Cukai Rokok Naik 67% dalam 5 Tahun, Bahayakan Pekerja dan Industri
Rabu, 29 Mei 2024 - 17:11 WIB
JAKARTA - Tingginya kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau ( CHT ) secara tahunan dinilai mengancam keberlangsungan industri, yang turut berdampak kepada para pekerjanya.
Ketua Pengurus Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Jawa Timur, Purnomo, menyatakan kenaikan CHT menjadi momok dan menghantui keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT).
Secara kumulatif, kenaikan tarif CHT telah mencapai 67,5% dalam lima tahun terakhir. Hal ini membuat harga rokok melejit, sehinga menyebabkan maraknya penyebaran rokok ilegal di masyarakat.
"Akibatnya perusahaan rokok legal bisa mati karena kalah saing. Oleh karena itu, kebijakan kenaikan tarif cukai rokok harus melihat kemampuan industrinya," ujar dia melalui pernyataannya, di kutip, Rabu (29/5/2024).
Purnomo mendesak pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2025. Dengan begitu, jumlah tenaga kerja diharapkan dapat terus bertambah ke depannya. "Apabila kondisi IHT baik, maka jumlah tenaga kerja dapat bertambah. Misalnya, seperti di sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT), kebijakan tarif cukai rokok yang berpihak bagi SKT mendukung serapan tenaga kerja," ungkapnya.
Terdapat penambahan dua perusahaan dengan jumlah tenaga kerja sekitar 5.000 orang di RTMM. Hal ini sangat membantu mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia terutama di Jawa Timur, di mana jumlah pengangguran masih signifikan.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati Tangka, memaparkan bahwa sekitar 90% pekerja di sektor SKT merupakan perempuan. Namun, belum melihat adanya peran pemerintah yang maksimal dalam memperhatikan serta melindungi hak-hak pekerja perempuan di sektor SKT.
Kekhawatiran ini didasari oleh besarnya ketergantungan kinerja SKT pada kebijakan pemerintah. Kenaikan cukai rokok yang tinggi setiap tahun dapat berdampak langsung bagi IHT dan mengancam keberlangsungan pekerjanya. Maka, kenaikan cukai rokok diharapkan tidak hanya dilihat dari segi finansial dan inflasi, tapi juga dari dampak pada aspek pekerja.
Ketua Pengurus Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Jawa Timur, Purnomo, menyatakan kenaikan CHT menjadi momok dan menghantui keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT).
Secara kumulatif, kenaikan tarif CHT telah mencapai 67,5% dalam lima tahun terakhir. Hal ini membuat harga rokok melejit, sehinga menyebabkan maraknya penyebaran rokok ilegal di masyarakat.
"Akibatnya perusahaan rokok legal bisa mati karena kalah saing. Oleh karena itu, kebijakan kenaikan tarif cukai rokok harus melihat kemampuan industrinya," ujar dia melalui pernyataannya, di kutip, Rabu (29/5/2024).
Purnomo mendesak pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2025. Dengan begitu, jumlah tenaga kerja diharapkan dapat terus bertambah ke depannya. "Apabila kondisi IHT baik, maka jumlah tenaga kerja dapat bertambah. Misalnya, seperti di sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT), kebijakan tarif cukai rokok yang berpihak bagi SKT mendukung serapan tenaga kerja," ungkapnya.
Terdapat penambahan dua perusahaan dengan jumlah tenaga kerja sekitar 5.000 orang di RTMM. Hal ini sangat membantu mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia terutama di Jawa Timur, di mana jumlah pengangguran masih signifikan.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati Tangka, memaparkan bahwa sekitar 90% pekerja di sektor SKT merupakan perempuan. Namun, belum melihat adanya peran pemerintah yang maksimal dalam memperhatikan serta melindungi hak-hak pekerja perempuan di sektor SKT.
Kekhawatiran ini didasari oleh besarnya ketergantungan kinerja SKT pada kebijakan pemerintah. Kenaikan cukai rokok yang tinggi setiap tahun dapat berdampak langsung bagi IHT dan mengancam keberlangsungan pekerjanya. Maka, kenaikan cukai rokok diharapkan tidak hanya dilihat dari segi finansial dan inflasi, tapi juga dari dampak pada aspek pekerja.
Lihat Juga :
tulis komentar anda