Rhenald Kasali: Isu IPO Subholding Pertamina Terlalu Dibesar-besarkan
Sabtu, 15 Agustus 2020 - 23:29 WIB
JAKARTA - Pakar manajemen bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengkritisi banyaknya suara sumbang terkait rencana initial public offering (IPO) subholding Pertamina. Termasuk di antaranya, mengenai tudingan bahwa IPO adalah cara untuk menjual Pertamina sebagai BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
“Isu terkait rencana IPO subholding terlalu dibesar-besarkan. Ini kan hanya subholding-nya. Kalau IPO diartikan sebagai menjual perusahaan, itu tidak paham manajemen bisnis. Karena yang dijual bukan perusahaannya, tetapi sahamnya. Dan pemegang saham mayoritas tetap Pemerintah,” tegas Rhenald dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (15/8/2020).
(Baca Juga: Pak Erick Thohir! Pertamina Amblas dari Daftar Fortune Global 500 Lho.. )
Rhenald melanjutkan, bahwa penjualan saham memiliki dimensi luas. Misalnya terkait kepercayaan, yaitu untuk meningkatkan governance control. Dalam hal ini, pengawasan tidak hanya dilakukan Menteri BUMN, tetapi juga publik.
Rencana IPO subholding, menurut Rhenald, merupakan cara Pertamina untuk membuat organisasi tersebut menjadi efisien, cepat bergerak, dan dapat survive melewati masa berat. Karena saat ini tidak mudah mengelola perusahaan. Dalam 12 tahun terakhir, misalnya, perusahaan migas menghadapi tiga kali gejolak harga.
(Baca Juga: IPO Subholding Pertamina Tak Perlu Dipersoalkan, Pakar: Salah Satu Cara Pendanaan )
Dicontohkan olehnya pada saat Pandemi COVID-19 yang mengakibatkan permintaan turun, suplai naik. Kebutuhan avtur turun, orang bepergian turun, harga turun, investor tidak ada yang tertarik untuk investasi mencari minyak. “Jadi mau apa kalau ini tidak boleh, itu tdk boleh? Itu bisa mati!” tegas Rhenald.
Terkait hal itu, Rhenald melihat, bahwa Pertamina mencari cara lain, yaitu dengan kolaborasi. Dan yang dilakukan Pertamina, adalah hal biasa yang sah-sah saja dan tidak perlu dipersoalkan.
“Mari kita berpikir dengan cara-cara baru dalam melihat dunia migas kita. Jangan berpikir tentang kedaulatan saja, tetapi juga ketahanan. Ketahanan, yaitu bagaimana sesuatu di dunia ini sudah kolaborasi antar bangsa. Karena saat ini tidak ada yang bisa berdiri sendiri, semua kolaborasi,” jelas Rhenald.
Itu sebabnya, menurut Rhenald, rencana IPO subholding Pertamina memang tak perlu dipersoalkan. Apalagi, hingga saat ini belum upaya konkret bahwa Pertamina akan melakukan IPO subholding-nya. “Belum sampai ke sana. Ini kan belum ada statement, belum ada keputusan,” kata dia.
Dan kalau pun dilaksanakan, lanjut Rhenald, tentu membutuhkan persiapan panjang dan waktu lama. Misal terkait persiapan akuntansi, governance, pembenahan aset-aset, dan sebagainya. “Bisa jadi butuh waktu enam bulan atau paling cepat satu tahun. Tapi apa benar mau IPO? Saya kok tidak baca itu. Dialog public juga belum ada,” pungkasnya.
“Isu terkait rencana IPO subholding terlalu dibesar-besarkan. Ini kan hanya subholding-nya. Kalau IPO diartikan sebagai menjual perusahaan, itu tidak paham manajemen bisnis. Karena yang dijual bukan perusahaannya, tetapi sahamnya. Dan pemegang saham mayoritas tetap Pemerintah,” tegas Rhenald dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (15/8/2020).
(Baca Juga: Pak Erick Thohir! Pertamina Amblas dari Daftar Fortune Global 500 Lho.. )
Rhenald melanjutkan, bahwa penjualan saham memiliki dimensi luas. Misalnya terkait kepercayaan, yaitu untuk meningkatkan governance control. Dalam hal ini, pengawasan tidak hanya dilakukan Menteri BUMN, tetapi juga publik.
Rencana IPO subholding, menurut Rhenald, merupakan cara Pertamina untuk membuat organisasi tersebut menjadi efisien, cepat bergerak, dan dapat survive melewati masa berat. Karena saat ini tidak mudah mengelola perusahaan. Dalam 12 tahun terakhir, misalnya, perusahaan migas menghadapi tiga kali gejolak harga.
(Baca Juga: IPO Subholding Pertamina Tak Perlu Dipersoalkan, Pakar: Salah Satu Cara Pendanaan )
Dicontohkan olehnya pada saat Pandemi COVID-19 yang mengakibatkan permintaan turun, suplai naik. Kebutuhan avtur turun, orang bepergian turun, harga turun, investor tidak ada yang tertarik untuk investasi mencari minyak. “Jadi mau apa kalau ini tidak boleh, itu tdk boleh? Itu bisa mati!” tegas Rhenald.
Terkait hal itu, Rhenald melihat, bahwa Pertamina mencari cara lain, yaitu dengan kolaborasi. Dan yang dilakukan Pertamina, adalah hal biasa yang sah-sah saja dan tidak perlu dipersoalkan.
“Mari kita berpikir dengan cara-cara baru dalam melihat dunia migas kita. Jangan berpikir tentang kedaulatan saja, tetapi juga ketahanan. Ketahanan, yaitu bagaimana sesuatu di dunia ini sudah kolaborasi antar bangsa. Karena saat ini tidak ada yang bisa berdiri sendiri, semua kolaborasi,” jelas Rhenald.
Itu sebabnya, menurut Rhenald, rencana IPO subholding Pertamina memang tak perlu dipersoalkan. Apalagi, hingga saat ini belum upaya konkret bahwa Pertamina akan melakukan IPO subholding-nya. “Belum sampai ke sana. Ini kan belum ada statement, belum ada keputusan,” kata dia.
Dan kalau pun dilaksanakan, lanjut Rhenald, tentu membutuhkan persiapan panjang dan waktu lama. Misal terkait persiapan akuntansi, governance, pembenahan aset-aset, dan sebagainya. “Bisa jadi butuh waktu enam bulan atau paling cepat satu tahun. Tapi apa benar mau IPO? Saya kok tidak baca itu. Dialog public juga belum ada,” pungkasnya.
(akr)
tulis komentar anda