Implementasi Ekonomi Digital Perlu Pembenahan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah didorong untuk membenahi regulasi terkait transaksi digital . Pasalnya, hingga saat ini belum ada payung hukum yang tepat untuk mengantisipasi perkembangan ekonomi digital di Tanah Air.
Pemerintah memang telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Namun, implementasi peraturan terkait belanja dalam jaringan (daring) di lapangan masih belum berjalan dengan baik. Hal tersebut seperti diungkapkan oleh Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. (Baca: Disebut sebagai LSM, Begini Jawaban Majelis Ulama Indonesia)
“Di hulu juga masih banyak masalah terkait pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh operator belanja daring,” kata Tulus dalam acara Market Review IDX Channel, di Jakarta akhir pekan lalu.
Dia juga mengingatkan bahwa belanja secara daring tidak hanya dilakukan melalui platform e-commerce, tetapi juga ada yang dilakukan melalui berbagai media sosial, seperti Instagram, Twitter, Facebook.
“Yang paling dominan dikeluhkan adalah belanja daring yang difasilitasi oleh media sosial. Ini yang saya kira pekerjaan rumah yang cukup signifikan karena belanja media sosial itu masif, yang kemudian banyak dikeluhkan konsumen,” terangnya.
Tulus menyebut, maraknya penjual melalui media sosial tentu saja membuat si penjual tidak terdaftar; dan jika konsumen ingin melakukan pengaduan, tidak ada jaminan bahwa keluhan akan direspons.
“Ini yang justru menjadi sangat rentan karena dalam bisnis transaksi daring dasarnya adalah trust (kepercayaan). Karena itu, negara tidak boleh membiarkan ini, negara harus betul-betul memfasilitasi transaksi belanja daring karena ini bagian dari ekonomi digital yang digadang-gadang pemerintah,” ucapnya. (Baca juga: Wabah Corona, Bolehkah Salat memakai Masker?)
Salah satu payung hukum yang harus dibentuk pemerintah yakni perlindungan data pribadi. Berdasarkan data YLKI, kebocoran data pribadi termasuk dalam pengaduan konsumen yang banyak diterima. Kebocoran data pribadi ini juga terjadi di banyak platform ternama. Menurut Tulus, maraknya kebocoran data ini dipicu dari belum adanya Undang-Undang (UU) Perlindungan Data Pribadi (PDP). UU tersebut sampai saat ini tidak kunjung disahkan.
Hal ini menjadi sangat ironis ketika pemerintah menggadang-gadang ekonomi digital, transaksi daring, ekonomi daring, tapi Indonesia belum memiliki UU Perlindungan Data Pribadi yang menjadi dasar terhadap transaksi tersebut.
“Kita mendesak agar UU PDP harus segera disahkan untuk melindungi masyarakat terkait transaksi elektronik atau digital di tengah ekonomi digital,” ujar Tulus.
Dia pun menyebut, sebelum masuk dalam ruang ekonomi digital, seharusnya pemerintah sudah membereskan aspek-aspek regulasi dan kebijakan, khususnya untuk perlindungan pada konsumen. Menurutnya, situasi yang terjadi di Indonesia saat ini terbalik-balik. Pemerintah begitu bernafsu mendorong ekonomi digital, tapi belum menyiapkan aspek infrastruktur regulasi dan kebijakan untuk melindungi konsumen.
Tulus memaparkan, di negara lain justru hal itulah yang digarap terlebih dulu. Menyiapkan infrastruktur regulasinya, kemudian masuk ke ruang yang diharapkan, yaitu ekonomi digital, karena dengan era digital ekonomi memang berpotensi sangat besar dan sangat efisien bagi pedagang dan konsumen.
“Tetapi di situ ada risiko-risiko yang harus diantisipasi konsumen yang menyangkut data pribadi, masalah penipuan, dan sebagainya,” sambungnya. (Baca juga: PSBB Jilid II ala Anies Kantongi Dukungan dari Kadin)
Seperti diketahui, pemerintah telah menetapkan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam setiap transaksi digital. Hal ini sekaligus menandai babak baru potensi pajak di Indonesia.
Deputy Director of Center for Indonesia Taxation (CITA) Ruben Hutabarat mengatakan, secara data formal belum ada pihak mana pun yang menjelaskan terkait potensi digital, sehingga tidak dapat diketahui berapa potensi pajak di sektor digital.
Namun jika berkaca dari total transaksi seluruh dunia dari lima pemain penyelenggara melalui sistem perdagangan elektronik, seharusnya PPN pajak digital akan cukup menyumbang penerimaan negara yang cukup signifikan. “Terutama dari segi penerimaan PPN, karena pada tahap ini pemerintah baru hanya memunguti PPN,” ujar Ruben.
