Selama Pandemi, Kebijakan Pemerintah Terhadap Transportasi Membingungkan
Jum'at, 08 Mei 2020 - 07:44 WIB
JAKARTA - Kebijakan pemerintah membuka izin operasional seluruh moda transportasi di tengah pandemik corona (Covid-19) dinilai membingungkan masyarakat. Kebijakan ini terkesan kontradiktif dengan kebijakan larangan mudik untuk memutus rantai wabah Covid-19.
Menteri Perhubungan Budi Karya mengizinkan semua moda transportasi baik udara, laut, dan darat mulai kembali beroperasi kemarin. Kebijakan ini menurutnya merupakan bentuk penjabaran dari Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25/2020 tentang Pengaturan Transportasi saat Mudik Lebaran.
Kendati demikian, pengoperasian seluruh moda transportasi ini bukan merupakan bentuk relaksasi larangan untuk mudik. Moda transportasi tersebut hanya diperuntukkan bagi pihak-pihak tertentu seperti para pejabat negara, tenaga medis, maupun masyarakat yang harus melakukan perjalanan ke luar daerah dengan alasan mendesak. Tak pelak aturan ini memunculkan kebingungan masyarakat.
“Efeknya tentu masyarakat bingung. Masyarakat tidak boleh mudik, tapi moda transportasi dibuka,” kata pakar kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Riant Nugroho saat dihubungi kemarin.
Riant menilai bahwa hal ini sangat rentan menimbulkan penyelewengan. Pasalnya dengan alasan berbisnis, bisa saja tetap mudik. “Ini membuka peluang penyelewengan. Misalnya apa yang menjadi standar bisnis? Saya bisa ke Semarang untuk bisnis. Terus ini bagaimana memastikannya? Apakah Gugus Tugas mau mengeluarkan surat keterangan bisnis ribuan?” paparnya. (Baca: Mudik Saat Pandemi Corona, Pemerintah Baatasi Jumlah Penumpang)
Dewan Pakar Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia ini bahkan menilai kebijakan tersebut bisa menimbulkan ketidakadilan. Pasalnya kemungkinan besar peluang penyelewengan ada di moda transportasi udara. “Kalau kita lewat darat, pasti disuruh putar balik oleh polisi. Tapi, mungkin tidak yang di bandara disuruh balik? Ini bisa menjadi ketidakadilan sosial dan melanggar Pancasila,” ungkapnya.
Dia mengatakan bahwa kebijakan yang dibuat saat corona harus ada kajiannya sehingga jelas alasannya. Dia mengingatkan jangan sampai kebijakan hanya dibuat atas dasar keinginan sehingga tujuan, risiko, hingga mitigasi yang dilakukan nanti jelas.
“Tapi, kalau sampai ada pertentangan dengan kebijakan yang lain, berarti ada kemungkinan kebijakan ini tidak pakai kajian, tapi pakai rapat. Rapat itu bukan kajian. Ini sebenarnya penyakit kebijakan di Indonesia dan rata-rata negara berkembang lain,” ucapnya.
Dia bahkan menilai bahwa hal ini bisa menjadi satu di antara indikator ada defisit tata kelola pemerintahan. Menurutnya, kebijakan yang dihasilkan biasanya tidak berkualitas dan sering bertabrakan. “Kalau melihat ini, undermanage governance. Corona ini mendadak dan organisasi pemerintah tidak siap menghadapinya,” ujarnya.
Menteri Perhubungan Budi Karya mengizinkan semua moda transportasi baik udara, laut, dan darat mulai kembali beroperasi kemarin. Kebijakan ini menurutnya merupakan bentuk penjabaran dari Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25/2020 tentang Pengaturan Transportasi saat Mudik Lebaran.
Kendati demikian, pengoperasian seluruh moda transportasi ini bukan merupakan bentuk relaksasi larangan untuk mudik. Moda transportasi tersebut hanya diperuntukkan bagi pihak-pihak tertentu seperti para pejabat negara, tenaga medis, maupun masyarakat yang harus melakukan perjalanan ke luar daerah dengan alasan mendesak. Tak pelak aturan ini memunculkan kebingungan masyarakat.
“Efeknya tentu masyarakat bingung. Masyarakat tidak boleh mudik, tapi moda transportasi dibuka,” kata pakar kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Riant Nugroho saat dihubungi kemarin.
Riant menilai bahwa hal ini sangat rentan menimbulkan penyelewengan. Pasalnya dengan alasan berbisnis, bisa saja tetap mudik. “Ini membuka peluang penyelewengan. Misalnya apa yang menjadi standar bisnis? Saya bisa ke Semarang untuk bisnis. Terus ini bagaimana memastikannya? Apakah Gugus Tugas mau mengeluarkan surat keterangan bisnis ribuan?” paparnya. (Baca: Mudik Saat Pandemi Corona, Pemerintah Baatasi Jumlah Penumpang)
Dewan Pakar Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia ini bahkan menilai kebijakan tersebut bisa menimbulkan ketidakadilan. Pasalnya kemungkinan besar peluang penyelewengan ada di moda transportasi udara. “Kalau kita lewat darat, pasti disuruh putar balik oleh polisi. Tapi, mungkin tidak yang di bandara disuruh balik? Ini bisa menjadi ketidakadilan sosial dan melanggar Pancasila,” ungkapnya.
Dia mengatakan bahwa kebijakan yang dibuat saat corona harus ada kajiannya sehingga jelas alasannya. Dia mengingatkan jangan sampai kebijakan hanya dibuat atas dasar keinginan sehingga tujuan, risiko, hingga mitigasi yang dilakukan nanti jelas.
“Tapi, kalau sampai ada pertentangan dengan kebijakan yang lain, berarti ada kemungkinan kebijakan ini tidak pakai kajian, tapi pakai rapat. Rapat itu bukan kajian. Ini sebenarnya penyakit kebijakan di Indonesia dan rata-rata negara berkembang lain,” ucapnya.
Dia bahkan menilai bahwa hal ini bisa menjadi satu di antara indikator ada defisit tata kelola pemerintahan. Menurutnya, kebijakan yang dihasilkan biasanya tidak berkualitas dan sering bertabrakan. “Kalau melihat ini, undermanage governance. Corona ini mendadak dan organisasi pemerintah tidak siap menghadapinya,” ujarnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda