Evaluasi FTZ Batam Direspon Positif
A
A
A
BATAM - Langkah Kementerian Koordinator (Kemenko) bidang Perekonomian mengevaluasi kinerja free trade zone (FTZ) Batam menuai respon positif, meski dari sudut pandang akademisi pemerintah tetap perlu berhati-hati dalam menyusun perubahan.
Ketua Pusat Kajian Regional Politeknik Negeri Batam Bambang Hendrawan mengatakan FTZ Batam memang perlu dievaluasi mengingat kondisi selama ini masih menghadapi masalah biaya tinggi, belum kompetitif dan masalah kewenangan antar lembaga.
"Memang perlu dievaluasi (FTZ Batam). Tetapi arahnya bukan soal enclave atau tidak dan jangan terpaku pada FTZ, harus ada formulasi baru special economic zone (SEZ) yang bentuknya macam-macam selain FTZ," ujarnya di Batam, Senin (4/5/2015).
Menurutnya, jika Kemenko Perekonomian mengarahkan evaluasi FTZ dengan opsi enclave (wilayah tertentu) hanya akan mengulang penyusunan pada tahap awal yang juga memakai opsi tersebut. Sebelum disetujui menjadi FTZ menyeluruh pada 2007, opsi enclave menjadi perdebatan panjang antara DPR dan pemerintah.
Apalagi, lanjut Bambang, sejak awal penetapan FTZ sudah menyimpang dengan artian kawasan ini ditetapkan kawasan perdagangan bebas dengan situasi sudah ada penduduk. Sehingga pemerintah diminta cermat menjajaki model SEZ lain.
"Kalau masih terpaku dengan formulasi FTZ, tidak akan bisa berkreasi. Term FTZ dengan sudah berpenduduk juga tidak cocok," sambungnya.
Selain itu, dia juga melihat aturan khusus ketenagakerjaan yang muncul dipermukaan harusnya menjadi perhatian utama pemerintah. Lantaran masalah tersebut membuat daya saing kawasan ini menjadi rendah, karena berkaitan dengan produktivitas.
Sedangkan masalah Dewan Kawasan (DK) FTZ Batam Bintan Karimun juga menjadi masalah sejak awal. Menurut Bambang sudah seharusnya DK dijabat menteri untuk mensinkronkan regulasi lintas kementerian, yang selama ini banyak regulasi diterbitkan secara nasional tetapi berbenturan denga FTZ sehingga tidak efektif.
Langkah Kemenko Perekonomian yang juga akan memfokuskan enam sektor industri yang bernilai kompetitif tinggi dinilai tepat meski tetap perlu mengantisipasi kesiapan industri pendukung lokal.
"Konsep FTZ awalnya menarik investasi dari luar dengan harapan supporting industri lokal juga berkembang. Kesiapan dan keterlibatan industri lokal ini lebih penting karena selama ini investor hanya melihat kita daerah yang murah, kalau agak mahal, mereka pindah," tandas Bambang.
Ketua Pusat Kajian Regional Politeknik Negeri Batam Bambang Hendrawan mengatakan FTZ Batam memang perlu dievaluasi mengingat kondisi selama ini masih menghadapi masalah biaya tinggi, belum kompetitif dan masalah kewenangan antar lembaga.
"Memang perlu dievaluasi (FTZ Batam). Tetapi arahnya bukan soal enclave atau tidak dan jangan terpaku pada FTZ, harus ada formulasi baru special economic zone (SEZ) yang bentuknya macam-macam selain FTZ," ujarnya di Batam, Senin (4/5/2015).
Menurutnya, jika Kemenko Perekonomian mengarahkan evaluasi FTZ dengan opsi enclave (wilayah tertentu) hanya akan mengulang penyusunan pada tahap awal yang juga memakai opsi tersebut. Sebelum disetujui menjadi FTZ menyeluruh pada 2007, opsi enclave menjadi perdebatan panjang antara DPR dan pemerintah.
Apalagi, lanjut Bambang, sejak awal penetapan FTZ sudah menyimpang dengan artian kawasan ini ditetapkan kawasan perdagangan bebas dengan situasi sudah ada penduduk. Sehingga pemerintah diminta cermat menjajaki model SEZ lain.
"Kalau masih terpaku dengan formulasi FTZ, tidak akan bisa berkreasi. Term FTZ dengan sudah berpenduduk juga tidak cocok," sambungnya.
Selain itu, dia juga melihat aturan khusus ketenagakerjaan yang muncul dipermukaan harusnya menjadi perhatian utama pemerintah. Lantaran masalah tersebut membuat daya saing kawasan ini menjadi rendah, karena berkaitan dengan produktivitas.
Sedangkan masalah Dewan Kawasan (DK) FTZ Batam Bintan Karimun juga menjadi masalah sejak awal. Menurut Bambang sudah seharusnya DK dijabat menteri untuk mensinkronkan regulasi lintas kementerian, yang selama ini banyak regulasi diterbitkan secara nasional tetapi berbenturan denga FTZ sehingga tidak efektif.
Langkah Kemenko Perekonomian yang juga akan memfokuskan enam sektor industri yang bernilai kompetitif tinggi dinilai tepat meski tetap perlu mengantisipasi kesiapan industri pendukung lokal.
"Konsep FTZ awalnya menarik investasi dari luar dengan harapan supporting industri lokal juga berkembang. Kesiapan dan keterlibatan industri lokal ini lebih penting karena selama ini investor hanya melihat kita daerah yang murah, kalau agak mahal, mereka pindah," tandas Bambang.
(izz)