INDEF: Ekosistem Hilirisasi Tembaga Indonesia Tunjukkan Perkembangan Positif dan Punya Nilai Strategi Signifikan
Kamis, 19 Desember 2024 - 12:07 WIB
JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) melalui kajian terbarunya mengungkapkan perkembangan positif dalam pembentukan ekosistem hilirisasi tembaga di Indonesia. Temuan ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, dalam paparan hasil kajian di Jakarta hari ini.
"Indonesia memiliki posisi strategis dalam peta tembaga global dengan kepemilikan sekitar 3 persen dari cadangan tembaga dunia. Posisi ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan cadangan tembaga terbesar ke-10 di dunia dan produsen tembaga terbesar di Asia Tenggara," ujar Esther.
Menurut kajian INDEF, momentum ini diperkuat dengan tren global menuju transisi hijau yang membuka peluang besar bagi Indonesia. Konsumsi tembaga global diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2035 dengan pertumbuhan rata-rata 14 persen sejak 2016, terutama didorong oleh perkembangan industri kendaraan listrik dan teknologi ramah lingkungan.
"Hilirisasi tembaga memiliki nilai strategis yang signifikan. Peningkatan nilai tambah dari hulu ke hilir sangat substansial, mulai dari pengolahan bijih tembaga menjadi konsentrat yang meningkat 2 kali lipat, hingga produk akhir berupa kabel listrik yang bisa mencapai 71 kali lipat nilai tambah," jelas Esther.
Dari sisi ekonomi, pengembangan industri hilir tembaga memiliki potensi dampak yang besar, mulai dari nilai ekspor yang mencapai 282 juta Dolar AS, penciptaan lapangan kerja (253.583 lapangan kerja) dengan kontribusi terhadap GDP sebesar 34,9 juta Dolar AS.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno, menekankan bahwa hilirisasi tembaga wajib memberikan manfaat kepada negara. Menurutnya hal itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
"Kita ingin proses nilai tambah yang panjang itu sebanyak mungkin memberi dampak bagi negara, untuk meningkatkan pendapatan negara, membuka lapangan kerja, dan membangun kemandirian (energi)," katanya.
Selain itu, INDEF mencatat bahwa pembentukan ekosistem menjadi aspek krusial dalam pengembangan hilirisasi industri tembaga.
"Tanpa adanya ekosistem yang terintegrasi, sulit untuk mendorong hilirisasi karena membutuhkan keterkaitan antar sektor yang kuat," tutur Esther.
"Indonesia memiliki posisi strategis dalam peta tembaga global dengan kepemilikan sekitar 3 persen dari cadangan tembaga dunia. Posisi ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan cadangan tembaga terbesar ke-10 di dunia dan produsen tembaga terbesar di Asia Tenggara," ujar Esther.
Menurut kajian INDEF, momentum ini diperkuat dengan tren global menuju transisi hijau yang membuka peluang besar bagi Indonesia. Konsumsi tembaga global diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2035 dengan pertumbuhan rata-rata 14 persen sejak 2016, terutama didorong oleh perkembangan industri kendaraan listrik dan teknologi ramah lingkungan.
"Hilirisasi tembaga memiliki nilai strategis yang signifikan. Peningkatan nilai tambah dari hulu ke hilir sangat substansial, mulai dari pengolahan bijih tembaga menjadi konsentrat yang meningkat 2 kali lipat, hingga produk akhir berupa kabel listrik yang bisa mencapai 71 kali lipat nilai tambah," jelas Esther.
Dari sisi ekonomi, pengembangan industri hilir tembaga memiliki potensi dampak yang besar, mulai dari nilai ekspor yang mencapai 282 juta Dolar AS, penciptaan lapangan kerja (253.583 lapangan kerja) dengan kontribusi terhadap GDP sebesar 34,9 juta Dolar AS.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno, menekankan bahwa hilirisasi tembaga wajib memberikan manfaat kepada negara. Menurutnya hal itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
"Kita ingin proses nilai tambah yang panjang itu sebanyak mungkin memberi dampak bagi negara, untuk meningkatkan pendapatan negara, membuka lapangan kerja, dan membangun kemandirian (energi)," katanya.
Selain itu, INDEF mencatat bahwa pembentukan ekosistem menjadi aspek krusial dalam pengembangan hilirisasi industri tembaga.
"Tanpa adanya ekosistem yang terintegrasi, sulit untuk mendorong hilirisasi karena membutuhkan keterkaitan antar sektor yang kuat," tutur Esther.
Lihat Juga :
tulis komentar anda