Ujian Dadakan Brand Marche

Kamis, 09 April 2015 - 10:13 WIB
Ujian Dadakan Brand Marche
Ujian Dadakan Brand Marche
A A A
UN atau Ujian Nasional akan berlangsung beberapa hari lagi. Anak saya sedang sangat sibuk mempersiapkan diri, secara materi, secara fisik, secara mental, dan tentu saja spiritual.

Kami sekeluarga ikut mempersiapkan dengan menyiapkan tempat belajar yang nyaman (memperbaikiAC kamarnya) dan berdoa sebanyak-banyaknya. Ujian Nasional jelas tanggalnya. Jelas materinya. Jelas format dan ukuran keberhasilannya. Karena itu, siapa pun yang akan diuji, seharusnya punya waktu, tenaga dan pikiran yang memadai dan cukup untuk menghasilkan hasil optimal. Jika Ujian Nasional jelas waktu dan ukurannya, tidak demikian dengan ujian branding .

Ujian branding selalu dadakan. Waktunya tidak bisa diprediksi. Seperti apa bentuk ujiannya juga tidak diberitahukan terlebih dahulu. Ujian branding bisa datang kapan saja dan dalam bentuk apa pun. Brand yang cemerlang adalah yang lulus ujian, bukan hanya ujian yang direncanakan tetapi terlebih lagi, pada saat ujian dadakan. Yang membedakan brand cemerlang dan tidak cemerlang adalah bagaimana kesiapannya menghadapi ujian dadakan dan selalu lulus dengan baik.

Saat ini masih banyak pengelola brand yang tidak memasukkan ”Persiapan Ujian Dadakan” dalam agendanya di perusahaan. Masih ingat kasus Rumah Sakit Internasional OMNI dan kasusnya dengankonsumennya, Prita? Itu adalah contoh ujian dadakan yang beberapa tahun lalu tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh pengelola dan pemilik brand. Brand bahkan secara frontal berseberangan dengan konsumen Prita dan sampai hari ini masih terasa dampaknya.

Terbukti saat saya search brand ”Omni Internasional” dalam rangka zero moment of truth (ZMOT), yang muncul di peringkat keempat halaman 1 Google search hari ini adalah Facebook dengan judul ”Say No to RS OMNI Internasional Tangerang ”. Ini berarti pengelola brand belum bisa menghapus jejak dan informasi ”say no” ini akan selalu blocking perjalanan brand Omni Internasional menuju cita-citanya.

Belum lama ini brand restoran MARCHE menghadapi ujian branding dadakan. Kasus ini bermula saat salah satu pemilik akun media sosial melakukan re-path kepada akun lain. Berita ini menjadi semakin berkembang setelah sebuah situs berita online memberitakannya.

Kasus ini menjadi ramai diperbincangkan di media sosial karena fokus masyarakat media sosial adalah pada berita ”isi baterai laptop dikenakan Rp400.000” yang dirasakan sangat tidak masuk akal. Padahal, dari klarifikasi pihak Marche ternyata sebenarnya adalah hanya kesalahan cetak di kasir yang menuliskan item ”cas listrik” (baca: charge battery ) padahal itu merupakan biaya pembayaran sewa ruangan, bukan listrik semata.

Pembelajaran dari Kasus Marche

Di media sosial yang uncontrollable , brand Marche tidak mempunyai barikade brand guardian yang kokoh. Brand guardian yang ada di media sosial akan selalu berusaha memberikan pembelaan dari sisi positif dan mengajak publik untuk memaafkan sebuah brand apabila pada akhirnya sebuah brand tetap saja dianggap salah. Butuh waktu untuk menciptakan brand guardian.

Dalam situasi senang dan aman-aman, seharusnya dibina kedekatan dengan komunitas media sosial. Karena kita tidak tahu, kapan ujian dadakan akan muncul. Kedekatan dengan masyarakat media sosial merupakan social capital -kapan pun dibutuhkan, mereka akan secara sukarela membela tanpa pamrih. Brand-brand kuliner biasanya sibuk memikirkan menjalin hubungan dengan para brand endorser yaitu berupa tokoh masyarakat untuk ikut memopulerkan restoran mereka.

Tetapi lupa hal yang penting, yaitu membina menciptakan brand guardian . Siapakah Marche di mata audien media sosial? Brand masih dirasakan asing di komunitas yang sangat cair ini. Yang disayangkan, pada saat mengalami masalah dan perlu mengklarifikasi situasi, materi press release justru ditulis dalam bahasa Inggris.

Hal ini menggambarkan ketidakpekaan Marche terhadap ”needs” komunitas media sosial Indonesia yang sehariharinya berbahasa Indonesia dan sangat tidak formal. Press release model lama hanya sesuai untuk masyarakat umum yang biasa membaca koran. Pembaca media sosial lebih menyukai komunikasi dengan bahasa membumi, bahasa Indonesia dan tidak menjadikan mereka lebih apriori lagi terhadap penyampai pesan.

Maka, tak heran muncul beberapa respons masyarakat media sosial seperti; ”Maaf mbak/mas, kalo mau nama restoran ente bersih lagi, ya klarifikasi mbok yo pake bahasa indonesia aja.. biar publik bisa lebih cepet nyerap informasi yang ente kasih..” ”Klarifikasi masalah lo pake bahasa linggis......hargai bahasa dan budaya negara Indonesia baru lo bisa dihargai....” Analisa dari salah seorang yang menyebut dirinya sebagai mantan PR manager : ”Dari perkataan serta gaya klarifikasi Anda menunjukkan sebuah sikap defensif, walau mungkin sebenarnya Anda di pihak yang benar.”

Siapkan Jajaran Brand

Saat ini persaingan antarbrand semakin ketat. Konsumen semakin kritis, semakin demanding . Semahir apa pun sebuah operasional sebuah restoran atau jasa layanan, selalu akan ada celah untuk di-complain oleh pelanggan. Sudah waktunya me-nyiapkan jajaran brand mulai dari tim operasional hingga tim komunikasinya.

Salah satu yang ingin didengarolehpublikadalahsikap positif dalam menghadapi semua keluhan, baik itu perusahaan di pihak yang benar, perusahaanberada dipihakyangsalah atau hanya dipersepsikan salah. Brand perlu persiapan diri yang lebih matang dalam menghadapi ujian dadakan.

Terbukti, Marche belum lulus ujian dadakan ini. Kasus ini masih menyisakan sebuah kepahitan dan ini yang harus dituntaskan. Mengembalikan citra sebuah brand yang selama tujuh tahun baikbaik saja merupakan tugas utama jajaran pengelola brand Marche.

Amalia E. Maulana. PH.D.
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting www.amaliamaulana.com @etnoamalia
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6250 seconds (0.1#10.140)