Dia menilai pengenaan PPN penting diterapkan karena hanya ini yang bisa dilakukan oleh pemerintah ketika suatu transaksi terjadi. (Lihat videonya: Peran Ki Gede Sala dalam Berdirinya Kota Solo)
“Tapi juga sebenarnya tidak boleh ditetapkan justru pajak langsungnya, PPh, apalagi seperti tadi disampaikan ke depannya, kita akan melihat fenomena pergeseran transaksi secara online akan lebih banyak terjadi,” pungkasnya. (Aditya Pratama/Heru Febrianto)
Pemerintah memang telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Namun, implementasi peraturan terkait belanja dalam jaringan (daring) di lapangan masih belum berjalan dengan baik. Hal tersebut seperti diungkapkan oleh Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. (Baca: Disebut sebagai LSM, Begini Jawaban Majelis Ulama Indonesia)
“Di hulu juga masih banyak masalah terkait pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh operator belanja daring,” kata Tulus dalam acara Market Review IDX Channel, di Jakarta akhir pekan lalu.
Dia juga mengingatkan bahwa belanja secara daring tidak hanya dilakukan melalui platform e-commerce, tetapi juga ada yang dilakukan melalui berbagai media sosial, seperti Instagram, Twitter, Facebook.
“Yang paling dominan dikeluhkan adalah belanja daring yang difasilitasi oleh media sosial. Ini yang saya kira pekerjaan rumah yang cukup signifikan karena belanja media sosial itu masif, yang kemudian banyak dikeluhkan konsumen,” terangnya.
Tulus menyebut, maraknya penjual melalui media sosial tentu saja membuat si penjual tidak terdaftar; dan jika konsumen ingin melakukan pengaduan, tidak ada jaminan bahwa keluhan akan direspons.
“Ini yang justru menjadi sangat rentan karena dalam bisnis transaksi daring dasarnya adalah trust (kepercayaan). Karena itu, negara tidak boleh membiarkan ini, negara harus betul-betul memfasilitasi transaksi belanja daring karena ini bagian dari ekonomi digital yang digadang-gadang pemerintah,” ucapnya. (Baca juga: Wabah Corona, Bolehkah Salat memakai Masker?)
Salah satu payung hukum yang harus dibentuk pemerintah yakni perlindungan data pribadi. Berdasarkan data YLKI, kebocoran data pribadi termasuk dalam pengaduan konsumen yang banyak diterima. Kebocoran data pribadi ini juga terjadi di banyak platform ternama. Menurut Tulus, maraknya kebocoran data ini dipicu dari belum adanya Undang-Undang (UU) Perlindungan Data Pribadi (PDP). UU tersebut sampai saat ini tidak kunjung disahkan.
Hal ini menjadi sangat ironis ketika pemerintah menggadang-gadang ekonomi digital, transaksi daring, ekonomi daring, tapi Indonesia belum memiliki UU Perlindungan Data Pribadi yang menjadi dasar terhadap transaksi tersebut.
“Kita mendesak agar UU PDP harus segera disahkan untuk melindungi masyarakat terkait transaksi elektronik atau digital di tengah ekonomi digital,” ujar Tulus.
Dia pun menyebut, sebelum masuk dalam ruang ekonomi digital, seharusnya pemerintah sudah membereskan aspek-aspek regulasi dan kebijakan, khususnya untuk perlindungan pada konsumen. Menurutnya, situasi yang terjadi di Indonesia saat ini terbalik-balik. Pemerintah begitu bernafsu mendorong ekonomi digital, tapi belum menyiapkan aspek infrastruktur regulasi dan kebijakan untuk melindungi konsumen.
Tulus memaparkan, di negara lain justru hal itulah yang digarap terlebih dulu. Menyiapkan infrastruktur regulasinya, kemudian masuk ke ruang yang diharapkan, yaitu ekonomi digital, karena dengan era digital ekonomi memang berpotensi sangat besar dan sangat efisien bagi pedagang dan konsumen.
“Tetapi di situ ada risiko-risiko yang harus diantisipasi konsumen yang menyangkut data pribadi, masalah penipuan, dan sebagainya,” sambungnya. (Baca juga: PSBB Jilid II ala Anies Kantongi Dukungan dari Kadin)
Seperti diketahui, pemerintah telah menetapkan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam setiap transaksi digital. Hal ini sekaligus menandai babak baru potensi pajak di Indonesia.
Deputy Director of Center for Indonesia Taxation (CITA) Ruben Hutabarat mengatakan, secara data formal belum ada pihak mana pun yang menjelaskan terkait potensi digital, sehingga tidak dapat diketahui berapa potensi pajak di sektor digital.
Namun jika berkaca dari total transaksi seluruh dunia dari lima pemain penyelenggara melalui sistem perdagangan elektronik, seharusnya PPN pajak digital akan cukup menyumbang penerimaan negara yang cukup signifikan. “Terutama dari segi penerimaan PPN, karena pada tahap ini pemerintah baru hanya memunguti PPN,” ujar Ruben.
Dia menilai pengenaan PPN penting diterapkan karena hanya ini yang bisa dilakukan oleh pemerintah ketika suatu transaksi terjadi. (Lihat videonya: Peran Ki Gede Sala dalam Berdirinya Kota Solo)
“Tapi juga sebenarnya tidak boleh ditetapkan justru pajak langsungnya, PPh, apalagi seperti tadi disampaikan ke depannya, kita akan melihat fenomena pergeseran transaksi secara online akan lebih banyak terjadi,” pungkasnya. (Aditya Pratama/Heru Febrianto)
(ysw)