Tren PHK Menjamur di ASEAN, Pemerintah Diminta Cepat Tanggap
Kamis, 18 Juli 2024 - 08:29 WIB
JAKARTA - Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan mengingatkan agar pemerintah untuk secara khusus memberi perhatian terkait tren yang terjadi belakangan ini di ASEAN terutama di Thailand yang sektor industrinya mengalami kemunduran. Seperti diberitakan kantor berita Reuters, Thailand mengalami gelombang penutupan pabrik dan PHK besar-besaran. Sekitar 2.000 pabrik ditutup dalam setahun belakangan dengan jumlah lapangan kerja yang hilang sekitar 51.500.
Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin menyebutkan bahwa tingkat utilisasi industri turun hingga di bawah 60% hingga membuat tak bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan yaitu di atas 5%.
Badan perencanaan nasional Thailand, National Economic and Social Development Council, mengeluarkan pernyataan bahwa masalah tersebut muncul salah satunya karena arus deras barang impor dari China yang membuat industri dalam negerinya kesulitan bersaing.
Abdillah menyampaikan kekhawatirannya masalah serupa bisa terjadi di Indonesia jika pemerintah tidak cepat tanggap. Menurutnya tanda-tanda kondisi tersebut kelihatan pada banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil yang selama ini menerima hantaman cukup besar dari barang-barang impor.
"Berkaca dari kondisi yang terjadi di Thailand, utilisasi yang rendah menunjukkan permintaan konsumen yang rendah juga. Hal ini bisa disebabkan oleh efek substitusi karena ada barang yang jauh lebih murah dari luar negeri misalnya. Selain itu karena penurunan daya beli di dalam negeri. Di masa suram ekonomi dunia karena geopolitik yang tidak mendukung, pemerintah perlu melakukan afirmasi kebijakan untuk melindungi produsen dalam negeri yang menyerap banyak tenaga kerja," terang Abdillah dalam keterangannya, Kamis (18/7/2024).
Dalam situasi ini, Abdillah memberikan saran untuk beberapa kementerian yang langsung terkait dengan fenomena impor barang murah dari China yang bisa berdampak sangat merugikan bagi industri dalam negeri.
"Pertama, Kementerian Koordinator bidang Perekonomian menurutnya harus mampu mengkoordinir semua kepentingan dengan baik, demi kesejahteraan baik produsen maupun konsumen dalam negeri. Kedua, Kementerian Perindustrian harus menjalankan kebijakan seleksi impor yang ketat dan selalu mempertimbangkan dengan dalam dampak kebijakan terhadap daya saing industri dalam negeri," sebut Abdillah.
"Ketiga, Kementerian Keuangan harus mampu menciptakan kebijakan tarif impor yang mendukung daya saing industri dalam negeri. Keempat, Kementerian Perdagangan perlu menegaskan sikapnya dalam mendukung kepentingan nasional dengan tidak menghalangi pelaksanaan regulasi pengetatan impor yang sekarang dilakukan," tambah Abdillah.
Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin menyebutkan bahwa tingkat utilisasi industri turun hingga di bawah 60% hingga membuat tak bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan yaitu di atas 5%.
Badan perencanaan nasional Thailand, National Economic and Social Development Council, mengeluarkan pernyataan bahwa masalah tersebut muncul salah satunya karena arus deras barang impor dari China yang membuat industri dalam negerinya kesulitan bersaing.
Abdillah menyampaikan kekhawatirannya masalah serupa bisa terjadi di Indonesia jika pemerintah tidak cepat tanggap. Menurutnya tanda-tanda kondisi tersebut kelihatan pada banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil yang selama ini menerima hantaman cukup besar dari barang-barang impor.
"Berkaca dari kondisi yang terjadi di Thailand, utilisasi yang rendah menunjukkan permintaan konsumen yang rendah juga. Hal ini bisa disebabkan oleh efek substitusi karena ada barang yang jauh lebih murah dari luar negeri misalnya. Selain itu karena penurunan daya beli di dalam negeri. Di masa suram ekonomi dunia karena geopolitik yang tidak mendukung, pemerintah perlu melakukan afirmasi kebijakan untuk melindungi produsen dalam negeri yang menyerap banyak tenaga kerja," terang Abdillah dalam keterangannya, Kamis (18/7/2024).
Dalam situasi ini, Abdillah memberikan saran untuk beberapa kementerian yang langsung terkait dengan fenomena impor barang murah dari China yang bisa berdampak sangat merugikan bagi industri dalam negeri.
"Pertama, Kementerian Koordinator bidang Perekonomian menurutnya harus mampu mengkoordinir semua kepentingan dengan baik, demi kesejahteraan baik produsen maupun konsumen dalam negeri. Kedua, Kementerian Perindustrian harus menjalankan kebijakan seleksi impor yang ketat dan selalu mempertimbangkan dengan dalam dampak kebijakan terhadap daya saing industri dalam negeri," sebut Abdillah.
"Ketiga, Kementerian Keuangan harus mampu menciptakan kebijakan tarif impor yang mendukung daya saing industri dalam negeri. Keempat, Kementerian Perdagangan perlu menegaskan sikapnya dalam mendukung kepentingan nasional dengan tidak menghalangi pelaksanaan regulasi pengetatan impor yang sekarang dilakukan," tambah Abdillah.
Lihat Juga :
tulis komentar anda