Biaya Operasional Bank Nasional Tinggi, Ternyata Ini Penyebabnya
Kamis, 23 Juli 2020 - 14:34 WIB
JAKARTA - Institute For Development of Economics and Finance (Indef) menyebut, Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) bank umum nasional masih tinggi, yakni di atas 80%. BOPO tersebut dinilai perlu ditekan lebih rendah lagi.
Ekonom Senior Indef Aviliani membeberkan penyebab tingginya biaya operasional perbankan tersebut. Menurut dia, BOPO tinggi di Indonesia dikarenakan beberapa faktor, antara lain ketatnya likuiditas.
"Dengan likuiditas ketat, maka bank harus menawarkan promo atau hadiah kepada calon nasabah," kata Aviliani dalam webinar yang digelar Indef di Jakarta, Kamis (23/7/2020).
(Baca Juga: Eks Petinggi BI Wanti-Wanti, Jangan Terlena dengan Data Perbankan yang Tersaji)
Faktor lainnya, sambung dia, adalah masih tingginya suku bunga simpanan dibandingkan negara lain. Faktor ketiga, segmentasi perbankan, dimana bank-bank besar lebih efisien karena teknologi.
Mengenai BOPO yang wajar, Aviliani menyebutkan bahwa bank-bank di Asia memiliki BOPO relatif rendah, bahkan rata-rata di bawah 30%. Kajian theasianbanker menyimpulkan, BOPO bank di Vietnam cukup rendah, seperti Southeast Asia Commercial Bank, Vietnam Technological and Commercial Bank; Commercial Bank for Foreign Trade yang masing-masing hanya 28%.
Terlepas dari itu, sambung Aviliani, kondisi bank umum nasional relatif kokoh. Namun, imbuh dia, analisis lebih lanjut menggunakan data individual bank perlu dilakukan.
Adapun jika dilihat secara Non Performing Loan (NPL), porsi kredit macet yang paling tinggi terjadi pada jenis kredit modal kerja. Kredit macet modal kerja di BUKU I mencapai 7,8% sedangkan di BUKU II mencapai 5,6%.
"Kredit macet investasi di BUKU II mencapai 5,1%," katanya. Secara keseluruhan, nominal kredit macet di seluruh kelompok bank naik, kecuali pada BUKU I. Lonjakan tertinggi pada BUKU II (27%) disusul BUKU IV (19%) dan BUKU III (18%).
Ekonom Senior Indef Aviliani membeberkan penyebab tingginya biaya operasional perbankan tersebut. Menurut dia, BOPO tinggi di Indonesia dikarenakan beberapa faktor, antara lain ketatnya likuiditas.
"Dengan likuiditas ketat, maka bank harus menawarkan promo atau hadiah kepada calon nasabah," kata Aviliani dalam webinar yang digelar Indef di Jakarta, Kamis (23/7/2020).
(Baca Juga: Eks Petinggi BI Wanti-Wanti, Jangan Terlena dengan Data Perbankan yang Tersaji)
Faktor lainnya, sambung dia, adalah masih tingginya suku bunga simpanan dibandingkan negara lain. Faktor ketiga, segmentasi perbankan, dimana bank-bank besar lebih efisien karena teknologi.
Mengenai BOPO yang wajar, Aviliani menyebutkan bahwa bank-bank di Asia memiliki BOPO relatif rendah, bahkan rata-rata di bawah 30%. Kajian theasianbanker menyimpulkan, BOPO bank di Vietnam cukup rendah, seperti Southeast Asia Commercial Bank, Vietnam Technological and Commercial Bank; Commercial Bank for Foreign Trade yang masing-masing hanya 28%.
Terlepas dari itu, sambung Aviliani, kondisi bank umum nasional relatif kokoh. Namun, imbuh dia, analisis lebih lanjut menggunakan data individual bank perlu dilakukan.
Adapun jika dilihat secara Non Performing Loan (NPL), porsi kredit macet yang paling tinggi terjadi pada jenis kredit modal kerja. Kredit macet modal kerja di BUKU I mencapai 7,8% sedangkan di BUKU II mencapai 5,6%.
"Kredit macet investasi di BUKU II mencapai 5,1%," katanya. Secara keseluruhan, nominal kredit macet di seluruh kelompok bank naik, kecuali pada BUKU I. Lonjakan tertinggi pada BUKU II (27%) disusul BUKU IV (19%) dan BUKU III (18%).
(fai)
tulis komentar anda