Infrastruktur Industri Belum Memadai
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah pusat dan daerah dinilai lamban dalam mengantisipasi kebutuhan infrastruktur, konektivitas, dan layanan logistik saat perekonomian berkembang dengan cepat.
Anggota Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Ina Primiana mengatakan, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini belum menjawab kebutuhan infrastruktur bagi industri.
“Pembangunan infrastruktur seharusnya 5% dari PDB (produk domestik bruto). Harusnya dianggarkan Rp500 triliun tetapi kita hanya mampu Rp200 triliun,” ujar dia di Jakarta kemarin. Dia menambahkan, saat ini rata-rata anggaran infrastruktur yang telah dialokasikan oleh pemerintah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) baru sekitar 3% dari PDB.
Sehingga diperkirakan, empat tahun ke depan kemampuan pemerintah menanggung pembiayaan infrastruktur hanya sekitar 30%. Persentase itu jauh di bawah negara lain seperti India 7% dan Malaysia yang mencapai 9% dari PDB. Menurut Ina, lemahnya pembangunan infrastruktur di Tanah Air juga ditengarai tidak berjalannya koordinasi antarkementerian.
Dia menduga, selama ini infrastruktur yang dibangun tanpa melihat kebutuhan industri. “Ini terlihat dari biaya logistik yang masih saja tidak murah,” tegasnya. Dia mencontohkan, saat akan membangun di Indonesia bagian timur, semua kementerian harus duduk bersama sehingga tahu industri apa yang ingin dibangun dan apa saja yang masih kurang.
“Memang egosektoral masih tinggi sehingga harus dihindari. Harus lihat persoalan yang dihadapi oleh industri dan dunia usaha,” ungkapnya. Ina menambahkan, apabila ingin menarik investor lebih banyak, maka masalah-masalah seperti perizinan, peraturan, dan gangguan iklim usaha seharusnya bisa dihilangkan.
Kemudian, ketika investor hendak menanamkan modalnya di Indonesia, harus melihat bahwa infrastruktur sudah ada. “Contoh, rencana Pelabuhan Cilamaya muncul karena Jepang merasa pembangunan kita tidak memikirkan industri yang ada di Jabotabek. Tanpa pikir panjang, bangun Cilamaya tanpa melihat ada pipa Pertamina,” ujarnya.
Dia menambahkan, rencana itu sah-sah saja karena Jepang ingin menyelamatkan usahanya. Menurutnya, infrastruktur di beberapa kawasan industri juga belum didukung kementerian lain. “Baru Kementerian Perindustrian, yang lain belum. Tidak bisa industri berjalan sendiri,” imbuhnya.
Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian Imam Haryono mengatakan, pembangunan infrastruktur akan mendukung 14 kawasan industri di luar Jawa. Adapun, kebutuhan penanganan infrastruktur untuk mendukung 13 kawasan industri bisa mencapai Rp55,444.8 triliun yang meliputi sejumlah proyek strategis seperti pelabuhan, jalan tol, jalan, kereta api, listrik, dan bandara.
Dia menambahkan, pembangunan infrastruktur di kawasan industri akan dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). “Tahap perencanaan ada di Bappenas. Sementara, tahap implementasi itu ada di Kementerian Koordinator. Saya kira itu harus dikoordinasikan,” tandasnya.
oktiani endarwati
Anggota Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Ina Primiana mengatakan, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini belum menjawab kebutuhan infrastruktur bagi industri.
“Pembangunan infrastruktur seharusnya 5% dari PDB (produk domestik bruto). Harusnya dianggarkan Rp500 triliun tetapi kita hanya mampu Rp200 triliun,” ujar dia di Jakarta kemarin. Dia menambahkan, saat ini rata-rata anggaran infrastruktur yang telah dialokasikan oleh pemerintah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) baru sekitar 3% dari PDB.
Sehingga diperkirakan, empat tahun ke depan kemampuan pemerintah menanggung pembiayaan infrastruktur hanya sekitar 30%. Persentase itu jauh di bawah negara lain seperti India 7% dan Malaysia yang mencapai 9% dari PDB. Menurut Ina, lemahnya pembangunan infrastruktur di Tanah Air juga ditengarai tidak berjalannya koordinasi antarkementerian.
Dia menduga, selama ini infrastruktur yang dibangun tanpa melihat kebutuhan industri. “Ini terlihat dari biaya logistik yang masih saja tidak murah,” tegasnya. Dia mencontohkan, saat akan membangun di Indonesia bagian timur, semua kementerian harus duduk bersama sehingga tahu industri apa yang ingin dibangun dan apa saja yang masih kurang.
“Memang egosektoral masih tinggi sehingga harus dihindari. Harus lihat persoalan yang dihadapi oleh industri dan dunia usaha,” ungkapnya. Ina menambahkan, apabila ingin menarik investor lebih banyak, maka masalah-masalah seperti perizinan, peraturan, dan gangguan iklim usaha seharusnya bisa dihilangkan.
Kemudian, ketika investor hendak menanamkan modalnya di Indonesia, harus melihat bahwa infrastruktur sudah ada. “Contoh, rencana Pelabuhan Cilamaya muncul karena Jepang merasa pembangunan kita tidak memikirkan industri yang ada di Jabotabek. Tanpa pikir panjang, bangun Cilamaya tanpa melihat ada pipa Pertamina,” ujarnya.
Dia menambahkan, rencana itu sah-sah saja karena Jepang ingin menyelamatkan usahanya. Menurutnya, infrastruktur di beberapa kawasan industri juga belum didukung kementerian lain. “Baru Kementerian Perindustrian, yang lain belum. Tidak bisa industri berjalan sendiri,” imbuhnya.
Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian Imam Haryono mengatakan, pembangunan infrastruktur akan mendukung 14 kawasan industri di luar Jawa. Adapun, kebutuhan penanganan infrastruktur untuk mendukung 13 kawasan industri bisa mencapai Rp55,444.8 triliun yang meliputi sejumlah proyek strategis seperti pelabuhan, jalan tol, jalan, kereta api, listrik, dan bandara.
Dia menambahkan, pembangunan infrastruktur di kawasan industri akan dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). “Tahap perencanaan ada di Bappenas. Sementara, tahap implementasi itu ada di Kementerian Koordinator. Saya kira itu harus dikoordinasikan,” tandasnya.
oktiani endarwati
(bbg)