Habiskan Subsidi Rp45 T dari APBN, Program Gas Murah Industri Tertentu Dievaluasi
Senin, 25 Maret 2024 - 12:54 WIB
JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sedang melakukan evaluasi terhadap keberlanjutan program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang telah berlangsung sejak April 2020 dan akan berakhir pada Desember tahun ini. Evaluasi dilakukan menyusul besarnya penerimaan negara yang hilang akibat program harga gas USD 6 per mmbtu yang ditujukan kepada 7 industri tertentu ini.
Sejak program ini digulirkan, pemerintah telah kehilangan penerimaan negara lebih dari Rp45,06 triliun. Menteri Keuangan atau Menkeu Sri Mulyani menjelaskan, bahwa kebijakan HGBT didesain untuk tidak hanya mampu meningkatkan daya saing korporasi dan menguatkan perekonomian, namun juga menjaga kesehatan dari fiskal/ APBN sendiri.
“Kesehatan #APBNKiTa penting untuk terus dijaga agar Indonesia mampu terus melanjutkan agenda pembangunan,” jelas Menteri Sri Mulyani seperti dikutip dari laman instagram pribadinya, Jumat (22/3).
Meskipun tidak menjadi bagian dari program subsidi energi yang tercantum dalam APBN, program harga gas murah untuk industri tertentu ini telah menggerogoti pendapatan negara. Pasalnya berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) 121 Tahun 2020 tentang penetapan harga gas bumi tertentu (HGBT), penerimaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tidak boleh berkurang alias kept-whole untuk memasok gas murah kepada industri. Sehingga jika harga gas di hulu diturunkan, maka konsekuensinya penerimaan negara harus dikurangi.
Selama periode 2021-2023, berdasarkan perkiraan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Kementerian ESDM, nilai pendapatan negara yang hilang di sektor hulu migas akibat program HGBT mencapai sekitar Rp 45,06 triliun.
Perinciannya, penerimaan negara tahun fiskal 2023 sekitar USD1 miliar atau setara dengan Rp15,67 triliun (kurs Rp 15.676 per dolar AS), tahun 2021 sebesar Rp16,46 triliun dan Rp12,93 triliun pada tahun 2022.
Sementara selama hampir 4 tahun ini, belum ada data riil yang disampaikan oleh kementerian terkait mengenai dampak ekonomi yang hasilkan dari para industri pengguna gas murah.
Sejak program ini digulirkan, pemerintah telah kehilangan penerimaan negara lebih dari Rp45,06 triliun. Menteri Keuangan atau Menkeu Sri Mulyani menjelaskan, bahwa kebijakan HGBT didesain untuk tidak hanya mampu meningkatkan daya saing korporasi dan menguatkan perekonomian, namun juga menjaga kesehatan dari fiskal/ APBN sendiri.
“Kesehatan #APBNKiTa penting untuk terus dijaga agar Indonesia mampu terus melanjutkan agenda pembangunan,” jelas Menteri Sri Mulyani seperti dikutip dari laman instagram pribadinya, Jumat (22/3).
Meskipun tidak menjadi bagian dari program subsidi energi yang tercantum dalam APBN, program harga gas murah untuk industri tertentu ini telah menggerogoti pendapatan negara. Pasalnya berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) 121 Tahun 2020 tentang penetapan harga gas bumi tertentu (HGBT), penerimaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tidak boleh berkurang alias kept-whole untuk memasok gas murah kepada industri. Sehingga jika harga gas di hulu diturunkan, maka konsekuensinya penerimaan negara harus dikurangi.
Selama periode 2021-2023, berdasarkan perkiraan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Kementerian ESDM, nilai pendapatan negara yang hilang di sektor hulu migas akibat program HGBT mencapai sekitar Rp 45,06 triliun.
Perinciannya, penerimaan negara tahun fiskal 2023 sekitar USD1 miliar atau setara dengan Rp15,67 triliun (kurs Rp 15.676 per dolar AS), tahun 2021 sebesar Rp16,46 triliun dan Rp12,93 triliun pada tahun 2022.
Sementara selama hampir 4 tahun ini, belum ada data riil yang disampaikan oleh kementerian terkait mengenai dampak ekonomi yang hasilkan dari para industri pengguna gas murah.
tulis komentar anda