Pacquaio, The People Champion
A
A
A
Saat menyelesaikan naskah buku Personal Branding saya berpikir sekali lagi, aspek apa yang belum dimasukkan dalam buku ini? Di buku itu sudah dibahas klarifikasi miskonsepsi personal branding, definisi yang benar, stepby- step pembinaannya dan studi kasus.
Satu dimensi yang hampir saya lupakan tetapi sangat kritikal adalah dimensi personal social responsibility (PSR). Kita semua sudah mengenal corporate social responsibility (CSR) untuk korporasi. Konsep etis ini juga berlaku untuk personal brand. Konsep ini membahas bagaimana sebuah organisasi atau personal ‘speaking and behaving’ dengan cara yang memberikan manfaat bagi masyarakatnya.
CSR menggambarkan perilaku sebuah organisasi yang dalam operasionalnya tidak membahayakan komunitas dan lingkungannya, juga memberikan manfaat langsung bagi mereka. Personal brand yang cemerlang tentu saja perlu mengaplikasikan konsep social responsibility tersebut. Dimensi yang termudah dilihat kasatmata adalah seberapa peduli seseorang dengan memajukan komunitasnya. Ujian personal brand datang setiap saat.
Sejauh mana orang menjunjung tinggi nilai sebuah personal brand adalah saat terjadi sebuah kesalahpahaman yang berkembang tidak menguntungkan bagi sebuah personal brand . Saat ini banyak yang mengecam kemenangan Mayweather Jr saat melawan Pacquaio karena dianggap tidak adil, penuh konspirasi dan sangat berbau komersial.
Apakah Mayweather terlibat dalam keputusan kontroversial tersebut? Atau hanya objek dari sebuah konspirasi komersial, sebenarnya kita tidak sepenuhnya mengerti dan paham. Persoalan ini terlalu kompleks untuk dikupas dengan satu perspektif saja. Bagaimana kemudian berkembang sindiran-sindiran dan kritikan terhadap Mayweather itu sedikit banyak disebabkan oleh pemberitaan media yang mengontraskan sisi personal brand Mayweather vs Pacquaio.
Kontroversi kemenangan Mayweather di pertandingan tinju tingkat global yang sangat glamor ini sebenarnya mematahkan anggapan bahwa kejadian aneh-aneh itu ”hanya terjadi di Indonesia”. Di Indonesia banyak kejadian aneh yang kita alami sejak Cicak vs Buaya, kasus Century hingga yang paling hits belakangan ini yaitu KPK vs Polri: penahanan Novel Baswedan serta pengangkatan Budi Gunawan menjadi wakil kepala Polri.
Jadi, alih-alih kesal, dengan peristiwa tinju dunia ini saya merasa lega, karena ternyata sifat manusia yang serakah dan curang itu universal dan tidak eksklusif ”Di Indonesia”. Terlepas dari sisi kontroversi kemenangan, banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pertandingan ini. Termasuk bagaimana perbedaan personal brand antara kedua petinju ini. Keduanya jelas sangat terkenal dan kaya, tetapi bagaimana mereka menghabiskan waktu luang mereka dan menggunakan uang mereka, ternyata sangat berseberangan.
Dalam sebuah kontroversi, biasanya kita akan menaruh posisi membela salah satu pihak. Setujukah dengan penahanan Novel Baswedan? Setujukah dengan Pengangkatan Budi Gunawan menjadi wakil kepala Polri? Personal Brand akan ikut berperan. Demikian pula dengan Mayweather vs Pacquaio.
Apakah kita menganggap wajar kemenangan Mayweather atau merasa bahwa ini adalah akal-akalan para pebisnis belaka, sedikit banyak dipengaruhi oleh persepsi terhadap personal brand Mayweather vs Pacquaio. Ada beberapa fakta menarik yang dibahas di media sosial. Bahwa Pacquaio banyak menghabiskan waktu luangnya untuk melayani masyarakat dalam kegiatan-kegiatan keagamaan tentu meningkatkan posisi personal social responsibility yang bersangkutan.
Ini berbeda secara kontras dengan keseharian Mayweather yang glamor, berfoyafoya. Dalam timeline- nya, ia secara terang-terangan memajang foto dirinya bersama gepokan uang triliunan tersebut di sebuah tempat tidur. Kesannya sangat arogan. Paling tidak, itu menambah dan mengurangi skor personal social responsibility di mata masyarakat yang sebelumnya tidak kenal siapa Mayweather dan siapa Pacquaio.
