Pungutan Ekspor Sawit Rugikan Petani

Senin, 23 Maret 2015 - 12:12 WIB
Pungutan Ekspor Sawit...
Pungutan Ekspor Sawit Rugikan Petani
A A A
JAKARTA - Rencana pemerintah yang akan menerapkan CPO supporting fund (CSF) dengan mengambil pungutan dari harga CPO untuk menyubsidi program mandatori biodiesel bisa menekan harga tandan buah segar (TBS) petani.

Karena itu, pemerintah perlu secara cermat menerapkan kebijakan yang tepat, tanpa merugikan pihak mana pun. Enny Sri Hartati, ekonom Indef, menjelaskan bahwa rencana pemerintah menerapkan CSF dengan mengambil pungutan dari harga CPO untuk menyubsidi program mandatori biodieselmerupakanjalanpintas dan berpotensi merugikan petani sawit.

”Ini kan pemerintah maunya jalan pintas. Menterimenterinya tidak tahu ekonomi, sehingga justru bisa merugikan petani kelapa sawit,” ujarnya. Menurut dia, jika rencana tersebut dijalankan, akan kontraproduktif dengan pengembangan industri hulu kelapa sawit. ”Kalau petani dirugikan dan tidak mau menanam komoditas ini, pengaruhnya akan lebih besar,” katanya.

Enny menilai, pengaturan bea keluar (BK) dan program mandatori biodiesel merupakan dua program yang terpisah dan tidak bisa disatukan. ”Kalau disatukan, masalahnya bisa tambah ruwet,” ucapnya.

Dia menambahkan, masalah ini perlu dibahas bersama agar terlihat jelas. Perhatian pertama yang perlu dilakukan pemerintah adalah melindungi petani kelapa sawit. ”Saat harga komoditas jatuh, pemerintah perlu memberi perhatian khusus terhadap petani karena komoditas ini terbukti berhasil dikembangkan di Indonesia,” ujarnya.

Dengan kondisi seperti ini dan kejatuhan harga komoditas dunia, Enny menilai, saat ini momentum yang tepat untuk memacu hilirisasi industri. ”Industri yang sudah mengolah kelapa sawit jadi produk turunan tahap I dan II diberi insentif pajak dan diskon harga listrik. Ini untuk mendorong program tersebut agar berjalan tanpa mematikan petani,” paparnya.

Pengamat ekonomi Aviliani menilai, CSF akan berdampak terhadap turunnya volume eksporCPO, sehingga memengaruhi perolehan devisa negara. Pasalnya, CPO merupakan komoditas utama yang menyumbang devisa terbesar dengan kontribusi 30%.

Terkait dengan mandatori BBN, kata Aviliani, seharusnya pemerintah cukup menerapkan wajib pasok dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) sesuai jumlah CPO yang dibutuhkan buat biodiesel. ”Sisanya biarkan ekspor dan jangan dikenakan pungutan,” katanya.

Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad mengatakan, aturan itu akan merugikan petani kelapa sawit dan produsen hulu. ”Akibat rencana tersebut, harga TBS di tingkat petani bisa anjlok 10-20%,” ujarnya. Menurut dia, kebijakan tersebut sangat ditentang petani mengingat saat ini kondisi petani masih terpukul lantaran pelemahan harga komoditas dunia serta perlambatan ekonomi nasional.

”Jika harga TBS turun, otomatis daya beli petani melemah. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan di tengah pelemahan ekonomi nasional,” ujarnya. Asmar juga menilai rencana kebijakan tersebut sangat kontraproduktif dengan upaya pemerintah menggenjot ekspor untuk menyelamatkan rupiah. ”Apakah pemerintah sudah memikirkan pelemahan ekspor akibat dari rencana kebijakan tersebut. Di sisi lain kondisi ini bisa memperburuk depresiasi rupiah,” katanya.

Jumat (20/3) lalu Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, pemerintah akan mengubah persentase BK dan membentuk CPO supporting fund untuk menutupi subsidi biodisel yang tidak lagi dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN-P).

Anggaran CSF ini akan diambil dari pelaku usaha dengan menyisihkan pungutan dari harga CPO. Sofyan mengatakan kebijakan pencampuran 15% (B15) bahan bakar nabati (BBN) ke produk bahan bakar minyak (BBM) berlaku mulai pekan kedua April mendatang karena menunggu terbitnya peraturan menteri keuangan (PMK).

Selain itu, pemerintah akan membentuk CSF yang berfungsi untuk menyubsidi harga biodisel jika lebih mahal dari solar. ”Jadi, nanti anggaran subsidinya bukan dari APBN, tetapi dari supporting fund ini. Ke depan mau naik 20% (B20), 30% (B30) itu sudah bisa,” terangnya.

Pendanaan supporting fund ini, lanjut Sofyan, berasal dari pelaku usaha, di mana diambil USD50 per ton setiap harga CPO dan USD30 per ton untuk harga olein. Namun, pengusaha tetap akan dikenakan BK sesuai ketentuan yang ada.

Sofyan mencontohkan jika harga CPO sebesar USD750 atau di bawah, maka akan dipotong USD50 untuk fund, dan sisanya USD700 per ton dihitung untuk BK.

Sudarsono/rabia edra
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0642 seconds (0.1#10.140)