Kritik Keras buat Omnibus Law: Hanya Menguntungkan Pemburu Rente dan JP Morgan Jangan Ikut Campur
Minggu, 04 Oktober 2020 - 22:40 WIB
JAKARTA - Pengamat ekonomi Bhima Yudhistira menilai dampak dari Omnibus Law diperkirakan tidak akan signifikan dalam meningkatkan daya saing dan investasi. Tantangan menurut dia adalah tiga.
Pertama, Omnibus Law mengubah ratusan pasal. Jadi, butuh ribuan aturan teknis baik di level PP, peraturan menteri dan perda yang harus ikut berubah. "Ini justru memberi ketidakpastian karena banyaknya aturan yang berubah di tengah situasi resesi ekonomi . Padahal, investor butuh kepastian," ujar Bhima.
Berikutnya adalah aksi penolakan Omnibus Law bisa merusak hubungan industrial di level paling mikro atau di tingkat perundingan perusahaan (bipartit). Karena ancaman mogok kerja bisa menurunkan produktivitas, yang rugi juga pengusaha.
Terakhir, menurutnya banyak negara yang tidak akan langsung berinvestasi masuk ke Indonesia karena banyak variabel lain yang jadi pertimbangan. Misalnya, seperti keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi, efektivitas insentif fiskal dan non fiskal, ketersediaan bahan baku, ataupun biaya logistik. ( Baca juga:Status Perusahaannya Bakal Diubah Menteri Erick, Bos Hutama Mengaku Belum Tahu )
Bahkan bila pemerintah mencabut hak-hak pekerja dalam Omnibus Law, juga tidak menutup kemungkinan berubahnya persepsi investor. Khususnya para negara maju, akan memandang negatif terhadap indonesia. "Investor dari negara maju sangat menjunjung praktik fair labour dan decent work. Hak hak buruh sangat dihargai, bukan sebaliknya. Menurunkan hak buruh berarti bertentangan dengan prinsip negara maju," ujarnya.
Sementara pengamat ekonomi dari Indef Nailul Huda menilai masalah birokrasi dan lainnya tentang perizinan memang Indonesia masih tertinggal. Namun bukan berarti yang dilakukan adalah membuat undang-undang Omnibus Law. Bila pemerintah yang tidak efisien, seharusnya benahi sistem di dalamnya. Ada kementerian yang sudah efisien. Lalu benahi kementerian yang belum efisien. Dengan benahi sistemnya saja sudah cukup menurut saya," ujar Nailul.
Dia mengkritisi Omnibus Law yang akan disahkan tersebut hanya menguntungkan pengusaha, penguasa, dan pencari rente untuk menikmati kue ekonomi bagi mereka sendiri. Bila tunjangan PHK buruh dikurangi, AMDAL dikurangi, otomatis menguntungkan pengusaha dan penguasa.
Menurutnya pernyataan JP Morgan soal indeks bisa ke 6.000 hanya karena pengusaha merasa puas dan menikmati keuntungan berlipat. "Buruh dan masyarakat kecil kena getahnya. Jadi JP Morgan tidak perlu mencampuri urusan Omnibus Law dan sekedar melihat dari Indeks harga saham saja. Lebih baik mereka diam," tegasnya. ( Baca juga:RUU Ciptaker, Uang Pesangon Maksimal Hanya 25 Kali Gaji )
Sebelumnya Executive Director, Head of Indonesia Research and Strategy JPMorgan Sekuritas Indonesia Henry Wibowo mengatakan IHSG bisa ke level 5.000-6.000 dalam 6-12 bulan ke depan bila isi dari Omnibus Law positif.
Pertama, Omnibus Law mengubah ratusan pasal. Jadi, butuh ribuan aturan teknis baik di level PP, peraturan menteri dan perda yang harus ikut berubah. "Ini justru memberi ketidakpastian karena banyaknya aturan yang berubah di tengah situasi resesi ekonomi . Padahal, investor butuh kepastian," ujar Bhima.
Berikutnya adalah aksi penolakan Omnibus Law bisa merusak hubungan industrial di level paling mikro atau di tingkat perundingan perusahaan (bipartit). Karena ancaman mogok kerja bisa menurunkan produktivitas, yang rugi juga pengusaha.
Terakhir, menurutnya banyak negara yang tidak akan langsung berinvestasi masuk ke Indonesia karena banyak variabel lain yang jadi pertimbangan. Misalnya, seperti keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi, efektivitas insentif fiskal dan non fiskal, ketersediaan bahan baku, ataupun biaya logistik. ( Baca juga:Status Perusahaannya Bakal Diubah Menteri Erick, Bos Hutama Mengaku Belum Tahu )
Bahkan bila pemerintah mencabut hak-hak pekerja dalam Omnibus Law, juga tidak menutup kemungkinan berubahnya persepsi investor. Khususnya para negara maju, akan memandang negatif terhadap indonesia. "Investor dari negara maju sangat menjunjung praktik fair labour dan decent work. Hak hak buruh sangat dihargai, bukan sebaliknya. Menurunkan hak buruh berarti bertentangan dengan prinsip negara maju," ujarnya.
Sementara pengamat ekonomi dari Indef Nailul Huda menilai masalah birokrasi dan lainnya tentang perizinan memang Indonesia masih tertinggal. Namun bukan berarti yang dilakukan adalah membuat undang-undang Omnibus Law. Bila pemerintah yang tidak efisien, seharusnya benahi sistem di dalamnya. Ada kementerian yang sudah efisien. Lalu benahi kementerian yang belum efisien. Dengan benahi sistemnya saja sudah cukup menurut saya," ujar Nailul.
Dia mengkritisi Omnibus Law yang akan disahkan tersebut hanya menguntungkan pengusaha, penguasa, dan pencari rente untuk menikmati kue ekonomi bagi mereka sendiri. Bila tunjangan PHK buruh dikurangi, AMDAL dikurangi, otomatis menguntungkan pengusaha dan penguasa.
Menurutnya pernyataan JP Morgan soal indeks bisa ke 6.000 hanya karena pengusaha merasa puas dan menikmati keuntungan berlipat. "Buruh dan masyarakat kecil kena getahnya. Jadi JP Morgan tidak perlu mencampuri urusan Omnibus Law dan sekedar melihat dari Indeks harga saham saja. Lebih baik mereka diam," tegasnya. ( Baca juga:RUU Ciptaker, Uang Pesangon Maksimal Hanya 25 Kali Gaji )
Sebelumnya Executive Director, Head of Indonesia Research and Strategy JPMorgan Sekuritas Indonesia Henry Wibowo mengatakan IHSG bisa ke level 5.000-6.000 dalam 6-12 bulan ke depan bila isi dari Omnibus Law positif.
(uka)
tulis komentar anda