Penurunan Bunga Acuan Tak Efektif Jika Serapan Anggaran Seret
Jum'at, 18 September 2020 - 04:04 WIB
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga kebijakan pada 4,0%. Salah satu pertimbangan utama dari BI dalam mempertahankan suku bunganya adalah dalam rangka menjaga stabilitas Rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai dengan terciptanya stabilitas nilai tukar maka akan mendorong terjaganya ekspektasi pelaku ekonomi baik konsumen dan pelaku usaha sehingga akan turut mendorong pemulihan ekonomi.
Di samping itu, penurunan suku bunga acuan BI belum akan efektif apabila tidak diikuti oleh produktivitas stimulus fiskal dalam hal ini penyerapan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Selain itu juga penyerapan belanja pemerintah pusat dan daerah yang akan dapat menggerakkan aktivitas perekonomian sedemikian sehingga akan mendorong permintaan kredit perbankan dan transmisi penurunan suku bunga Bank Indonesia pun akan semakin cepat mendukung pemulihan ekonomi. (Baca juga: Pemulihan Ekonomi Sudah Sedot Dana Rp240,9 Triliun, Terbanyak untuk Bansos )
"BI tetap mendukung pemulihan perekonomian Indonesia melalui kebijakan Quantitative Easing (QE) di sektor perbankan, yang hingga saat ini sudah disuntikkan likuiditas sebesar Rp 662 triliun," katanya saat dihubungi di Jakarta, Kamis (17/9/2020).
Tidak hanya dari kebijakan QE, BI juga mendukung pemulihan ekonomi Indonesia melalui bauran kebijakan lain, seperti dukungan kepada UMKM melalui perpanjangan periode pelonggaran GWM Rupiah kepada bank yang menyalurkan kredit kepada UMKM dan sektor prioritas. (Baca juga: Kurs Rupiah Berakhir Terbebani ke Rp14.848/USD Saat Dollar AS Cetak Rebound )
Dalam pengumumannya, bank sentral menyatakan bahwa BI sudah melakukan intervensi di pasar primer sebesar Rp48,03 triliun dan skema burden sharing sebesar total Rp143,46 triliun.
BI pun menyatakan bahwa pada tahun depan akan melanjutkan koordinasi dengan pemerintah untuk pemulihan perekonomian, dengan melanjutkan kebijakan intervensi di pasar primer, namun untuk skema burden sharing, BI menyatakan bahwa itu hanya khusus dilakukan di tahun 2020.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai dengan terciptanya stabilitas nilai tukar maka akan mendorong terjaganya ekspektasi pelaku ekonomi baik konsumen dan pelaku usaha sehingga akan turut mendorong pemulihan ekonomi.
Di samping itu, penurunan suku bunga acuan BI belum akan efektif apabila tidak diikuti oleh produktivitas stimulus fiskal dalam hal ini penyerapan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Selain itu juga penyerapan belanja pemerintah pusat dan daerah yang akan dapat menggerakkan aktivitas perekonomian sedemikian sehingga akan mendorong permintaan kredit perbankan dan transmisi penurunan suku bunga Bank Indonesia pun akan semakin cepat mendukung pemulihan ekonomi. (Baca juga: Pemulihan Ekonomi Sudah Sedot Dana Rp240,9 Triliun, Terbanyak untuk Bansos )
"BI tetap mendukung pemulihan perekonomian Indonesia melalui kebijakan Quantitative Easing (QE) di sektor perbankan, yang hingga saat ini sudah disuntikkan likuiditas sebesar Rp 662 triliun," katanya saat dihubungi di Jakarta, Kamis (17/9/2020).
Tidak hanya dari kebijakan QE, BI juga mendukung pemulihan ekonomi Indonesia melalui bauran kebijakan lain, seperti dukungan kepada UMKM melalui perpanjangan periode pelonggaran GWM Rupiah kepada bank yang menyalurkan kredit kepada UMKM dan sektor prioritas. (Baca juga: Kurs Rupiah Berakhir Terbebani ke Rp14.848/USD Saat Dollar AS Cetak Rebound )
Dalam pengumumannya, bank sentral menyatakan bahwa BI sudah melakukan intervensi di pasar primer sebesar Rp48,03 triliun dan skema burden sharing sebesar total Rp143,46 triliun.
BI pun menyatakan bahwa pada tahun depan akan melanjutkan koordinasi dengan pemerintah untuk pemulihan perekonomian, dengan melanjutkan kebijakan intervensi di pasar primer, namun untuk skema burden sharing, BI menyatakan bahwa itu hanya khusus dilakukan di tahun 2020.
(ind)
tulis komentar anda