Rupiah Loyo, Pengusaha Tak Tertarik Kembangkan SPBG
A
A
A
JAKARTA - Kalangan pengusaha tidak tertarik investasi mengembangkan infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) manakala harga rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Presiden Direktur PT Gagas Energi Indonesia Danny Praditya mengungkapkan ketidaktertarikannya mengembangkan bisnis infrastruktur gas. Hal itu lantaran saat membeli gas menggunakan USD, sementara menjualnya dengan rupiah.
"Harus menunggu dulu biar rupiah naik karena kalau harga dolar semacam ini maka sulit dijalankan," ujarnya di Jakarta, Kamis (19/3/2015).
Menurut dia, saat harga rupiah merosot maka harga jual Compress Natural Gas (CNG) tidak memcapai pas harga keekonomiannya. Maka, pengusaha akan lebih memilih mengurungkan niatnya dalam bisnis ini terlebih dahulu.
"Dengan kondisi seperti ini atau tidak mencapai keekonomian swasta belum akan bergerak membangun," kata Danny.
Pihaknya berharap, pemerintah memberikan kemudahan swasta mengembangkan SPBG seperti yang dilakukan BUMN Migas dengan memberikan alokasi sama dengan perusahaan BUMN.
"Seharusnya swasta diberi alokasi sama agar equal in field. Ini bagian tugas kita sebagai BUMN tapi tidak mungkin menutup kemungkinan swasta ikut serta," jelas dia.
Di sisi lain, merosotnya harga minyak dunia juga mengakibatkan bisnis infrastruktur gas tidak bergairah. Pasalnya, penjualan BBG menjadi stagnan walaupun konsumsi BBG sebelumnya mengalami peningkatan.
"Secara keekonomian memang CNG lebih murah meskipun harga minyak rendah tapi efeknya memang menjadi stagnan," pungkas dia.
Presiden Direktur PT Gagas Energi Indonesia Danny Praditya mengungkapkan ketidaktertarikannya mengembangkan bisnis infrastruktur gas. Hal itu lantaran saat membeli gas menggunakan USD, sementara menjualnya dengan rupiah.
"Harus menunggu dulu biar rupiah naik karena kalau harga dolar semacam ini maka sulit dijalankan," ujarnya di Jakarta, Kamis (19/3/2015).
Menurut dia, saat harga rupiah merosot maka harga jual Compress Natural Gas (CNG) tidak memcapai pas harga keekonomiannya. Maka, pengusaha akan lebih memilih mengurungkan niatnya dalam bisnis ini terlebih dahulu.
"Dengan kondisi seperti ini atau tidak mencapai keekonomian swasta belum akan bergerak membangun," kata Danny.
Pihaknya berharap, pemerintah memberikan kemudahan swasta mengembangkan SPBG seperti yang dilakukan BUMN Migas dengan memberikan alokasi sama dengan perusahaan BUMN.
"Seharusnya swasta diberi alokasi sama agar equal in field. Ini bagian tugas kita sebagai BUMN tapi tidak mungkin menutup kemungkinan swasta ikut serta," jelas dia.
Di sisi lain, merosotnya harga minyak dunia juga mengakibatkan bisnis infrastruktur gas tidak bergairah. Pasalnya, penjualan BBG menjadi stagnan walaupun konsumsi BBG sebelumnya mengalami peningkatan.
"Secara keekonomian memang CNG lebih murah meskipun harga minyak rendah tapi efeknya memang menjadi stagnan," pungkas dia.
(izz)