Lawan WTO Soal Diskriminasi Sawit Indonesia, Dubes RI Pede Menang
Kamis, 16 Juli 2020 - 17:59 WIB
JAKARTA - Kebijakan Parlemen Uni Eropa yang tertuang dalam Renewable Energy Directive II (RED II) yang resmi diberkalukan pada tahun 2019 lalu dianggap sebagai langkah politis yang mendiskriminasi sawit Indonesia. Pasalnya di dalam RED II, sawit Indonesia dinyatakan tidak dapat memenuhi standar EU karena menyebabkan deforestasi dan high risk Indirect Land Use Change (ILUC) atau berisiko tinggi atas perubahan lahan tidak langsung.
Berlakunya RED II jelas mengganjal ekspor biofuel berbahan sawit dari Indonesia ke negara-negara Uni Eropa. Pemerintah Indonesia telah melayangkan gugatan kepada WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) pada Desember 2019 lalu.
(Baca Juga: Menentang Diskriminasi Sawit UE, Indonesia Semangat Bawa ke Jalur Internasional)
Hasan Kleib, Duta Besar/ Wakil Tetap RI untuk PBB, WTO, dan organisasi internasional lain di Jenewa, optimistis dapat memenangkan gugatan tersebut. Hal ini disampaikan Hasan Kleib dalam webinar #INApalmoil talkshow bertajuk “Palm Oil and Neocolonialism” yang diselenggarakan Forum Komunikasi Sawit GAPKI.
“Pemerintah Indonesia sudah beberapa kali mengangkat isu RED II sebagai isu specific trade concern pada pertemuan-pertemuan di WTO, sayangnya ketika diintervensi EU selalu menyatakan kebijakan RED II sudah sesuai aturan WTO,” kata Dubes Hasan Kleib.
Tidak hanya itu, Indonesia juga menggunggat Uni Eropa atas kebijakannya yang dikenal sebagai Commission Delegated Regulation (DR) dan French fuel tax. Ketiga kebijakan ini merupakan bentuk diskriminasi Uni Eropa terhadap Indonesia khususnya bagi industri kelapa sawit.
Perundingan antara Uni Eropa dan Indonesia yang tidak membuahkan hasil menggulirkan perundingan ini pada pengajuan panel yang diharapkan dapat mendorong Indonesia untuk merevisi kebijakan yang mendiskriminasi industri kelapa sawit.
( )
Hasan menilai, Indonesia perlu memperkuat diri dalam diplomai sawit. Perlu informasi-informasi positif yang dikembangkan terkait dampak positif langsung maupun tidak langsung sawit bagi sosial, perekonomian maupun lingkungan. Selain itu penguatan data perlu terus dikembangkan agar menjadi landasan kuat dalam diplomasi melawan diskriminasi Uni Eropa tersebut.
Berlakunya RED II jelas mengganjal ekspor biofuel berbahan sawit dari Indonesia ke negara-negara Uni Eropa. Pemerintah Indonesia telah melayangkan gugatan kepada WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) pada Desember 2019 lalu.
(Baca Juga: Menentang Diskriminasi Sawit UE, Indonesia Semangat Bawa ke Jalur Internasional)
Hasan Kleib, Duta Besar/ Wakil Tetap RI untuk PBB, WTO, dan organisasi internasional lain di Jenewa, optimistis dapat memenangkan gugatan tersebut. Hal ini disampaikan Hasan Kleib dalam webinar #INApalmoil talkshow bertajuk “Palm Oil and Neocolonialism” yang diselenggarakan Forum Komunikasi Sawit GAPKI.
“Pemerintah Indonesia sudah beberapa kali mengangkat isu RED II sebagai isu specific trade concern pada pertemuan-pertemuan di WTO, sayangnya ketika diintervensi EU selalu menyatakan kebijakan RED II sudah sesuai aturan WTO,” kata Dubes Hasan Kleib.
Tidak hanya itu, Indonesia juga menggunggat Uni Eropa atas kebijakannya yang dikenal sebagai Commission Delegated Regulation (DR) dan French fuel tax. Ketiga kebijakan ini merupakan bentuk diskriminasi Uni Eropa terhadap Indonesia khususnya bagi industri kelapa sawit.
Perundingan antara Uni Eropa dan Indonesia yang tidak membuahkan hasil menggulirkan perundingan ini pada pengajuan panel yang diharapkan dapat mendorong Indonesia untuk merevisi kebijakan yang mendiskriminasi industri kelapa sawit.
( )
Hasan menilai, Indonesia perlu memperkuat diri dalam diplomai sawit. Perlu informasi-informasi positif yang dikembangkan terkait dampak positif langsung maupun tidak langsung sawit bagi sosial, perekonomian maupun lingkungan. Selain itu penguatan data perlu terus dikembangkan agar menjadi landasan kuat dalam diplomasi melawan diskriminasi Uni Eropa tersebut.
Lihat Juga :
tulis komentar anda