DPR Nilai PGN Tak Berdaya Bangun Jargas Rumah Tangga
A
A
A
JAKARTA - Ketua Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika menilai kepemilikan saham PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk yang sebesar 47% dimiliki publik, khususnya asing menyebabkan BUMN tersebut tak berdaya menggerakkan dan membangun jaringan gas (jargas) rumah tangga.
Dia pun mendesak pemerintah untuk mendorong perusahaan pelat merah tersebut merealisasikan pembangunan jargas bagi rumah tangga tersebut.
"Agar seperti di negara-negara lain, seperti Bangladesh, Pakistan, apalagi Iran yang sudah dari dulu. Bahkan, Italia dan Perancis saja yang hampir sama sekali tidak punya gas itu sampai berupaya impor untuk (menyalurkan ke) rumah tangga," katanya di The Acacia Hotel, Jakarta, Senin (23/3/2015).
Dia meminta pemerintah memikirkan solusi mengenai hal tersebut ke depannya. Dengan demikian, BUMN gas tersebut dapat dirasakan keberadaan dan manfaatnya bagi masyarakat luas.
"Jadi, jangan kalau PGN-nya tidak mau itu dibiarkan saja. Itu kalaupun bagi PGN keuntungannya tidak besar, tetapi kalau itu untuk kepentingan negara dan rakyat, dan keuntungannya bagi negara sangat-sangat besar, kenapa tidak?," tegas dia.
Meskipun sahamnya sebagian dimiliki publik, kata Kardaya, namun sedianya keputusan tetap berada pada pemegang saham terbesar, dalam hal ini negara.
"Itu yang harus dipikirkan. Meskipun dimiliki publik, yang namanya keputusan itu di saham terbesar. Saham terbesarnya sekarang kan masih dimiliki negara. Dirutnya aja ditentukan pemerintah kok," tuturnya.
"PGN duitnya banyak tapi tidak pernah memikirkan jaringan gas, ini dampak dari privatisasi. Karena 47% sahamnya dimiliki swasta, dan mayoritas swastanya asing. Kalau perlu sahamnya itu di buyback," tandas Kardaya.
Dia pun mendesak pemerintah untuk mendorong perusahaan pelat merah tersebut merealisasikan pembangunan jargas bagi rumah tangga tersebut.
"Agar seperti di negara-negara lain, seperti Bangladesh, Pakistan, apalagi Iran yang sudah dari dulu. Bahkan, Italia dan Perancis saja yang hampir sama sekali tidak punya gas itu sampai berupaya impor untuk (menyalurkan ke) rumah tangga," katanya di The Acacia Hotel, Jakarta, Senin (23/3/2015).
Dia meminta pemerintah memikirkan solusi mengenai hal tersebut ke depannya. Dengan demikian, BUMN gas tersebut dapat dirasakan keberadaan dan manfaatnya bagi masyarakat luas.
"Jadi, jangan kalau PGN-nya tidak mau itu dibiarkan saja. Itu kalaupun bagi PGN keuntungannya tidak besar, tetapi kalau itu untuk kepentingan negara dan rakyat, dan keuntungannya bagi negara sangat-sangat besar, kenapa tidak?," tegas dia.
Meskipun sahamnya sebagian dimiliki publik, kata Kardaya, namun sedianya keputusan tetap berada pada pemegang saham terbesar, dalam hal ini negara.
"Itu yang harus dipikirkan. Meskipun dimiliki publik, yang namanya keputusan itu di saham terbesar. Saham terbesarnya sekarang kan masih dimiliki negara. Dirutnya aja ditentukan pemerintah kok," tuturnya.
"PGN duitnya banyak tapi tidak pernah memikirkan jaringan gas, ini dampak dari privatisasi. Karena 47% sahamnya dimiliki swasta, dan mayoritas swastanya asing. Kalau perlu sahamnya itu di buyback," tandas Kardaya.
(izz)