Pakar: Ancaman Tarif Trump Terhadap Negara BRICS Cuma Omong Kosong
Selasa, 03 Desember 2024 - 12:46 WIB
NEW DELHI - Ancaman Presiden terpilih AS Donald Trump untuk mengenakan tarif 100% pada barang-barang dari negara-negara BRICS jika mereka memilih untuk meninggalkan dolar dinilai hanya gertak sambal belaka. Ancaman tersebut dinilai cuma omong kosong dan tidak masuk akal, karena belum pasti apakah hukum AS akan mengizinkan tindakan tersebut.
Hal itu ditegaskan Duvvuri Subbarao, mantan Gubernur Bank Sentral India, dalam sebuah wawancara dengan kantor berita PTI, yang dilansir kantor berita Rusia, TASS. "Trump dikenal lebih banyak menggonggong daripada menggigit," kata sang pakar.
"Tidak jelas sejauh mana dia akan bertindak atas ancamannya. Standar apa yang akan digunakan AS untuk menentukan apakah suatu negara telah menjauh dari dolar? Dan apakah hukum AS mengizinkan penerapan sanksi pada negara-negara hanya karena mereka menjauh dari dolar?" tambahnya.
Pakar tersebut menjelaskan bahwa, secara teoritis, mata uang BRICS yang sama dapat melindungi kelompok tersebut dari bahaya dominasi dolar. Namun, dalam praktiknya, negara-negara anggota belum siap untuk menciptakannya, baik secara politik maupun ekonomi.
Sebelumnya, Trump memperingatkan bahwa ia akan mengenakan tarif perdagangan 100% pada barang-barang dari negara-negara BRICS jika mereka mengadopsi mata uang baru atau meninggalkan dolar. Menurutnya, negara mana pun yang mencoba mengganti dolar untuk perdagangan internasional harus mengucapkan selamat tinggal kepada Amerika.
Berbicara di sidang pleno Valdai pada tanggal 7 November, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan bahwa masih terlalu dini untuk membahas mata uang tunggal BRICS, karena negara-negara dalam kelompok tersebut belum menetapkan tujuan tersebut. Menurut pemimpin Rusia tersebut, untuk mempertimbangkan mata uang bersama, negara-negara BRICS perlu "mencapai integrasi ekonomi yang lebih besar" dan meningkatkan "kualitas ekonomi mereka ke tingkat yang sesuai dalam struktur, dan dalam kualitas ekonomi mereka secara keseluruhan."
Kelompok BRICS dibentuk pada tahun 2006 oleh Brasil, Rusia, India, dan China. Afrika Selatan bergabung pada tahun 2011. Mesir, Iran, UEA, Arab Saudi, dan Ethiopia menjadi anggota kelompok tersebut pada tanggal 1 Januari 2024.Kemudian, pada KTT di Kazan, Rusia, sebanyak 13 negara diakui sebagai mitra BRICS, yakni Indonesia, Malaysia, Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Nigeria, Thailand, Turki, Uganda, Uzbekistan, dan Vietnam.
Dalam KTT di Kazan tersebut, maket mata uang BRICS secara simbolis diberikan kepada Presiden Rusia Vladimir Putin, yang mengindikasikan bahwa aliansi ini bertujuan untuk menantang dolar AS. Blok ini sebelumnya juga tegas menggaungkan keinginan untuk menggunakan mata uang bersama yang baru atau mata uang lokal untuk perdagangan dan sepenuhnya meninggalkan dolar AS.
Jika negara-negara BRICS tidak lagi menggunakan dolar AS dalam perdagangan, setidaknya3 sektor ekonomi di Negeri Paman Sam akanterkena dampak serius. Sektor-sektor keuangan utama AS yang dapat terpengaruh oleh pembentukan mata uang BRICS adalah perbankan dan keuangan, perdagangan dan Investasi internasional, serta barang-barang konsumen dan ritel.
Hal itu ditegaskan Duvvuri Subbarao, mantan Gubernur Bank Sentral India, dalam sebuah wawancara dengan kantor berita PTI, yang dilansir kantor berita Rusia, TASS. "Trump dikenal lebih banyak menggonggong daripada menggigit," kata sang pakar.
"Tidak jelas sejauh mana dia akan bertindak atas ancamannya. Standar apa yang akan digunakan AS untuk menentukan apakah suatu negara telah menjauh dari dolar? Dan apakah hukum AS mengizinkan penerapan sanksi pada negara-negara hanya karena mereka menjauh dari dolar?" tambahnya.
Pakar tersebut menjelaskan bahwa, secara teoritis, mata uang BRICS yang sama dapat melindungi kelompok tersebut dari bahaya dominasi dolar. Namun, dalam praktiknya, negara-negara anggota belum siap untuk menciptakannya, baik secara politik maupun ekonomi.
Sebelumnya, Trump memperingatkan bahwa ia akan mengenakan tarif perdagangan 100% pada barang-barang dari negara-negara BRICS jika mereka mengadopsi mata uang baru atau meninggalkan dolar. Menurutnya, negara mana pun yang mencoba mengganti dolar untuk perdagangan internasional harus mengucapkan selamat tinggal kepada Amerika.
Berbicara di sidang pleno Valdai pada tanggal 7 November, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan bahwa masih terlalu dini untuk membahas mata uang tunggal BRICS, karena negara-negara dalam kelompok tersebut belum menetapkan tujuan tersebut. Menurut pemimpin Rusia tersebut, untuk mempertimbangkan mata uang bersama, negara-negara BRICS perlu "mencapai integrasi ekonomi yang lebih besar" dan meningkatkan "kualitas ekonomi mereka ke tingkat yang sesuai dalam struktur, dan dalam kualitas ekonomi mereka secara keseluruhan."
Kelompok BRICS dibentuk pada tahun 2006 oleh Brasil, Rusia, India, dan China. Afrika Selatan bergabung pada tahun 2011. Mesir, Iran, UEA, Arab Saudi, dan Ethiopia menjadi anggota kelompok tersebut pada tanggal 1 Januari 2024.Kemudian, pada KTT di Kazan, Rusia, sebanyak 13 negara diakui sebagai mitra BRICS, yakni Indonesia, Malaysia, Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Nigeria, Thailand, Turki, Uganda, Uzbekistan, dan Vietnam.
Dalam KTT di Kazan tersebut, maket mata uang BRICS secara simbolis diberikan kepada Presiden Rusia Vladimir Putin, yang mengindikasikan bahwa aliansi ini bertujuan untuk menantang dolar AS. Blok ini sebelumnya juga tegas menggaungkan keinginan untuk menggunakan mata uang bersama yang baru atau mata uang lokal untuk perdagangan dan sepenuhnya meninggalkan dolar AS.
Jika negara-negara BRICS tidak lagi menggunakan dolar AS dalam perdagangan, setidaknya3 sektor ekonomi di Negeri Paman Sam akanterkena dampak serius. Sektor-sektor keuangan utama AS yang dapat terpengaruh oleh pembentukan mata uang BRICS adalah perbankan dan keuangan, perdagangan dan Investasi internasional, serta barang-barang konsumen dan ritel.
(fjo)
Lihat Juga :
tulis komentar anda