Pertamina Diminta Sosialisasi Penghapusan Premium di SPBU
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat meminta PT Pertamina menyosialisasikan terlebih dahulu sebelum menghapus BBM jenis premium di SPBU di beberapa kota besar yang akan diberlakukan mulai Mei tahun ini.
Menurutnya, hal tersebut agar tidak berdampak pada protes masyarakat yang tidak siap. "Sosialisasi pemerintah harus dari jauh-jauh hari sehingga masyarakat bisa antisipasi dengan penghapusan BBM bersubsidi," ujar Mohammad Wahyudi, seorang pegawai swasta ketika dihubungi Sindonews di Jakarta, Kamis (16/4/2015).
Pria yang akrab disapa Yudi ini mengaku setuju atas rencana tersebut karena premium (RON 88) sudah tidak diproduksi di dunia. Pasalnya, selama ini negara sudah membeli RON 92 dan ditambah campuran yang biasa dicampur pada RON tersebut, sehingga bisa menghasilkan RON 88. Secara otomatis produksinya lebih mahal.
"Memang selama ini, pemerintah menanggung beban subsidi yang sangat besar. Dengan ditiadakannya premium maka pengeluaran pemerintah akan berkurang. Subsidi bisa digunakan ke sektor lain," ujar pria yang tinggal di bilangan Condet, Jakarta ini.
Menurutnya, saat ini sudah banyak pengendara kendaraan bermotor yang beralih ke BBM non subsidi. Awalnya, dia juga menggunakan premium, namun tak lama beralih ke BBM non subsidi.
"Karena harganya tidak jauh beda dengan harga premium sekarang. Jadi saya pakai itu. Untuk motor biasanya 6 liter untuk pemakaian seminggu, dan mobil sekitar 15-25 liter," imbuhnya.
Pria kalem ini mengatakan, meskipun harga yang dicantumkan untuk harga BBM non subsidi lebih mahal, namun dalam kenyataannya akan berdampak bagus untuk kendaraan. "Mesin kendaraan jadi lebih awet dan tarikannya lebih bagus meskipun harganya agak tinggi sedikit," pungkas Yudi.
(Baca: Pertamina Hapus BBM Premium di SPBU Kota Besar)
Menurutnya, hal tersebut agar tidak berdampak pada protes masyarakat yang tidak siap. "Sosialisasi pemerintah harus dari jauh-jauh hari sehingga masyarakat bisa antisipasi dengan penghapusan BBM bersubsidi," ujar Mohammad Wahyudi, seorang pegawai swasta ketika dihubungi Sindonews di Jakarta, Kamis (16/4/2015).
Pria yang akrab disapa Yudi ini mengaku setuju atas rencana tersebut karena premium (RON 88) sudah tidak diproduksi di dunia. Pasalnya, selama ini negara sudah membeli RON 92 dan ditambah campuran yang biasa dicampur pada RON tersebut, sehingga bisa menghasilkan RON 88. Secara otomatis produksinya lebih mahal.
"Memang selama ini, pemerintah menanggung beban subsidi yang sangat besar. Dengan ditiadakannya premium maka pengeluaran pemerintah akan berkurang. Subsidi bisa digunakan ke sektor lain," ujar pria yang tinggal di bilangan Condet, Jakarta ini.
Menurutnya, saat ini sudah banyak pengendara kendaraan bermotor yang beralih ke BBM non subsidi. Awalnya, dia juga menggunakan premium, namun tak lama beralih ke BBM non subsidi.
"Karena harganya tidak jauh beda dengan harga premium sekarang. Jadi saya pakai itu. Untuk motor biasanya 6 liter untuk pemakaian seminggu, dan mobil sekitar 15-25 liter," imbuhnya.
Pria kalem ini mengatakan, meskipun harga yang dicantumkan untuk harga BBM non subsidi lebih mahal, namun dalam kenyataannya akan berdampak bagus untuk kendaraan. "Mesin kendaraan jadi lebih awet dan tarikannya lebih bagus meskipun harganya agak tinggi sedikit," pungkas Yudi.
(Baca: Pertamina Hapus BBM Premium di SPBU Kota Besar)
(izz)