Awas! PPN 12% Menggerus Daya Beli yang Sebelumnya Sudah Lesu
Jum'at, 22 November 2024 - 07:50 WIB
JAKARTA - Komisi XI DPR RI telah menegaskan bahwa penundaan kenaikan PPN menjadi 12% tidak perlu mengubah UU HPP (Harmonisasi Peraturan Pajak) 2021. Ini berarti prosesnya bisa diakomodasi dalam Peraturan Pemerintah (PP) saja.
"DPP PKB ikut mengadvokasi pandangan itu. UU HPP itu memang memberi ruang untuk exit, sehingga kenaikan PPN bukan harga mati. Tergantung situasi ekonomi rakyat. Maka keputusan saat ini ada di tangan presiden," demikian disampaikan Ketua DPP PKB Dita Indah Sari di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
PKB paham bahwa pemerintah butuh penguatan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Namun Ia memberikan catatan bahwa situasi ekonomi sekarang belum tepat.
Apalagi kenaikan PPN akan mengganggu rantai produksi manufaktur dan padat karya, yang bisa berujung pada PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) pekerja. Hingga Oktober 2024, PHK terlapor sudah 64.947 orang.
"Untuk menggenjot APBN, PKB fokus mendorong ide opsi-opsi jangka pendek lain untuk dikaji, yang jika dilakukan dampaknya tidak akan luas seperti PPN. Misalnya penyesuaian royalti dan bagi hasil produk tambang dan komoditi yang sedang bagus harganya di dunia. Atau cukai ekspor komoditi lain yang sedang baik harganya, dan cukai impor barang mewah. Bisa ada pemasukan, namun tidak mengganggu daya beli yang sedang merosot," lanjut Dita.
"Dalam jangka menengah PKB berharap lebih banyak upaya efisiensi dan penegakan hukum untuk mencegah kebocoran anggaran dalam pemasukan dan pengeluaran, seperti yang menjadi concern Presiden juga. Misalnya : illegal mining, illegal fishing dan logging, impor ilegal yang lolos cukai, penyelewengan BBM bersubsidi. Semua itu memusnahkan potensi penghasilan negara ratusan triliun," bebernya.
Ia juga menekankan, bahwa efisiensi BUMN juga menjadi wajib agar deviden meningkat. Ditambah serta penyediaan kepastian hukum dan aturan agar menarik investor dalam dan luar.
"DPP PKB ikut mengadvokasi pandangan itu. UU HPP itu memang memberi ruang untuk exit, sehingga kenaikan PPN bukan harga mati. Tergantung situasi ekonomi rakyat. Maka keputusan saat ini ada di tangan presiden," demikian disampaikan Ketua DPP PKB Dita Indah Sari di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
PKB paham bahwa pemerintah butuh penguatan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Namun Ia memberikan catatan bahwa situasi ekonomi sekarang belum tepat.
Apalagi kenaikan PPN akan mengganggu rantai produksi manufaktur dan padat karya, yang bisa berujung pada PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) pekerja. Hingga Oktober 2024, PHK terlapor sudah 64.947 orang.
"Untuk menggenjot APBN, PKB fokus mendorong ide opsi-opsi jangka pendek lain untuk dikaji, yang jika dilakukan dampaknya tidak akan luas seperti PPN. Misalnya penyesuaian royalti dan bagi hasil produk tambang dan komoditi yang sedang bagus harganya di dunia. Atau cukai ekspor komoditi lain yang sedang baik harganya, dan cukai impor barang mewah. Bisa ada pemasukan, namun tidak mengganggu daya beli yang sedang merosot," lanjut Dita.
"Dalam jangka menengah PKB berharap lebih banyak upaya efisiensi dan penegakan hukum untuk mencegah kebocoran anggaran dalam pemasukan dan pengeluaran, seperti yang menjadi concern Presiden juga. Misalnya : illegal mining, illegal fishing dan logging, impor ilegal yang lolos cukai, penyelewengan BBM bersubsidi. Semua itu memusnahkan potensi penghasilan negara ratusan triliun," bebernya.
Baca Juga
Ia juga menekankan, bahwa efisiensi BUMN juga menjadi wajib agar deviden meningkat. Ditambah serta penyediaan kepastian hukum dan aturan agar menarik investor dalam dan luar.
(akr)
tulis komentar anda