Sistem Pelaporan Pelanggaran Institusi Masih Minim
A
A
A
JAKARTA - Sebagian besar institusi di Indonesia belum memiliki sistem pelaporan pelanggaran atau whistle blowing system (WBS).
Padahal, sistem tersebut merupakan salah satu penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Managing Partner Governance Risk Control Advisory RSM AAJ Angela Indirawati Simatupang mengatakan, WBS sebagai medium untuk mencegah praktik korupsi dan fraud (pelanggaran).
Namun karena persepsi perusahaan, hal ini belum menjadi perhatian banyak pihak. ”Berdasarkan ASEAN Corporate Governance Scorecard Country Reports and Assessment 2014, Indonesia ada di peringkat lima dari enam negara, di bawah Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina,” kata Angela dalam jumpa persnya di Jakarta kemarin.
Lebih lanjut dia menyatakan, WBS yang sesuai dengan ketentuan umum tidak diterapkan di perusahaan publik maupun di institusi pemerintah. Di pasat modal, dari 494 emiten, sebanyak 352 di antaranya tidak mengungkapkan apakah perusahaannya telah memiliki kebijakan WBS.
Demikian juga di kementerian dan lembaga, banyak yang belum memberikan dan mencantumkan informasi WBS di lamannya (website) masing-masing. Meskipun ada instansi/ perusahaan yang mencantumkan WBS, faktanya mereka sekadar mencantumkan. ”Dari 85 kementerian dan lembaga, sebagian besar atau lebih 50% tidak memiliki WBS sesuai ketentuan yang berlaku,” tegasnya.
Menurut dia, sistem pelaporan pelanggaran yang baik yaitu mudah diakses, bukan hanya melalui PO BOX dan SMS. Harus melalui web base, sehingga menghasilkan komunikasi dua arah.
Sementara itu, Senior Managing Partner RSM AAJ Irwan Bunyamin Afif menambahkan, pelaksanaan WBS merupakan bagian dari tata kelola perusahaan yang baik. Dengan GCG yangbaik, suatu perusahaan akan dinilai baik pula oleh pemangku kepentingan perusahaan tersebut.
”Jadi kalau GCG-nya baik, kan menguntungkan perusahaan itu. Jika dikelola baik, akan meningkatkan nilai dari perusahaan itu sendiri,” imbuhnya.
Heru febrianto
Padahal, sistem tersebut merupakan salah satu penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Managing Partner Governance Risk Control Advisory RSM AAJ Angela Indirawati Simatupang mengatakan, WBS sebagai medium untuk mencegah praktik korupsi dan fraud (pelanggaran).
Namun karena persepsi perusahaan, hal ini belum menjadi perhatian banyak pihak. ”Berdasarkan ASEAN Corporate Governance Scorecard Country Reports and Assessment 2014, Indonesia ada di peringkat lima dari enam negara, di bawah Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina,” kata Angela dalam jumpa persnya di Jakarta kemarin.
Lebih lanjut dia menyatakan, WBS yang sesuai dengan ketentuan umum tidak diterapkan di perusahaan publik maupun di institusi pemerintah. Di pasat modal, dari 494 emiten, sebanyak 352 di antaranya tidak mengungkapkan apakah perusahaannya telah memiliki kebijakan WBS.
Demikian juga di kementerian dan lembaga, banyak yang belum memberikan dan mencantumkan informasi WBS di lamannya (website) masing-masing. Meskipun ada instansi/ perusahaan yang mencantumkan WBS, faktanya mereka sekadar mencantumkan. ”Dari 85 kementerian dan lembaga, sebagian besar atau lebih 50% tidak memiliki WBS sesuai ketentuan yang berlaku,” tegasnya.
Menurut dia, sistem pelaporan pelanggaran yang baik yaitu mudah diakses, bukan hanya melalui PO BOX dan SMS. Harus melalui web base, sehingga menghasilkan komunikasi dua arah.
Sementara itu, Senior Managing Partner RSM AAJ Irwan Bunyamin Afif menambahkan, pelaksanaan WBS merupakan bagian dari tata kelola perusahaan yang baik. Dengan GCG yangbaik, suatu perusahaan akan dinilai baik pula oleh pemangku kepentingan perusahaan tersebut.
”Jadi kalau GCG-nya baik, kan menguntungkan perusahaan itu. Jika dikelola baik, akan meningkatkan nilai dari perusahaan itu sendiri,” imbuhnya.
Heru febrianto
(ftr)