA - Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) M Riza Damanik menilai, pembangunan pelabuhan Cilamaya menyalahi tata ruang, karena berdasarkan Perda No 2/2012 tentang Tata Ruang Kabupaten Karawang, Jabar, wilayah Kecamatan Tempuran dan sekitarnya, merupakan kawasan pertanian.
"Strategi pembangunan sesuai Pasal 5, bahwa prioritas pembangunan di Karawang khususnya di kawasan Tempura, itu untuk kawasan pertanian," kata dia dalam rilisnya, Rabu (11/3/2015).
Kemudian, pada pasal 38 Perda tersebut menyatakan, kawasan Kecamatan Tempuran dan sekitarnya merupakan wilayah budi daya perikanan. Dua Pasal tersebut harusnya menjadi landasan untuk memastikan menumbuhkembangkan pertanian dan perikanan di wilayah tersebut, bukan untuk membangun pelabuhan.
"Itu terang, bahwa pembangunan Cilamaya bertabrakan dengan Perda Tata Ruang Karawang. Ada 70 ribu keluarga yang sejatinya bergantung pada potensi perikanan di pesisir Karawang," ujarnya.
Selain bertentangan dengan Perda Tata Ruang Karawang, pembangunan Pelabuhan Clamaya juga berpotensi melanggar UU Kelautan No 32/2014 menyatakan, bahwa laut selain mempunyai fungsi strategis sumber pangan juga sangat melindungi lingkungan berdasarkan daya dukung yang ada, serta kearifan lokal.
"Saya kira tidak salah, nelayan dan petani keberatan dengan pembangunan pelabuhan di Cilamaya, karena memang kita melihat secara faktual, pelabuhan itu menyingkirkan nelayan dan petani karena dampak lingkungan dari pembangunan itu. Kami KNTI menolak pembangunan pelabuhan Cilamaya," jelas Riza.
Pihaknya juga menilai rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya terbilang janggal, karena tidak masuk dalam rancangan pembangunan menengah Bapenas 2015-2019, yakni akan mengembangkan 24 pelabuhan selama lima tahun ke depan terkait rencana tol laut pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
"Dari 24 pelabuhan itu, lima di antaranya pelabuhan utama yakni di Sumut, Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Sorong. 19 lainnya pelabuhan pendukung. Pembangunan tol laut itu, baik lima pelabuhan dan 19 lainnya, sama sekali tidak ada Cilamaya," jelasnya.
Sementara, aktivis lingkungan Ubaidilah menilai pembangunan Pelabuhan Cilamaya lebih banyak mudarat daripada manfaatnya, karena mengancam kehidupan nelaya, kearifan lokal, sosoial budaya, lumbung padi atau pertanian, potensi laut, serta produksi minyak dan gas.
"Selain harus mendapat persetujuan masyarakat, juga harus perhatikan UU lingkungan hidup, perairan, pertanian, dan seterusnya. Kalau kita kaji tata ruangnya, itu jauh dari kelayakan," pungkas Ubaidilah.
"Strategi pembangunan sesuai Pasal 5, bahwa prioritas pembangunan di Karawang khususnya di kawasan Tempura, itu untuk kawasan pertanian," kata dia dalam rilisnya, Rabu (11/3/2015).
Kemudian, pada pasal 38 Perda tersebut menyatakan, kawasan Kecamatan Tempuran dan sekitarnya merupakan wilayah budi daya perikanan. Dua Pasal tersebut harusnya menjadi landasan untuk memastikan menumbuhkembangkan pertanian dan perikanan di wilayah tersebut, bukan untuk membangun pelabuhan.
"Itu terang, bahwa pembangunan Cilamaya bertabrakan dengan Perda Tata Ruang Karawang. Ada 70 ribu keluarga yang sejatinya bergantung pada potensi perikanan di pesisir Karawang," ujarnya.
Selain bertentangan dengan Perda Tata Ruang Karawang, pembangunan Pelabuhan Clamaya juga berpotensi melanggar UU Kelautan No 32/2014 menyatakan, bahwa laut selain mempunyai fungsi strategis sumber pangan juga sangat melindungi lingkungan berdasarkan daya dukung yang ada, serta kearifan lokal.
"Saya kira tidak salah, nelayan dan petani keberatan dengan pembangunan pelabuhan di Cilamaya, karena memang kita melihat secara faktual, pelabuhan itu menyingkirkan nelayan dan petani karena dampak lingkungan dari pembangunan itu. Kami KNTI menolak pembangunan pelabuhan Cilamaya," jelas Riza.
Pihaknya juga menilai rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya terbilang janggal, karena tidak masuk dalam rancangan pembangunan menengah Bapenas 2015-2019, yakni akan mengembangkan 24 pelabuhan selama lima tahun ke depan terkait rencana tol laut pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
"Dari 24 pelabuhan itu, lima di antaranya pelabuhan utama yakni di Sumut, Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Sorong. 19 lainnya pelabuhan pendukung. Pembangunan tol laut itu, baik lima pelabuhan dan 19 lainnya, sama sekali tidak ada Cilamaya," jelasnya.
Sementara, aktivis lingkungan Ubaidilah menilai pembangunan Pelabuhan Cilamaya lebih banyak mudarat daripada manfaatnya, karena mengancam kehidupan nelaya, kearifan lokal, sosoial budaya, lumbung padi atau pertanian, potensi laut, serta produksi minyak dan gas.
"Selain harus mendapat persetujuan masyarakat, juga harus perhatikan UU lingkungan hidup, perairan, pertanian, dan seterusnya. Kalau kita kaji tata ruangnya, itu jauh dari kelayakan," pungkas Ubaidilah.
(izz)