Merek Alat Perjuangan Bangsa

Minggu, 03 Mei 2015 - 11:45 WIB
Merek Alat Perjuangan Bangsa
Merek Alat Perjuangan Bangsa
A A A
Tanggal 20 Mei nanti saya memperingati Hari Kebangkitan Nasional dengan menggelar sebuah konferensi yang sarat dengan nilai-nilai kebangkitan nasional 1908. Acara tersebut saya sebut Indonesia Brand Forum (IBF).

Di forum konferensi yang mengambil tema ”Global Chaser: Merek Indonesia Perkasa di Pentas Dunia” itu saya akan mengundang sekitar 25 merek Indonesia hebat dan membanggakan (seperti Mayora, Kalbe, Indofood, Pertamina Pelumas, Polygon, Martha Tilaar, Sido Muncul, atau Garuda Indonesia) yang sukses bersaing di pasar internasional.

Dengan menghadirkan mereka berbagi kesuksesan, saya inginme-nunjukkanbahwa bangsa ini perkasa di kancah dunia, bahwa Indonesia punya nyali dan bisa bersaing dengan bangsa-bangsa hebat lain di dunia. Saya ingin menunjukkan bahwa Indonesia bukan cuma bangsa yang bisanya gaduh (drama ”cicak-buaya”, kisruh Ahok, pencidukan Novel Baswedan, dan entah nanti apa lagi), tapi juga bangsa kerja, bangsa berkarya melalui merek-merek hebat membanggakan di atas. Melalui merek-merek lokal hebat itu sekaligus saya ingin menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi menjadi bangsa besar dan dihormati didunia.

Merek = Nilai Tambah

Mungkin Anda menganggap saya edan, apa hubungannya merek dengan kebangkitan nasional? Wajar saja, karena selama ini merek (brand ) identik dengan citra miring. Merek identik dengan bisnis dan marketing yang tak kenal negara dan nasionalisme, ”pokoknya yang penting cuan ”. Merek juga identik dengan citra kapitalis. Ya, karena merek dianggap alat bagi negara maju kapitalis untuk merongrong dan menghisap pasar-pasar di negara berkembang seperti Indonesia.

Celakanya lagi, merek juga identik dengan iklan tipu-tipu produsen di TV atau koran untuk membujuk dan mengelabui konsumen. Nah, persepsi miring ini harus diluruskan. Kalau diperas-peras, mak-na dasar dari merek (brand atau branding ) adalah nilai (value atau value-added ). Jadi seluruh upaya kita untuk menciptakan dan menambahkan nilai ke suatu komoditas atau produk, itulah merek (sering disebut juga branding atau brand building ).

Secangkir kopi tanpa merek yang disajikan di warung-warung gang senggol dijual 3000 perak. Tapi begitu disajikan di gerai Starbucks bisa laku 30.000 perak. Kenapa? Karena Starbucks telah menambahkan nilai (value added ) ke dalamnya. Apakah konsumen marah atau kecewa de-ngan kenaikan harga fantastis 10 kali lipat itu? Sama sekali tidak. Kenapa? Karena konsumen mendapatkan manfaat 10 kali lipat atau bahkan lebih dengan adanya suntikan nilai tersebut. Jadi merek itu mulia sekali, bukan hal miring.

Kebangkitan

Sekarang balik lagi, apa hubungan kebangkitan nasional dan merek? Kemarin malam saya kebetulan nonton film Guru Bangsa Cokroaminoto (film menyentuh kayak gini, Jokowi, selu-ruh menteri, dan seluruh politikus DPR harusnya wajib nonton ). Menonton lebih dua jam saya serasa dibawa pada situasi tahun 1910-an di mana pemuda-pemuda intelektual kita (Cokroaminoto, Agus Salim, Sukarno, atau Semaun) berjuang memeras otak untuk menjadikan Indonesia lebih sejahtera dengan cara lepas dari penjajah.

Hati mereka tercabik-cabik melihat kopi, cengkeh, dan beragam hasil bumi kita diangkut ke negeri penjajah hingga menyisakan kemelaratan dan kesengsaraan rakyat. Mereka marah dicap penjajah sebagai ”seperempat manusia” yang boleh seenaknya diinjakinjak. Mereka tak rela bangsanya dianggap ”bangsa seperempat”. Terus-terang sembari menghayati film tersebut di dalam gedung bioskop, otak saya terombang-ambing antara tahun 1910-an dan 2015. Ya, karena walaupun jamannya berbeda, spirit dan substansi perjuangan mereka masih sama dan relevan hingga detik ini.