Dari berbagai ulasan di media konvensional dan media sosial secara cepat persepsi terhadap kedua personal brand ini terbentuk. Membaca komentar opinion leader di media sosial semakin menajamkan keberpihakan masyarakat terhadap Pacquaio. ”Silakan juluki saya memiliki pemikiran kuno, tapi para pencinta tinju ingin menyaksikan aksi berbalut pertarungan, sesuai dengan uang besar yang telah mereka keluarkan.” Oscar De La Hoya.
”Kita menunggu lima tahun hanya untuk pertandingan seperti itu? ” Mike Tyson. Pacquaio mempunyai social responsibility yang lebih tinggi dengan menyatakan kesungguhannya bahwa ia akan memberikan thebestperformance pada saat pertandingan. Ini kontras dengan pernyataan Mayweather sebelum pertandingan yang fokus pada perolehan uang yang akan ia terima dari pertandingan tersebut, yaitu ia akan memperoleh nilai pay-per-view yang sangat besar.
Keduanya memperoleh bayaran yang spektakuler, di atas Rp1 triliun, tetapi bagaimana mereka akan menggunakannya itu juga mempengaruhi persepsi publik terhadap personal brand masing-masing. Dengan rendah hati Pacquaio menyatakan akan menyumbangkan setengahnya untuk masyarakat miskin yang membutuhkan. Sebaliknya, Mayweather tidak menunjukkan tanda-tanda mengarah kepada kegiatan sosial.
Personal social responsibility tidak bisa dipaksakan, tetapi bisa dilatih dan diingatkan oleh para stakeholders- nya. Jadi beradalah di dalam lingkungan dan para soulmates yang selalu mendampingi dan mengingatkan akan pentingnya memiliki dimensi personal social responsibility ini.
Selamat bagi Pacquaio yang telah memenangkan hati masyarakat. Anda layak disebut sebagai The People Champion . Kekuatan personal brand lebih abadi dan jangka panjang. Bagi Mayweather, selamat menikmati uang triliunan, tetapi at the expense of degradasi nilai personal brand -nya.
AMALIA E. MAULANA. PH.D.
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting
www.amaliamaulana.com
@etnoamalia
Satu dimensi yang hampir saya lupakan tetapi sangat kritikal adalah dimensi personal social responsibility (PSR). Kita semua sudah mengenal corporate social responsibility (CSR) untuk korporasi. Konsep etis ini juga berlaku untuk personal brand. Konsep ini membahas bagaimana sebuah organisasi atau personal ‘speaking and behaving’ dengan cara yang memberikan manfaat bagi masyarakatnya.
CSR menggambarkan perilaku sebuah organisasi yang dalam operasionalnya tidak membahayakan komunitas dan lingkungannya, juga memberikan manfaat langsung bagi mereka. Personal brand yang cemerlang tentu saja perlu mengaplikasikan konsep social responsibility tersebut. Dimensi yang termudah dilihat kasatmata adalah seberapa peduli seseorang dengan memajukan komunitasnya. Ujian personal brand datang setiap saat.
Sejauh mana orang menjunjung tinggi nilai sebuah personal brand adalah saat terjadi sebuah kesalahpahaman yang berkembang tidak menguntungkan bagi sebuah personal brand . Saat ini banyak yang mengecam kemenangan Mayweather Jr saat melawan Pacquaio karena dianggap tidak adil, penuh konspirasi dan sangat berbau komersial.
Apakah Mayweather terlibat dalam keputusan kontroversial tersebut? Atau hanya objek dari sebuah konspirasi komersial, sebenarnya kita tidak sepenuhnya mengerti dan paham. Persoalan ini terlalu kompleks untuk dikupas dengan satu perspektif saja. Bagaimana kemudian berkembang sindiran-sindiran dan kritikan terhadap Mayweather itu sedikit banyak disebabkan oleh pemberitaan media yang mengontraskan sisi personal brand Mayweather vs Pacquaio.
