Implementasi Ekonomi Digital Perlu Pembenahan
Senin, 14 September 2020 - 08:03 WIB
JAKARTA - Pemerintah didorong untuk membenahi regulasi terkait transaksi digital . Pasalnya, hingga saat ini belum ada payung hukum yang tepat untuk mengantisipasi perkembangan ekonomi digital di Tanah Air.
Pemerintah memang telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Namun, implementasi peraturan terkait belanja dalam jaringan (daring) di lapangan masih belum berjalan dengan baik. Hal tersebut seperti diungkapkan oleh Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. (Baca: Disebut sebagai LSM, Begini Jawaban Majelis Ulama Indonesia)
“Di hulu juga masih banyak masalah terkait pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh operator belanja daring,” kata Tulus dalam acara Market Review IDX Channel, di Jakarta akhir pekan lalu.
Dia juga mengingatkan bahwa belanja secara daring tidak hanya dilakukan melalui platform e-commerce, tetapi juga ada yang dilakukan melalui berbagai media sosial, seperti Instagram, Twitter, Facebook.
“Yang paling dominan dikeluhkan adalah belanja daring yang difasilitasi oleh media sosial. Ini yang saya kira pekerjaan rumah yang cukup signifikan karena belanja media sosial itu masif, yang kemudian banyak dikeluhkan konsumen,” terangnya.
Tulus menyebut, maraknya penjual melalui media sosial tentu saja membuat si penjual tidak terdaftar; dan jika konsumen ingin melakukan pengaduan, tidak ada jaminan bahwa keluhan akan direspons.
“Ini yang justru menjadi sangat rentan karena dalam bisnis transaksi daring dasarnya adalah trust (kepercayaan). Karena itu, negara tidak boleh membiarkan ini, negara harus betul-betul memfasilitasi transaksi belanja daring karena ini bagian dari ekonomi digital yang digadang-gadang pemerintah,” ucapnya. (Baca juga: Wabah Corona, Bolehkah Salat memakai Masker?)
Salah satu payung hukum yang harus dibentuk pemerintah yakni perlindungan data pribadi. Berdasarkan data YLKI, kebocoran data pribadi termasuk dalam pengaduan konsumen yang banyak diterima. Kebocoran data pribadi ini juga terjadi di banyak platform ternama. Menurut Tulus, maraknya kebocoran data ini dipicu dari belum adanya Undang-Undang (UU) Perlindungan Data Pribadi (PDP). UU tersebut sampai saat ini tidak kunjung disahkan.
Hal ini menjadi sangat ironis ketika pemerintah menggadang-gadang ekonomi digital, transaksi daring, ekonomi daring, tapi Indonesia belum memiliki UU Perlindungan Data Pribadi yang menjadi dasar terhadap transaksi tersebut.
Pemerintah memang telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Namun, implementasi peraturan terkait belanja dalam jaringan (daring) di lapangan masih belum berjalan dengan baik. Hal tersebut seperti diungkapkan oleh Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. (Baca: Disebut sebagai LSM, Begini Jawaban Majelis Ulama Indonesia)
“Di hulu juga masih banyak masalah terkait pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh operator belanja daring,” kata Tulus dalam acara Market Review IDX Channel, di Jakarta akhir pekan lalu.
Dia juga mengingatkan bahwa belanja secara daring tidak hanya dilakukan melalui platform e-commerce, tetapi juga ada yang dilakukan melalui berbagai media sosial, seperti Instagram, Twitter, Facebook.
“Yang paling dominan dikeluhkan adalah belanja daring yang difasilitasi oleh media sosial. Ini yang saya kira pekerjaan rumah yang cukup signifikan karena belanja media sosial itu masif, yang kemudian banyak dikeluhkan konsumen,” terangnya.
Tulus menyebut, maraknya penjual melalui media sosial tentu saja membuat si penjual tidak terdaftar; dan jika konsumen ingin melakukan pengaduan, tidak ada jaminan bahwa keluhan akan direspons.
“Ini yang justru menjadi sangat rentan karena dalam bisnis transaksi daring dasarnya adalah trust (kepercayaan). Karena itu, negara tidak boleh membiarkan ini, negara harus betul-betul memfasilitasi transaksi belanja daring karena ini bagian dari ekonomi digital yang digadang-gadang pemerintah,” ucapnya. (Baca juga: Wabah Corona, Bolehkah Salat memakai Masker?)
Salah satu payung hukum yang harus dibentuk pemerintah yakni perlindungan data pribadi. Berdasarkan data YLKI, kebocoran data pribadi termasuk dalam pengaduan konsumen yang banyak diterima. Kebocoran data pribadi ini juga terjadi di banyak platform ternama. Menurut Tulus, maraknya kebocoran data ini dipicu dari belum adanya Undang-Undang (UU) Perlindungan Data Pribadi (PDP). UU tersebut sampai saat ini tidak kunjung disahkan.
Hal ini menjadi sangat ironis ketika pemerintah menggadang-gadang ekonomi digital, transaksi daring, ekonomi daring, tapi Indonesia belum memiliki UU Perlindungan Data Pribadi yang menjadi dasar terhadap transaksi tersebut.
Lihat Juga :
tulis komentar anda