Pertamina Tekor Rp11 T, Pengamat: Exxon Dkk Juga Rugi Kok
Selasa, 25 Agustus 2020 - 20:42 WIB
Dia menilai, Pertamina dengan kondisi saat ini mengalami tekanan yang luar biasa. Menurutnya ada beberapa poin yang menyebabkan beban keuangan Pertamina bertambah. Pertama, turunnya pendapatan dan penjualan yang mencapai 20%. Penurunan ini, mengoreksi pendapatan Pertamina dari USD25,5 miliar pada semester I/2019 hanya menjadi USD20,4 miliar di 2020.
(Baca Juga: Kinerja 2019, Pertamina Tetap Sejajar dengan Perusahaan Kelas Dunia)
Dampak dari Covid-19 dimana harga minyak dunia mengalami penurunan yang drastis sehingga ICP juga terkoreksi sangat dalam menyebabkan pendapatan dari domestik migas hulu terjun 21% menjadi USD16,5 miliar, dari USD20,9 miliar pada 2019," paparnya.
Kedua, rupiah yang terdepresiasi cukup dalam sepanjang semester I membuat Pertamina mengalami rugi selisih kurs sebesar USD211.8 Juta atau minus 428% jika dibandingkan periode 2019 dimana membukukan keuntungan sebesar USD64,5 juta. Ketiga, penjualan sektor hilir yang terpukul sampai 13% dari periode sebelumnya. Saat ini secara nasional konsumsi BBM hanya mencapai 117.000 kiloliter (KL), jauh lebih rendah dibandingkan 2019 dimana konsumsi BBM sebesar 135.000 KL.
"Keempat, implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73 dimana ini menambah beban keuangan Pertamina. Melalui implementasi PSAK 73 ini dimana semua barang yang disewa dalam waktu jangka panjang harus di treatment sebagai aset sehingga angka depresiasi yang tanggung Pertamina angkanya jauh lebih tinggi dari harga sewanya. Beban keuangan yang sudah terdampak akibat implementasi PSAK 73 ini berkisar di angka USD400 juta," tambahnya.
Namun, Mamit optimis Pertamina akan membalikkan keadaan di akhir tahun 2020. Indikasi itu menurutnya sudah terlihat dimana saat ini harga minyak dunia sudah stabil di level USD42–45 per barel yang sepertinya akan bertahan sampai akhir tahun ini. "Selain itu, konsumsi BBM baik itu untuk industri maupun ritel di tengah kebijakan adaptasi baru ini juga sudah mengalami kenaikan yang cukup signifikan," imbuhnya.
(Baca Juga: Kinerja 2019, Pertamina Tetap Sejajar dengan Perusahaan Kelas Dunia)
Dampak dari Covid-19 dimana harga minyak dunia mengalami penurunan yang drastis sehingga ICP juga terkoreksi sangat dalam menyebabkan pendapatan dari domestik migas hulu terjun 21% menjadi USD16,5 miliar, dari USD20,9 miliar pada 2019," paparnya.
Kedua, rupiah yang terdepresiasi cukup dalam sepanjang semester I membuat Pertamina mengalami rugi selisih kurs sebesar USD211.8 Juta atau minus 428% jika dibandingkan periode 2019 dimana membukukan keuntungan sebesar USD64,5 juta. Ketiga, penjualan sektor hilir yang terpukul sampai 13% dari periode sebelumnya. Saat ini secara nasional konsumsi BBM hanya mencapai 117.000 kiloliter (KL), jauh lebih rendah dibandingkan 2019 dimana konsumsi BBM sebesar 135.000 KL.
"Keempat, implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73 dimana ini menambah beban keuangan Pertamina. Melalui implementasi PSAK 73 ini dimana semua barang yang disewa dalam waktu jangka panjang harus di treatment sebagai aset sehingga angka depresiasi yang tanggung Pertamina angkanya jauh lebih tinggi dari harga sewanya. Beban keuangan yang sudah terdampak akibat implementasi PSAK 73 ini berkisar di angka USD400 juta," tambahnya.
Namun, Mamit optimis Pertamina akan membalikkan keadaan di akhir tahun 2020. Indikasi itu menurutnya sudah terlihat dimana saat ini harga minyak dunia sudah stabil di level USD42–45 per barel yang sepertinya akan bertahan sampai akhir tahun ini. "Selain itu, konsumsi BBM baik itu untuk industri maupun ritel di tengah kebijakan adaptasi baru ini juga sudah mengalami kenaikan yang cukup signifikan," imbuhnya.
(fai)
tulis komentar anda