Pertamina Tekor Rp11 T, Pengamat: Exxon Dkk Juga Rugi Kok
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kabar soal ruginya PT Pertamina (Persero) saat ini santer dibahas di berbagai media. Berdasarkan Laporan Keuangan Semester I/2020, BUMN energi terintegrasi ini mengalami kerugian sebesar USD767,2 juta atau sekitar Rp11,33 triliun.
Menanggapi isu ini, pengamat energi Mamit Setiawan angkat bicara. Direktur Eksekutif Energy Watch ini mengatakan, dari sisi kinerja, Pertamina bukan satu-satunya perusahaan migas yang membukukan kerugian di paruh pertama tahun ini.
"Industri migas dunia tengah mengalami masa sulit akibat pandemi Covid-19 ini. Banyak perusahaan migas dunia yang mengalami kerugian di sepanjang paruh pertama 2020 ini," ungkapnya di Jakarta, Selasa (25/8/2020).
Dia memaparkan, raksasa migas asal Amerika Serikat (AS) ExxonMobil, dalam laporan yang diterbitkan tanggal 31 Juli 2020 menyampaikan kerugian USD1,1 miliar (sekitar Rp16 triliun) selama semester I/2020 karena kelebihan suplai minyak dunia akibat melemahnya permintaan yang disebabkan pandemi Covid-19. Akibat kerugian ini, nilai saham Exxon bahkan terdilusi sebesar USD0,26.
(Baca Juga: Pertamina Pecahkan Rekor Lagi, tapi Kali Ini Soal Kerugian)
Hal yang sama menurut Mamit juga terjadi pada perusahaan minyak asal Inggis, BP. Berdasarkan laporan keuangan yang dikeluarkan perusahaan itu, sepanjang semester I/2020, BP mengalami kerugian sebesar USD6,7 miliar (sekitar Rp97 triliun). Kinerja tersebut berbanding terbalik dengan periode yang sama tahun lalu dimana BP membukukan keuntungan USD2,8 miliar.
"Sama. Penyebab ruginya BP adalah lemahnya harga minyak dan gas dunia, margin yang rendah dari produk kilang, pemangkasan produksi minyak dan gas, serta rendahnya permintaan untuk bahan bakar dan juga pelumas," ujar Mamit.
Chevron, raksasa migas lain yang juga berbasis di AS, dalam laporan keuangannya di semester I/2020 mencatatkan kerugian sebesar USD8,3 miliar atau sekitar Rp120 triliun, dengan saham yang terdilusi sebesar USD4,44 per lembarnya. Dalam laporannya, kata Mamit, CEO Chevron Michel K Wirth menuding pandemi Covid-19 berdampak pada melemahnya harga produk dan juga permintaan.
"Jadi kerugian Pertamina Rp11,33 triliun itu terbilang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan perusahaan migas dunia yang lain. Pandemi Covid-19 ini bisa dikatakan kondisi force majeure dimana tidak ada satupun pihak yang siap dengan dampaknya," cetus Mamit.
Dia menilai, Pertamina dengan kondisi saat ini mengalami tekanan yang luar biasa. Menurutnya ada beberapa poin yang menyebabkan beban keuangan Pertamina bertambah. Pertama, turunnya pendapatan dan penjualan yang mencapai 20%. Penurunan ini, mengoreksi pendapatan Pertamina dari USD25,5 miliar pada semester I/2019 hanya menjadi USD20,4 miliar di 2020.
(Baca Juga: Kinerja 2019, Pertamina Tetap Sejajar dengan Perusahaan Kelas Dunia)
Dampak dari Covid-19 dimana harga minyak dunia mengalami penurunan yang drastis sehingga ICP juga terkoreksi sangat dalam menyebabkan pendapatan dari domestik migas hulu terjun 21% menjadi USD16,5 miliar, dari USD20,9 miliar pada 2019," paparnya.
Kedua, rupiah yang terdepresiasi cukup dalam sepanjang semester I membuat Pertamina mengalami rugi selisih kurs sebesar USD211.8 Juta atau minus 428% jika dibandingkan periode 2019 dimana membukukan keuntungan sebesar USD64,5 juta. Ketiga, penjualan sektor hilir yang terpukul sampai 13% dari periode sebelumnya. Saat ini secara nasional konsumsi BBM hanya mencapai 117.000 kiloliter (KL), jauh lebih rendah dibandingkan 2019 dimana konsumsi BBM sebesar 135.000 KL.
"Keempat, implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73 dimana ini menambah beban keuangan Pertamina. Melalui implementasi PSAK 73 ini dimana semua barang yang disewa dalam waktu jangka panjang harus di treatment sebagai aset sehingga angka depresiasi yang tanggung Pertamina angkanya jauh lebih tinggi dari harga sewanya. Beban keuangan yang sudah terdampak akibat implementasi PSAK 73 ini berkisar di angka USD400 juta," tambahnya.
Namun, Mamit optimis Pertamina akan membalikkan keadaan di akhir tahun 2020. Indikasi itu menurutnya sudah terlihat dimana saat ini harga minyak dunia sudah stabil di level USD42–45 per barel yang sepertinya akan bertahan sampai akhir tahun ini. "Selain itu, konsumsi BBM baik itu untuk industri maupun ritel di tengah kebijakan adaptasi baru ini juga sudah mengalami kenaikan yang cukup signifikan," imbuhnya.
