Gagal Bayar Produk Asuransi Jiwa karena Aturan Dilanggar
Rabu, 09 September 2020 - 08:25 WIB
JAKARTA - Maraknya kasus gagal bayar investasi di perusahaan asuransi jiwa menjadi bukti adanya kekacauan di industri asuransi nasional. Pasalnya, perusahaan asuransi yang seharusnya hanya menjamin jiwa pemegang polis justru memberikan garansi imbal hasil pasti atau fixed return melalui produk asuransi berbalut investasi.
“Contohnya dua perusahaan asuransi yang kini tengah menjadi sorotan publik, yakni Asuransi Jiwa Kresna Life dan Asuransi Jiwasraya,” ujar Pengamat Hukum Bisnis dan Asuransi Universitas Airlangga Surabaya Budi Kagramanto, di Jakarta, kemarin. (Baca: 9 Cara Menghindari Dosa Dusta dan Ghibah)
Menurut Budi, dua perusahaan tersebut sama-sama menjanjikan imbal hasil tinggi kepada para pemegang polis yang membeli produknya. Kresna Life, misalnya, menjanjikan return sekitar 9% untuk dua produknya, yaitu Kresna Link Investa (K-LITA) dan Protecto Investa Kresna (PIK). Sementara Asuransi Jiwasraya menjamin imbal hasil antara 9%-13% melalui produk JS Saving Plan.
Budi menjelaskan, kehadiran produk tersebut sejatinya ditujukan untuk menarik masyarakat membeli produk asuransi. Namun, produk tersebut justru disalahgunakan. Sebab, dibumbui dengan janji imbal hasil pasti dengan return tinggi. Untuk memenuhi janjinya itu banyak perusahaan asuransi yang kemudian menempatkan dana nasabahnya di instrumen saham yang sejatinya berisiko tinggi dan fluktuatif, karena tidak memiliki garansi atas imbal hasilnya.
Dalam kasus Jiwasraya, lanjut dia, hampir semua penempatan dana perusahaan, baik investasi secara langsung maupun melalui manajer investasi (MI), dialokasikan ke instrumen saham-saham tertentu di Bursa Efek Indonesia (BEI). (Baca juga: Kemendikbud Khawatir Banyak Anak Putus Sekolah Akibat Covid-19)
“Bunga yang dijanjikan tidak masuk akal, tinggi sekali, bisa memberatkan perusahaan asuransi. Sekarang, kejadian juga kalau perusahaan asuransi itu gagal bayar karena kondisi bursa anjlok,” kata Budi.
Budi juga mempertanyakan peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mengawasi dan memeriksa produk-produk investasi yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi. “Kenapa OJK memperbolehkan asuransi memberikan return tinggi dan fixed, bukankah itu melanggar aturan? OJK seharusnya sudah prediksi ini membahayakan dan bakal jadi bom waktu bagi perusahaan asuransi. Terbukti, sekarang bomnya meledak,” tandas Budi.
Apalagi, Budi menambahkan, banyak perusahaan asuransi yang tidak memberikan informasi secara benar kepada calon nasabah. Padahal, beberapa regulasi mewajibkan perusahaan memberikan informasi secara detail. Contohnya Undang-undang (UU) Perlindungan Konsumen hingga Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).
"Pasal 251 KUHD secara jelas ditujukan untuk perusahaan asuransi wajib memberikan informasi yang benar kepada tertanggung atau pemegang polis. Jangan yang disampaikan hanya keuntungan saja,” ujarnya. (Lihat videonya: Kesultanan Buton yang Tidak Pernah Dijajah Negara Eropa)
Konsultan dan trainer perbankan, manajemen, dan investasi Kodrat Muis menilai imbal hasil pasti tidak dikenal dalam dunia asuransi. Hal itu, kata dia, sudah menyalahi Undang-undang Nomor 40/2014 tentang Perasuransian dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 27 Tahun 2018 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi, Pembaruan dari POJK Nomor 71 Tahun 2014. (Rakhmat Baihaqi)
“Contohnya dua perusahaan asuransi yang kini tengah menjadi sorotan publik, yakni Asuransi Jiwa Kresna Life dan Asuransi Jiwasraya,” ujar Pengamat Hukum Bisnis dan Asuransi Universitas Airlangga Surabaya Budi Kagramanto, di Jakarta, kemarin. (Baca: 9 Cara Menghindari Dosa Dusta dan Ghibah)
Menurut Budi, dua perusahaan tersebut sama-sama menjanjikan imbal hasil tinggi kepada para pemegang polis yang membeli produknya. Kresna Life, misalnya, menjanjikan return sekitar 9% untuk dua produknya, yaitu Kresna Link Investa (K-LITA) dan Protecto Investa Kresna (PIK). Sementara Asuransi Jiwasraya menjamin imbal hasil antara 9%-13% melalui produk JS Saving Plan.
Budi menjelaskan, kehadiran produk tersebut sejatinya ditujukan untuk menarik masyarakat membeli produk asuransi. Namun, produk tersebut justru disalahgunakan. Sebab, dibumbui dengan janji imbal hasil pasti dengan return tinggi. Untuk memenuhi janjinya itu banyak perusahaan asuransi yang kemudian menempatkan dana nasabahnya di instrumen saham yang sejatinya berisiko tinggi dan fluktuatif, karena tidak memiliki garansi atas imbal hasilnya.
Dalam kasus Jiwasraya, lanjut dia, hampir semua penempatan dana perusahaan, baik investasi secara langsung maupun melalui manajer investasi (MI), dialokasikan ke instrumen saham-saham tertentu di Bursa Efek Indonesia (BEI). (Baca juga: Kemendikbud Khawatir Banyak Anak Putus Sekolah Akibat Covid-19)
“Bunga yang dijanjikan tidak masuk akal, tinggi sekali, bisa memberatkan perusahaan asuransi. Sekarang, kejadian juga kalau perusahaan asuransi itu gagal bayar karena kondisi bursa anjlok,” kata Budi.
Budi juga mempertanyakan peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mengawasi dan memeriksa produk-produk investasi yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi. “Kenapa OJK memperbolehkan asuransi memberikan return tinggi dan fixed, bukankah itu melanggar aturan? OJK seharusnya sudah prediksi ini membahayakan dan bakal jadi bom waktu bagi perusahaan asuransi. Terbukti, sekarang bomnya meledak,” tandas Budi.
Apalagi, Budi menambahkan, banyak perusahaan asuransi yang tidak memberikan informasi secara benar kepada calon nasabah. Padahal, beberapa regulasi mewajibkan perusahaan memberikan informasi secara detail. Contohnya Undang-undang (UU) Perlindungan Konsumen hingga Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).
"Pasal 251 KUHD secara jelas ditujukan untuk perusahaan asuransi wajib memberikan informasi yang benar kepada tertanggung atau pemegang polis. Jangan yang disampaikan hanya keuntungan saja,” ujarnya. (Lihat videonya: Kesultanan Buton yang Tidak Pernah Dijajah Negara Eropa)
Konsultan dan trainer perbankan, manajemen, dan investasi Kodrat Muis menilai imbal hasil pasti tidak dikenal dalam dunia asuransi. Hal itu, kata dia, sudah menyalahi Undang-undang Nomor 40/2014 tentang Perasuransian dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 27 Tahun 2018 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi, Pembaruan dari POJK Nomor 71 Tahun 2014. (Rakhmat Baihaqi)
(ysw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda