Larangan Jual Rokok Radius 200 Meter Ancam Usaha Pedagang Kecil
Rabu, 10 Juli 2024 - 21:47 WIB
JAKARTA - Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI) dan Persatuan Pedagang Kelontong Seluruh Indonesia (PPKSI) secara bersama-sama meminta agar pemerintah menghapuskan larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak yang tertera pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.
Berdasarkan draft RPP Kesehatan yang beredar luas saat ini disebutkan pada pasal 434 ayat 1 huruf e bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Ketua Umum APARSI Suhendro mengatakan aturan ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi kerakyakatan. Padahal Pemerintah tengah mendorong berbagai inisiatif dan program untuk mendongkrak geliat ekonomi kerakyatan. Selain itu, aturan tersebut juga akan mengancam mata pencaharian para pedagang kecil di seluruh Indonesia.
"Mempertimbangkan gentingnya status pengesahan RPP Kesehatan yang segera disahkan oleh Kementerian Kesehatan, maka kami telah menyurati Presiden Jokowi untuk meminta perlindungan terhadap sektor penggerak ekonomi kerakyatan," serunya ketika konferensi pers Sikap APARSI dan PPKSI terkait larangan penjualan 200 meter pada RPP Kesehatan, di Jakarta, Rabu (10/07/2024).
Suhendro melanjutkan aturan larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter tersebut mustahil untuk diimplementasikan. Hal ini mengingat banyaknya pasar yang berdekatan dengan sekolah atau instansi pendidikan lainnya ditambah dengan sebaran lokasi sekolah. Jika disahkan, aturan ini akan menimbulkan domino effect yang dapat mengancam keberlangsungan seluruh pedagang kecil di Indonesia.
“Kalau melihat kondisi di lapangan saat ini, aturan ini sama saja ingin mematikan usaha perdagangan rakyat. Jika diterbitkan, maka rantai pasok antara pedagang grosir pasar dengan pedagang kelontong bisa rusak akibat regulasi yang tidak berimbang tersebut,” paparnya.
Di kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Persatuan Pedagang Kelontong Sumenep Indonesia (PPKSI), Hamdan Maulana menyampaikan bahwa 60% total rata-rata pendapatan harian pedagang toko kelontong di Indonesia berasal dari perjualan rokok denga kisaran omzet harian sebesar Rp6-7 juta. Aturan ini juga akan mendiskriminasi pedagang kecil yang telah memiliki warung yang berdekatan dengan satuan pendidikan maupun tempat bermain anak.
"Bagaimana nasib para pedagang kelontong yang dari dulu sudah memiliki warung di dekat sekolah? Apakah mereka harus dipaksa pindah? Kalau aturan ini disahkan, maka omzet para pedagang tersebut akan anjlok. Bagi kami, aturan ini sangat diskriminatif," imbuhnya.
Berdasarkan draft RPP Kesehatan yang beredar luas saat ini disebutkan pada pasal 434 ayat 1 huruf e bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Ketua Umum APARSI Suhendro mengatakan aturan ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi kerakyakatan. Padahal Pemerintah tengah mendorong berbagai inisiatif dan program untuk mendongkrak geliat ekonomi kerakyatan. Selain itu, aturan tersebut juga akan mengancam mata pencaharian para pedagang kecil di seluruh Indonesia.
"Mempertimbangkan gentingnya status pengesahan RPP Kesehatan yang segera disahkan oleh Kementerian Kesehatan, maka kami telah menyurati Presiden Jokowi untuk meminta perlindungan terhadap sektor penggerak ekonomi kerakyatan," serunya ketika konferensi pers Sikap APARSI dan PPKSI terkait larangan penjualan 200 meter pada RPP Kesehatan, di Jakarta, Rabu (10/07/2024).
Suhendro melanjutkan aturan larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter tersebut mustahil untuk diimplementasikan. Hal ini mengingat banyaknya pasar yang berdekatan dengan sekolah atau instansi pendidikan lainnya ditambah dengan sebaran lokasi sekolah. Jika disahkan, aturan ini akan menimbulkan domino effect yang dapat mengancam keberlangsungan seluruh pedagang kecil di Indonesia.
“Kalau melihat kondisi di lapangan saat ini, aturan ini sama saja ingin mematikan usaha perdagangan rakyat. Jika diterbitkan, maka rantai pasok antara pedagang grosir pasar dengan pedagang kelontong bisa rusak akibat regulasi yang tidak berimbang tersebut,” paparnya.
Di kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Persatuan Pedagang Kelontong Sumenep Indonesia (PPKSI), Hamdan Maulana menyampaikan bahwa 60% total rata-rata pendapatan harian pedagang toko kelontong di Indonesia berasal dari perjualan rokok denga kisaran omzet harian sebesar Rp6-7 juta. Aturan ini juga akan mendiskriminasi pedagang kecil yang telah memiliki warung yang berdekatan dengan satuan pendidikan maupun tempat bermain anak.
"Bagaimana nasib para pedagang kelontong yang dari dulu sudah memiliki warung di dekat sekolah? Apakah mereka harus dipaksa pindah? Kalau aturan ini disahkan, maka omzet para pedagang tersebut akan anjlok. Bagi kami, aturan ini sangat diskriminatif," imbuhnya.
tulis komentar anda