Kemasan Rokok Polos Dinilai Berdampak Buruk bagi Industri Hasil Tembakau
Sabtu, 05 Oktober 2024 - 21:49 WIB
JAKARTA - Polemik kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang kesehatan belum juga usai. Penyusunan regulasi ini dinilai penuh intrik dan terindikasi adanya intervensi asing yang berdampak sangat negatif pada industri hasil tembakau dari hulu sampai ke hilir, mulai dari petani, pekerja, hingga peritel.
Pakar Hukum Universitas Trisakti, Ali Ridho, menyoroti adanya kesamaan pendekatan dalam merumuskan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam RPMK dengan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Berdasarkan analisisnya, kesamaan pendekatan yang cenderung mengadopsi kebijakan internasional itu terlihat jelas pada sejumlah pasal dalam PP 28/2024 maupun RPMK, terutama soal standardisasi kemasan produk tembakau, yang mendorong pemberlakuan kemasan rokok polos tanpa merek.
Padahal, kata dia, Indonesia tidak meratifikasi FCTC, apalagi terdapat pertimbangan di mana Indonesia merupakan negara produsen tembakau. Sedangkan negara-negara lain yang jadi contoh Kemenkes untuk menerapkan aturan ketat bagi tembakau ini tidak memiliki pertanian maupun produksi tembakau seperti Indonesia, sehingga negara-negara ini saja yang berkiblat pada aturan global tersebut. Sebab itu, ia menilai PP 28/2024 maupun RPMK inkonstitusional dan berpotensi merugikan banyak sektor di dalam negeri.
"Haram hukumnya FCTC menjadi rujukan. Kalau dibilang ini hasil kreativitas, ya buktikan kalau itu sejalan dengan aturan yang sudah ada. Tapi kalau aturannya kontradiktif, ya berarti ini mengacu FCTC dan merupakan pembangkangan terhadap konstitusi," paparnya dalam Media Luncheon yang diselenggarakan Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), di Jakarta, baru-baru ini.
Mengutip teori dalam buku Nicotine War, Ali Ridho pun menyatakan bahwa regulasi yang menekan industri tembakau biasanya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk intervensi antarnegara dan intervensi dari sektor kesehatan serta farmasi. Dalam konteks RPMK ini, dia menduga kuat adanya pengaruh dari industri farmasi global yang mendorong Kemenkes untuk mengadopsi FCTC.
"Kalau ditanya apakah ini ada intervensi? Berdasarkan jurnal tersebut, kita lihat ini bisa saja ada intervensi dari farmasi global. Dengan melihat dari kepentingan dan lain sebagainya," tambahnya lagi.
Selain itu, Ali Ridho turut menyarankan agar dalam proses pembentukan regulasi seperti RPMK ini, Kemenkes seharusnya berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk mendapatkan data yang lebih komprehensif mengenai dampak aturan tersebut terhadap industri hasil tembakau. Sayangnya, hal ini dipertanyakan oleh pakar hukum tersebut.
Ali Ridho pun mempertanyakan apakah Kemenkes sudah melakukan koordinasi dengan kementerian lain, mengingat dampaknya yang luar biasa besar. Karena tanpa koordinasi, proses pembentukan regulasi ini dianggap bermasalah.
Pakar Hukum Universitas Trisakti, Ali Ridho, menyoroti adanya kesamaan pendekatan dalam merumuskan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam RPMK dengan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Berdasarkan analisisnya, kesamaan pendekatan yang cenderung mengadopsi kebijakan internasional itu terlihat jelas pada sejumlah pasal dalam PP 28/2024 maupun RPMK, terutama soal standardisasi kemasan produk tembakau, yang mendorong pemberlakuan kemasan rokok polos tanpa merek.
Padahal, kata dia, Indonesia tidak meratifikasi FCTC, apalagi terdapat pertimbangan di mana Indonesia merupakan negara produsen tembakau. Sedangkan negara-negara lain yang jadi contoh Kemenkes untuk menerapkan aturan ketat bagi tembakau ini tidak memiliki pertanian maupun produksi tembakau seperti Indonesia, sehingga negara-negara ini saja yang berkiblat pada aturan global tersebut. Sebab itu, ia menilai PP 28/2024 maupun RPMK inkonstitusional dan berpotensi merugikan banyak sektor di dalam negeri.
"Haram hukumnya FCTC menjadi rujukan. Kalau dibilang ini hasil kreativitas, ya buktikan kalau itu sejalan dengan aturan yang sudah ada. Tapi kalau aturannya kontradiktif, ya berarti ini mengacu FCTC dan merupakan pembangkangan terhadap konstitusi," paparnya dalam Media Luncheon yang diselenggarakan Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), di Jakarta, baru-baru ini.
Mengutip teori dalam buku Nicotine War, Ali Ridho pun menyatakan bahwa regulasi yang menekan industri tembakau biasanya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk intervensi antarnegara dan intervensi dari sektor kesehatan serta farmasi. Dalam konteks RPMK ini, dia menduga kuat adanya pengaruh dari industri farmasi global yang mendorong Kemenkes untuk mengadopsi FCTC.
"Kalau ditanya apakah ini ada intervensi? Berdasarkan jurnal tersebut, kita lihat ini bisa saja ada intervensi dari farmasi global. Dengan melihat dari kepentingan dan lain sebagainya," tambahnya lagi.
Selain itu, Ali Ridho turut menyarankan agar dalam proses pembentukan regulasi seperti RPMK ini, Kemenkes seharusnya berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk mendapatkan data yang lebih komprehensif mengenai dampak aturan tersebut terhadap industri hasil tembakau. Sayangnya, hal ini dipertanyakan oleh pakar hukum tersebut.
Ali Ridho pun mempertanyakan apakah Kemenkes sudah melakukan koordinasi dengan kementerian lain, mengingat dampaknya yang luar biasa besar. Karena tanpa koordinasi, proses pembentukan regulasi ini dianggap bermasalah.
Lihat Juga :
tulis komentar anda