Efek Disposisi

Minggu, 22 Maret 2015 - 10:18 WIB
Efek Disposisi
Efek Disposisi
A A A
Sebagai investor saham langsung, menurut Anda, apa kesalahan utama yang kerap dilakukan investor saham ritel baik di BEI maupun bursa lainnya di dunia? Saya pun pernah mengalaminya.

Shefrin dan Statman (1985) mengatakan, investor paling sering sering terkena efek disposisi yaitu sell the winners too soon and hold the losers too long atau menjual saham untung terlalu cepat dan memegang saham rugi terlalu lama. Anda masih tidak mau mengakui mengalami bias ini?

Silakan periksa portofolio Anda. Jika saham pecundang dalam portofolio Anda lebih banyak daripada saham pemenang, tentunya Anda sulit untuk mengelak. Alternatif lain untuk mengujinya adalah dengan membuka catatan penjualan saham yang telah Anda lakukan selama setahun terakhir.

Jika saham yang sudah Anda lepas tersebut lebih banyak saham yang untung daripada yang rugi, Anda positif mengalami efek ini. Akibat dari bias ini adalah, hampir tidak ada saham dalam portofolio seorang investor yang memberikan return puluhan hingga ratusan persen. Saham-saham yang berpotensi untung besar itu sudah dijualnya.

Dengan kata lain, mereka yang mengalami bias ini akan lebih banyak merealisasikan keuntungan daripada kerugian dan menyimpan kerugian daripada merealisasikannya. Terakhir, masih ada cara lain untuk memastikan Anda terpengaruh efek ini.

Selama tahun ini, silakan bandingkan keuntungan hasil penjualan saham Anda (realized gain ) dengan keuntungan yang ada dalam portofolio Anda (unrealized gain ). Jika realized gain lebih besar daripada unrealized gain , Anda terkena efek ini. Ketika Camerer dan Weber (1998) melakukan penelitian ini, mereka mendapatkan ketiga pendekatan di atas memberikan hasil yang sama.

Mengapa ini dapat terjadi? Teori portofolio klasik tidak mampu menjelaskan fenomena ini dengan baik. Anda perlu mempelajari behavioral finance untuk memahami fenomena ini. Berikut penjelasannya.

Loss Averse

Berbeda dengan teori keuangan modern yang mengatakan manusia itu adalah risk averse, behavioral finance menyatakan manusia itu sebenarnya loss averse , dan bukan risk averse. Buktinya, saat harga sahamnya turun di bawah harga belinya, investor ritel cenderung untuk menahannya dengan harapan harga sahamnya kembali naik dan kerugian berubah menjadi keuntungan.

Berbagai studi yang telah dilakukan menunjukkan manusia merasakan kerugian jauh lebih dalam dan lebih lama daripada efek keuntungan dengan jumlah uang yang sama (Kahneman dan Tversky, 1979). Siapa pun sepakat jika kerugian selalu membawa kesedihan dan kekecewaan sementara keuntungan mendatangkan kepuasan dan kesenangan.

Namun, derajat kesedihan dan kesenangan yang ditimbulkan untuk nilai uang yang sama adalah berbeda. Dampak kerugian Rp1 juta relatif lebih besar daripada efek keuntungan Rp1 juta. Kurva kepuasan (utilitas) di daerah keuntungan adalah konkaf sementara kurva utilitas di daerah kerugian adalah konveks.

Dalam investasi saham, kerugian berarti salah memilih atau membeli saham. Merealisasikan kerugian berarti mengakui kesalahan ini. Jika pengambilan keputusan yang salah ini diketahui orang lain, dampak pengakuan salah menjadi lebih besar lagi karena ada rasa malu.

Orang lain sangat mungkin akan menilai investor tadi kurang kompeten atau tidak mampu menguasai keadaan. Pandangan seperti ini cukup menyakitkan dan menurunkan harga diri. Ini sesuai dengan ajaran ilmu psikologi yang mengatakan manusia cenderung menilai dirinya sendiri positif, kompeten, dan mampu mengendalikan lingkungan sekitarnya.

Regret Aversion

Alasan lain investor tidak bersedia merealisasikan kerugian adalah karena keinginannya untuk meminimumkan future regret, sesuai dengan asumsi behavioral finance. Memutuskan menjual saham rugi membuka kemungkinan timbulnya penyesalan yang lebih besar di kemudian hari jika harga saham kembali naik.

Merealisasikan kerugian juga menutup kemungkinan keputusan awal, yaitu pembelian saham, sebenarnya tepat. Bahwa investor tersebut sesungguhnya kompeten dan menguasai pasar. Jika kemudian harga saham tersebut naik, investor itu tidak saja menderita kerugian tetapi juga mengalami penyesalan yang luar biasa besar karena telah melakukan dua kesalahan berturut-turut.

Pertama, membeli saham losers dan kedua, melepaskannya pada saat yang tidak tepat. Efek keputusan kedua membawa konsekuensi emosional yang lebih dalam, jauh di atas efek keputusan pertama.

Untuk meminimumkan penyesalan ini, banyak investor mengambil posisi bertahan dengan saham pecundangnya. Sebaliknya terjadi untuk saham-saham untung yang dimiliki investor individu. Ada efek kebanggaan dan kemenangan dalam diri investor karena telah mengambil keputusan yang tepat dalam memilih dan membeli saham.

Karenanya, tanpa menunggu lama, investor individu pada umumnya akan segera merealisasikan keuntungannya. Implikasi dari kedua bias ini adalah, investor individu biasanya mengalami banyak keuntungan kecil (many small gains ) dan hanya sedikit keuntungan besar (few large gains ) di satu sisi; dan banyak kerugian besar (manylargelosses ) dansedikitkerugian kecil (few small losses ) di sisi lain.

Dengan kata lain, investor cenderung membiarkan kerugian terus membengkak sementara keuntungan dibatasi. Untuk mengatasi kejadian tak menyenangkan ini, saya menganjurkan Anda mengikuti nasihat Goldberg dan Nitzsch dalam bukunya behavioral finance (1995) yaitu tentukan target harga dan strategi stop loss.

Pastikan target profit sekitar tiga kali dari maksimum kerugian yang masih dapat Anda terima. Jika Anda hanya bersedia menanggung kerugian maksimal 25% untuk sebuah saham, target profit sebaiknya adalah 75%. Let the profits run .

Budi Frensidy

Staf Pengajar FEUI dan Perencana Keuangan, www.fund-and-fun.com @BudiFrensidy
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4427 seconds (0.1#10.140)