Setelah 70 tahun merdeka, kebangkitan untuk menjadikan rakyat sejahtera, adil, dan makmur masih tetap relevan hingga detik ini. Kebangkitan untuk menjadikan bangsa ini bangsa besar dan dihormati di dunia, bukan ”bangsa seperempat” juga tetap relevan. Pertanyaan besarnya tetap sama apakah itu di tahun 1910-an atau 2015, yaitu bagaimana kita mewujudkan itu semua.

Nah, bagi saya merek merupakan ”alat perjuangan” ampuh untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur jauh dari kemelaratan dan kesengsaraan. Merek juga merupakan ”alat perjuangan” strategis untuk menjadikan Indonesia adidaya ekonomi dunia, bukan ”bangsa seperempat”.

Alat Perjuangan

Bagaimana ceritanya merek bisa menjadi alat perjuangan bangsa? Mari kita renungkan. Indonesia adalah salah satu penghasil kopi terbanyak dan terenak di dunia. Coba bayangkan, apa jadinya kalau komoditas kopi di seluruh penjuru tanah air diberi nilai (di-branding ) seperti yang dilakukan Starbucks, sehingga memiliki harga amat tinggi di pasar dunia? Kalau itu bisa dilakukan, maka tak hanya petani kopi yang makmur-sejahtera, Indonesia juga akan dianggap sebagai ”bangsa kopi” yang disegani dunia (sejajar dengan Swiss misalnya yang dianggap sebagai ”bangsa arloji” atau Jepang sebagai ”bangsa elektronik”). Itu baru kopi.

Bagaimana kalau kelapa sawit, cokelat, gula, teh, palawija, buahbuahan, sayur-sayuran, ikan, minyak, batu bara, emas, nikel hingga batu akik yang tersedia berlimpah di bumi pertiwi juga diberi nilai tambah melalui brand building ? Pasti komoditas-komoditas tersebut akan tersulap menjadi merek yang hebat, berdaya saing kuat, dan memiliki nilai tinggi di pasar dunia. Dengan ekuitas merek yang tinggi maka kita bisa mempertahankan harga yang tinggi, tidak terombang-ambing di pasar seperti terjadi sekarang.

Apakah harga Starbucks, McDonalds, atau Coca Cola terombang- ambing di pasar? Tak pernah! Kalau kita bisa menjadikan komoditas kopi menjadi merek Kapal Api; pisang menjadi Sunpride; cokelat menjadi Silver Queen; teh menjadi Sosro; gula menjadi Gulaku; jamu menjadi Sido Muncul; maka bangsa ini akan menjadi bangsa besar. Kalau itu terwujud, maka Indonesia akan menjadi bangsa makmur dan berpengaruh di dunia dengan penciptaan nilai tambah melalui proses branding .

Ingat, salah satu ciri bangsa besar adalah bangsa yang menghasilkan merek-merek tangguh di kancah global: Amerika, Inggris, Jerman, Jepang, dan terakhir Korea. Itulah sebabnya saya berani mengatakan bahwa merek bisa menjadi alat perjuangan bangsa ini untuk mencapai kemakmuran. Di IBF 20 Mei nanti, tepatnya di Gedung Balai Kartini Jakarta, saya ingin menunjukkan bahwa para brand builder kita telah berjuang, memutar otak, memeras tenaga sampai titik darah penghabisan untuk menghasilkan merek-merek Indonesia yang disegani dunia.

Bagi saya, putra-putra terbaik bangsa yang berjuang menghasilkan merek-merek hebat itu adalah juga pahlawan bangsa. Mereka adalah orangorang hebat, yang sama berjasanya dengan Cokroaminoto, Agus Salim, Sukarno, atau Semaun. Bedanya, yang pertama untuk era 1910-an. Yang kedua untuk tahun 2015 dan tahun-tahun berikutnya. Hidup merek Indonesia!

Yuswohady
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4673 seconds (0.1#10.140)