Dibutuhkan Sinergi Pemerintah dan Industri untuk Antisipasi Dampak Pemanasan Global
Minggu, 09 Juli 2023 - 16:01 WIB
JAKARTA - Di tahun 2023 pemerintah telah menaikkan target Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 dari 29% menjadi 31,8% untuk menuju karbon netral di tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, pemerintah membutuhkan tindakan kolektif dari semua pihak guna membangun ekosistem yang berdaya-guna.
Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Konstruksi, Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR , Nicodemus Daud menerangkan, tahun 2017 Indonesia berada di daftar 10 besar negara penghasil karbon terbanyak di dunia. Indonesia menyumbang 275,4 megaton karbondioksida (mega-ton CO2).
Dari jumlah tersebut, penyumbang terbesarnya adalah industri yang di dalamnya termasuk pertanian, peternakan, dan konstruksi. Menurut Nicodemus, pemerintah sudah memiliki tahapan-tahapan rencana jangka panjang untuk mengatasi masalah ini.
"Masalah lingkungan ini juga masuk dalam 7 prioritas nasional rencana kerja pemerintah tahun 2024. Targetnya salah satunya adalah penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 27,7%,” terang Nicodemus dalam seminar Sustainable Construction di Pameran IndoBuildTech 2023, ICE BSD, Tangerang Selatan, dikutip Minggu (9/7/2023).
Nicodemus menjelaskan, ada tiga dampak perubahan iklim yang berkaitan dengan sektor perumahan dan permukiman. Pertama adanya peningkatan atau penurunan curah hujan, kemudian peningkatan kejadian cuaca ekstrem.
Yang terakhir, peningkatan tinggi muka laut. Dampak ini yang kemudian menjadi tantangan Kementerian PUPR dalam melaksanakan pembangunan konstruksi di Tanah Air.
“Solusi atas tantangan tadi adalah pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan. Tantangan dan solusi ini kemudian harus diimplementasikan di lapangan. Caranya dengan menerapkan pembangunan infrastruktur berbasis lingkungan dan berkelanjutan pada semua paket-paket pekerjaan PUPR,” terang Nicodemus lagi.
Senada, Vice President Tatalogam Group, Stephanus Koeswandi menyebut, masalah perubahan iklim dan pemanasan global bukan sekadar masalah pemerintah saja. Semua elemen masyarakat harus terlibat menjaga keberlangsungan lingkungan, demi generasi yang akan datang.
Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Konstruksi, Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR , Nicodemus Daud menerangkan, tahun 2017 Indonesia berada di daftar 10 besar negara penghasil karbon terbanyak di dunia. Indonesia menyumbang 275,4 megaton karbondioksida (mega-ton CO2).
Dari jumlah tersebut, penyumbang terbesarnya adalah industri yang di dalamnya termasuk pertanian, peternakan, dan konstruksi. Menurut Nicodemus, pemerintah sudah memiliki tahapan-tahapan rencana jangka panjang untuk mengatasi masalah ini.
"Masalah lingkungan ini juga masuk dalam 7 prioritas nasional rencana kerja pemerintah tahun 2024. Targetnya salah satunya adalah penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 27,7%,” terang Nicodemus dalam seminar Sustainable Construction di Pameran IndoBuildTech 2023, ICE BSD, Tangerang Selatan, dikutip Minggu (9/7/2023).
Nicodemus menjelaskan, ada tiga dampak perubahan iklim yang berkaitan dengan sektor perumahan dan permukiman. Pertama adanya peningkatan atau penurunan curah hujan, kemudian peningkatan kejadian cuaca ekstrem.
Yang terakhir, peningkatan tinggi muka laut. Dampak ini yang kemudian menjadi tantangan Kementerian PUPR dalam melaksanakan pembangunan konstruksi di Tanah Air.
“Solusi atas tantangan tadi adalah pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan. Tantangan dan solusi ini kemudian harus diimplementasikan di lapangan. Caranya dengan menerapkan pembangunan infrastruktur berbasis lingkungan dan berkelanjutan pada semua paket-paket pekerjaan PUPR,” terang Nicodemus lagi.
Senada, Vice President Tatalogam Group, Stephanus Koeswandi menyebut, masalah perubahan iklim dan pemanasan global bukan sekadar masalah pemerintah saja. Semua elemen masyarakat harus terlibat menjaga keberlangsungan lingkungan, demi generasi yang akan datang.
tulis komentar anda