Cerita Bahlil Soal 'Abu Nawas' yang Bikin Pengusaha Keki
Jum'at, 22 Januari 2021 - 03:45 WIB
JAKARTA - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengungkapkan salah satu penyebab ekonomi Indonesia masih mandek atau belum bisa berkembang. Kepala BKPM Bahlil Lahadia mengatakan, ada hambatan dalam rantai investasi di Indonesia. Dia mengibaratkannya sebagai Abu Nawas yang mengganggu investasi dengan pungli alias pungutan liarnya sehingga bikin pengusaha keki alias kesal.
Baca Juga: Harga 'Sultan', Acer Rilis Laptop dengan Porsche Design
"Biaya pungli, macam-macam lah. Bapak-bapak CEO ini pasti tahu. Dulu pengalaman saya masih jadi pengusaha, biaya Abu Nawas paling banyak ini," ujar Bahlil dalam acara yang digelar secara virtual, Kamis (21/1/2021).
( )
Kata dia, biaya Abu Nawas itu yang membuat produk yang dihasilkan tidak kompetitif. Pasalnya, perusahaan harus mengeluarkan biaya ekstra dan terpaksa membebankannya ke harga jual.
Baca Juga: Dibungkam Non-unggulan, Anthony Ginting: Dia Pintar dan Memegang Kendali
Terbukti dari rasio produktivitas atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang masih mencapai 6,6. Angka itu lebih tinggi dari negara tetangga seperti Malaysia 4,5, Filipina 3,7, Thailand 4,4 dan Vietnam 4,6. Semakin tinggi ICOR, maka artinya tingkat efisiensi semakin rendah.
(
)
"Nah biaya Abu Nawas ini hanya bisa diselesaikan dengan cara-cara transparan. Makanya izin-izin sekarang tidak boleh lagi pakai manual, kita sudah berbasis semua elektronik, berbasis OSS (Online Single Submission) dan transparan. Bagi pengusaha sebenarnya adalah aksesnya harus mudah, kemudian kecepatan, transparansi dan kalau bisa lebih murah, itu lebih paten lagi," tandasnya.
Baca Juga: Harga 'Sultan', Acer Rilis Laptop dengan Porsche Design
"Biaya pungli, macam-macam lah. Bapak-bapak CEO ini pasti tahu. Dulu pengalaman saya masih jadi pengusaha, biaya Abu Nawas paling banyak ini," ujar Bahlil dalam acara yang digelar secara virtual, Kamis (21/1/2021).
( )
Kata dia, biaya Abu Nawas itu yang membuat produk yang dihasilkan tidak kompetitif. Pasalnya, perusahaan harus mengeluarkan biaya ekstra dan terpaksa membebankannya ke harga jual.
Baca Juga: Dibungkam Non-unggulan, Anthony Ginting: Dia Pintar dan Memegang Kendali
Terbukti dari rasio produktivitas atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang masih mencapai 6,6. Angka itu lebih tinggi dari negara tetangga seperti Malaysia 4,5, Filipina 3,7, Thailand 4,4 dan Vietnam 4,6. Semakin tinggi ICOR, maka artinya tingkat efisiensi semakin rendah.
(
Baca Juga
"Nah biaya Abu Nawas ini hanya bisa diselesaikan dengan cara-cara transparan. Makanya izin-izin sekarang tidak boleh lagi pakai manual, kita sudah berbasis semua elektronik, berbasis OSS (Online Single Submission) dan transparan. Bagi pengusaha sebenarnya adalah aksesnya harus mudah, kemudian kecepatan, transparansi dan kalau bisa lebih murah, itu lebih paten lagi," tandasnya.
(ind)
tulis komentar anda