Menanggapi isu ini, pengamat energi Mamit Setiawan angkat bicara. Direktur Eksekutif Energy Watch ini mengatakan, dari sisi kinerja, Pertamina bukan satu-satunya perusahaan migas yang membukukan kerugian di paruh pertama tahun ini.
"Industri migas dunia tengah mengalami masa sulit akibat pandemi Covid-19 ini. Banyak perusahaan migas dunia yang mengalami kerugian di sepanjang paruh pertama 2020 ini," ungkapnya di Jakarta, Selasa (25/8/2020).
Dia memaparkan, raksasa migas asal Amerika Serikat (AS) ExxonMobil, dalam laporan yang diterbitkan tanggal 31 Juli 2020 menyampaikan kerugian USD1,1 miliar (sekitar Rp16 triliun) selama semester I/2020 karena kelebihan suplai minyak dunia akibat melemahnya permintaan yang disebabkan pandemi Covid-19. Akibat kerugian ini, nilai saham Exxon bahkan terdilusi sebesar USD0,26.
(Baca Juga: Pertamina Pecahkan Rekor Lagi, tapi Kali Ini Soal Kerugian)
Hal yang sama menurut Mamit juga terjadi pada perusahaan minyak asal Inggis, BP. Berdasarkan laporan keuangan yang dikeluarkan perusahaan itu, sepanjang semester I/2020, BP mengalami kerugian sebesar USD6,7 miliar (sekitar Rp97 triliun). Kinerja tersebut berbanding terbalik dengan periode yang sama tahun lalu dimana BP membukukan keuntungan USD2,8 miliar.
"Sama. Penyebab ruginya BP adalah lemahnya harga minyak dan gas dunia, margin yang rendah dari produk kilang, pemangkasan produksi minyak dan gas, serta rendahnya permintaan untuk bahan bakar dan juga pelumas," ujar Mamit.
Chevron, raksasa migas lain yang juga berbasis di AS, dalam laporan keuangannya di semester I/2020 mencatatkan kerugian sebesar USD8,3 miliar atau sekitar Rp120 triliun, dengan saham yang terdilusi sebesar USD4,44 per lembarnya. Dalam laporannya, kata Mamit, CEO Chevron Michel K Wirth menuding pandemi Covid-19 berdampak pada melemahnya harga produk dan juga permintaan.
"Jadi kerugian Pertamina Rp11,33 triliun itu terbilang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan perusahaan migas dunia yang lain. Pandemi Covid-19 ini bisa dikatakan kondisi force majeure dimana tidak ada satupun pihak yang siap dengan dampaknya," cetus Mamit.
Dia menilai, Pertamina dengan kondisi saat ini mengalami tekanan yang luar biasa. Menurutnya ada beberapa poin yang menyebabkan beban keuangan Pertamina bertambah. Pertama, turunnya pendapatan dan penjualan yang mencapai 20%. Penurunan ini, mengoreksi pendapatan Pertamina dari USD25,5 miliar pada semester I/2019 hanya menjadi USD20,4 miliar di 2020.
(Baca Juga: Kinerja 2019, Pertamina Tetap Sejajar dengan Perusahaan Kelas Dunia)
Dampak dari Covid-19 dimana harga minyak dunia mengalami penurunan yang drastis sehingga ICP juga terkoreksi sangat dalam menyebabkan pendapatan dari domestik migas hulu terjun 21% menjadi USD16,5 miliar, dari USD20,9 miliar pada 2019," paparnya.
Kedua, rupiah yang terdepresiasi cukup dalam sepanjang semester I membuat Pertamina mengalami rugi selisih kurs sebesar USD211.8 Juta atau minus 428% jika dibandingkan periode 2019 dimana membukukan keuntungan sebesar USD64,5 juta. Ketiga, penjualan sektor hilir yang terpukul sampai 13% dari periode sebelumnya. Saat ini secara nasional konsumsi BBM hanya mencapai 117.000 kiloliter (KL), jauh lebih rendah dibandingkan 2019 dimana konsumsi BBM sebesar 135.000 KL.
"Keempat, implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73 dimana ini menambah beban keuangan Pertamina. Melalui implementasi PSAK 73 ini dimana semua barang yang disewa dalam waktu jangka panjang harus di treatment sebagai aset sehingga angka depresiasi yang tanggung Pertamina angkanya jauh lebih tinggi dari harga sewanya. Beban keuangan yang sudah terdampak akibat implementasi PSAK 73 ini berkisar di angka USD400 juta," tambahnya.
Namun, Mamit optimis Pertamina akan membalikkan keadaan di akhir tahun 2020. Indikasi itu menurutnya sudah terlihat dimana saat ini harga minyak dunia sudah stabil di level USD42–45 per barel yang sepertinya akan bertahan sampai akhir tahun ini. "Selain itu, konsumsi BBM baik itu untuk industri maupun ritel di tengah kebijakan adaptasi baru ini juga sudah mengalami kenaikan yang cukup signifikan," imbuhnya.
(fai)