Kontroversi kemenangan Mayweather di pertandingan tinju tingkat global yang sangat glamor ini sebenarnya mematahkan anggapan bahwa kejadian aneh-aneh itu ”hanya terjadi di Indonesia”. Di Indonesia banyak kejadian aneh yang kita alami sejak Cicak vs Buaya, kasus Century hingga yang paling hits belakangan ini yaitu KPK vs Polri: penahanan Novel Baswedan serta pengangkatan Budi Gunawan menjadi wakil kepala Polri.
Jadi, alih-alih kesal, dengan peristiwa tinju dunia ini saya merasa lega, karena ternyata sifat manusia yang serakah dan curang itu universal dan tidak eksklusif ”Di Indonesia”. Terlepas dari sisi kontroversi kemenangan, banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pertandingan ini. Termasuk bagaimana perbedaan personal brand antara kedua petinju ini. Keduanya jelas sangat terkenal dan kaya, tetapi bagaimana mereka menghabiskan waktu luang mereka dan menggunakan uang mereka, ternyata sangat berseberangan.
Dalam sebuah kontroversi, biasanya kita akan menaruh posisi membela salah satu pihak. Setujukah dengan penahanan Novel Baswedan? Setujukah dengan Pengangkatan Budi Gunawan menjadi wakil kepala Polri? Personal Brand akan ikut berperan. Demikian pula dengan Mayweather vs Pacquaio.
Apakah kita menganggap wajar kemenangan Mayweather atau merasa bahwa ini adalah akal-akalan para pebisnis belaka, sedikit banyak dipengaruhi oleh persepsi terhadap personal brand Mayweather vs Pacquaio. Ada beberapa fakta menarik yang dibahas di media sosial. Bahwa Pacquaio banyak menghabiskan waktu luangnya untuk melayani masyarakat dalam kegiatan-kegiatan keagamaan tentu meningkatkan posisi personal social responsibility yang bersangkutan.
Ini berbeda secara kontras dengan keseharian Mayweather yang glamor, berfoyafoya. Dalam timeline- nya, ia secara terang-terangan memajang foto dirinya bersama gepokan uang triliunan tersebut di sebuah tempat tidur. Kesannya sangat arogan. Paling tidak, itu menambah dan mengurangi skor personal social responsibility di mata masyarakat yang sebelumnya tidak kenal siapa Mayweather dan siapa Pacquaio.
Dari berbagai ulasan di media konvensional dan media sosial secara cepat persepsi terhadap kedua personal brand ini terbentuk. Membaca komentar opinion leader di media sosial semakin menajamkan keberpihakan masyarakat terhadap Pacquaio. ”Silakan juluki saya memiliki pemikiran kuno, tapi para pencinta tinju ingin menyaksikan aksi berbalut pertarungan, sesuai dengan uang besar yang telah mereka keluarkan.” Oscar De La Hoya.
”Kita menunggu lima tahun hanya untuk pertandingan seperti itu? ” Mike Tyson. Pacquaio mempunyai social responsibility yang lebih tinggi dengan menyatakan kesungguhannya bahwa ia akan memberikan thebestperformance pada saat pertandingan. Ini kontras dengan pernyataan Mayweather sebelum pertandingan yang fokus pada perolehan uang yang akan ia terima dari pertandingan tersebut, yaitu ia akan memperoleh nilai pay-per-view yang sangat besar.
Keduanya memperoleh bayaran yang spektakuler, di atas Rp1 triliun, tetapi bagaimana mereka akan menggunakannya itu juga mempengaruhi persepsi publik terhadap personal brand masing-masing. Dengan rendah hati Pacquaio menyatakan akan menyumbangkan setengahnya untuk masyarakat miskin yang membutuhkan. Sebaliknya, Mayweather tidak menunjukkan tanda-tanda mengarah kepada kegiatan sosial.
Personal social responsibility tidak bisa dipaksakan, tetapi bisa dilatih dan diingatkan oleh para stakeholders- nya. Jadi beradalah di dalam lingkungan dan para soulmates yang selalu mendampingi dan mengingatkan akan pentingnya memiliki dimensi personal social responsibility ini.
Selamat bagi Pacquaio yang telah memenangkan hati masyarakat. Anda layak disebut sebagai The People Champion . Kekuatan personal brand lebih abadi dan jangka panjang. Bagi Mayweather, selamat menikmati uang triliunan, tetapi at the expense of degradasi nilai personal brand -nya.
AMALIA E. MAULANA. PH.D.
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting
www.amaliamaulana.com
@etnoamalia
(bbg)