Larangan Ekspor Mineral Perlu Dilanjutkan

Rabu, 18 Maret 2015 - 08:51 WIB
Larangan Ekspor Mineral Perlu Dilanjutkan
Larangan Ekspor Mineral Perlu Dilanjutkan
A A A
JAKARTA - Kebijakan relaksasi ekspor kepada perusahaan mineral tambang dinilai sebagai sikap inkonsisten yang bertentangan dengan Undang- Undang (UU) Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).

Karena itu, laranganeksporyangtelahditerapkan sejak 12 Januari 2014 itu perlu dilanjutkan. “Larangan ekspor mineral mentah merupakan wewenang pemerintah selaku penguasa sumber daya alam. Kalau pemerintah mau membuka kembali keran ekspor kepada semua perusahaan tambang mineral, pemerintah akan dinilai tidak konsisten dari sisi kebijakan,” ujar pengamat pertambangan Simon Sembiring di Jakarta kemarin.

Simon mengatakan, pemerintah sebenarnya telah melanggar UU Minerba karena memberikan relaksasi ekspor kepada perusahaan tertentu. Dalam UU Minerba sudah tegas dinyatakan bahwa perusahaan pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi lima tahun wajib melakukan pemurnian. Tetapi, pemerintah malah memberikan kelonggaran dengan memberikan kesempatan ekspor dalam bentuk konsentrat.

Pakar hukum pertambangan dari Universitas Hasanuddin Abrar Saleng menambahkan, hilirisasi merupakan wujud keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri pertambangan. Jika tidak dilakukan pengolahan di dalam negeri, kekayaan sumber daya alam ini pun tidak akan berbekas dan kurang memberi manfaat maksimal. Abrar menambahkan, harus diakui kemajuan dari pelaksanaan kebijakan hilirisasi terbilang kurang selama setahun belakangan.

“Salah satu ketegasan pemerintah bisa dinyatakan lewat konsistensi penerapan kebijakan larangan ekspor. Jika UU Minerba mengamanatkan agar tidak ada ekspor mineral, maka itu harus diterapkan. Jangan malah membuka keran ekspor mineral,” katanya.

Anggota Komisi VII DPR Kurtubi menegaskan, hilirisasi akan memberikan manfaat yang besar bagi negara. Menurut dia, Indonesia selama ini mengirim bahan baku ke luar negeri dan menyumbang kemajuan industri di negara lain. Undang-undang memberi waktu lima tahun sejak 2009 untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), tetapi sampai sekarang hampir belum ada fasilitas baru yang beroperasi.

“Karena itu, seharusnya pemerintah memaksa perusahaan tambang untuk membangun smelter di lokasi tambangnya seperti di Papua dan Sumbawa. Perusahaan tambang juga akan mendapatkan banyak kemudahan, lebih efisien, dan memberikan nilai tambah yang besar bagi masyarakat di lokasi tambang,” katanya.

Anton c
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6621 seconds (0.1#10.140)