Gambar Serem Bahaya Rokok Bakal Digedein, Buruh Pabrik Protes
Senin, 28 September 2020 - 18:05 WIB
JAKARTA - Pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) merasakan tekanan akibat kebijakan Pemerintah seperti rencana kenaikan cukai dan revisi PP 109/2019.
Wacana revisi ini sebelumnya dicetuskan oleh Kementerian Kesehatan, dimana salah satu poinnya yakni memperluas gambar peringatan bahaya merokok dari 40% menjadi 90%.
Menanggapi hal ini, Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) menyatakan bahwa poin kebijakan tersebut dapat mematikan industri hasil tembakau.
“Regulasi pemerintah terkait wacana revisi PP 109/2012, membuktikan pemerintah tidak memberikan keadilan kepada pelaku IHT. Pandemi seharusnya memberi peluang bukan memperberat,” kata Ketua FSP RTMM SPSI Sudarto dalam keterangan resminya, Senin (28/9/2020). (Baca juga: Pandemi COVID-19, Bea Cukai Sikat Ratusan Ribu Rokok Ilegal )
Dia menjelaskan, kondisi IHT sebelum munculnya krisis kesehatan sudah berat, ditambah kebijakan Pemerintah untuk menaikkan cukai rokok tiap tahunnya.
Situasi ini yang kemudian mengakibatkan sejumlah pabrik rokok gulung tikar karena barangnya tidak terjual dan berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Sebagai gambaran, kurun 2012-2018 tercatat 544 pabrik rokok tutup se-Indonesia karena kenaikan cukai. Jika satu pabrik memiliki 200 karyawan, maka enam tahun ini terdapat 108 ribu pekerja yang kehilangan mata pencaharian,” jelas Sudarto.
Sejatinya, lanjut dia, IHT telah mempekerjakan hingga 6 juta orang dari hulu ke hilir, termasuk petani tembakau dan cengkeh, karyawan pabrik, dan jalur distribusi ritel.
Kontribusi IHT pada pendapatan pajak negara diperkirakan mencapai Rp200 triliun di tahun 2019. Menyusul kenaikan cukai tinggi sebesar 23% di tahun 2020 dan dampak COVID-19, volume produksi rokok telah mengalami kontraksi. Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan memperkirakan volume industri dapat turun 13-23%.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro juga menyoroti mengenai kebijakan Pemerintah di tengah pandemi dan lebih memprioritaskan mengenai penyerapan tenaga kerja di daerah. Apalagi persoalan PHK banyak dialami daerah lain. (Baca juga: PSBB Jakarta Ketat Lagi, 200 Ribu Pekerja Restoran di Mal Terancam Kena PHK )
“Kami berharap pemerintah pusat bisa menimbang-menimbang terhadap kebijakan yang akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja,” tegas Bupati Bojonegoro, Anna Muawanah.
Di Bojonegoro sendiri, kata Anna, industri tembakau merupakan sumber perekonomian masyarakat karena menyerap banyak tenaga kerja. Anna mengatakan, pemerintah daerah telah memastikan bahwa sektor pertanian ini masih berada pada kondisi normal. Meski sebelumnya sempat ada keluhan dari petani tembakau karena penurunan harga komoditas ini, kondisi tersebut sudah berangsur pulih.
Wacana revisi ini sebelumnya dicetuskan oleh Kementerian Kesehatan, dimana salah satu poinnya yakni memperluas gambar peringatan bahaya merokok dari 40% menjadi 90%.
Menanggapi hal ini, Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) menyatakan bahwa poin kebijakan tersebut dapat mematikan industri hasil tembakau.
“Regulasi pemerintah terkait wacana revisi PP 109/2012, membuktikan pemerintah tidak memberikan keadilan kepada pelaku IHT. Pandemi seharusnya memberi peluang bukan memperberat,” kata Ketua FSP RTMM SPSI Sudarto dalam keterangan resminya, Senin (28/9/2020). (Baca juga: Pandemi COVID-19, Bea Cukai Sikat Ratusan Ribu Rokok Ilegal )
Dia menjelaskan, kondisi IHT sebelum munculnya krisis kesehatan sudah berat, ditambah kebijakan Pemerintah untuk menaikkan cukai rokok tiap tahunnya.
Situasi ini yang kemudian mengakibatkan sejumlah pabrik rokok gulung tikar karena barangnya tidak terjual dan berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Sebagai gambaran, kurun 2012-2018 tercatat 544 pabrik rokok tutup se-Indonesia karena kenaikan cukai. Jika satu pabrik memiliki 200 karyawan, maka enam tahun ini terdapat 108 ribu pekerja yang kehilangan mata pencaharian,” jelas Sudarto.
Sejatinya, lanjut dia, IHT telah mempekerjakan hingga 6 juta orang dari hulu ke hilir, termasuk petani tembakau dan cengkeh, karyawan pabrik, dan jalur distribusi ritel.
Kontribusi IHT pada pendapatan pajak negara diperkirakan mencapai Rp200 triliun di tahun 2019. Menyusul kenaikan cukai tinggi sebesar 23% di tahun 2020 dan dampak COVID-19, volume produksi rokok telah mengalami kontraksi. Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan memperkirakan volume industri dapat turun 13-23%.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro juga menyoroti mengenai kebijakan Pemerintah di tengah pandemi dan lebih memprioritaskan mengenai penyerapan tenaga kerja di daerah. Apalagi persoalan PHK banyak dialami daerah lain. (Baca juga: PSBB Jakarta Ketat Lagi, 200 Ribu Pekerja Restoran di Mal Terancam Kena PHK )
“Kami berharap pemerintah pusat bisa menimbang-menimbang terhadap kebijakan yang akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja,” tegas Bupati Bojonegoro, Anna Muawanah.
Di Bojonegoro sendiri, kata Anna, industri tembakau merupakan sumber perekonomian masyarakat karena menyerap banyak tenaga kerja. Anna mengatakan, pemerintah daerah telah memastikan bahwa sektor pertanian ini masih berada pada kondisi normal. Meski sebelumnya sempat ada keluhan dari petani tembakau karena penurunan harga komoditas ini, kondisi tersebut sudah berangsur pulih.
(ind)
tulis komentar anda