Misbakhun Soroti Rencana Sri Mulyani Beri Insentif Berlebihan untuk Mitra LPI
Senin, 01 Februari 2021 - 21:59 WIB
JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengingatkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang insentif perpajakan bagi mitra Lembaga Pengelola Investasi (LPI) tidak membuat kebijakan yang justru kontraproduktif.
Politikus Golkar itu mengkhawatirkan perbedaan perlakuan bidang perpajakan sebagai insentif bagi mitra LPI bakal menjadi disinsentif. Berbicara pada rapat kerja Komisi XI DPR dengan Menkeu Sri Mulyani secara virtual, Senin (1/2), Misbakhun menyatakan bahwa dirinya mendukung penuh pembentukan LPI sebagai amanat Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. "LPI ini kita berikan fasilitas atau karpet merah, full dari sisi perizinan, perpajakan dan fasilitas lain," ujar Misbakhun.
Namun, katanya, insentif itu harus benar-benar memberikan manfaat bagi investasi asing atau foreign direct investment (FDI). Misbakhun mewanti-wanti agar insentif itu tidak menjadi hal mubazir yang tak terpakai. "Kalau belum memberikan manfaat bagi FDI, saya khawatir ini hanya akan jadi fasilitas yang tidak pernah dimanfaatkan," ujar Misbakhun.
Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu menilai mitra LPI akan memperoleh fasilitas berlebih. Menurutnya, hal itu akan membuat FDI yang bermitra dengan sesama swasta bakal menganggap insentif untuk partner LPI sebagai disinsentif. "Orang akan membandingkan kalau dia berpartner dengan swasta tak dapat fasilitas sebanding dengan LPI, ini akan menjadi disinsentif. Ini mengkhawatirkan bagi saya," sambungnya.
Namun, Misbakhun menegaskan bahwa dirinya mendukung LPI sebagai buah gagasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang tentang sovereign wealth fund (SWF) ala Indonesia. Oleh karena itu, katanya, LPI harus memperoleh dukungan secara poltiik dan regulasi. "Bagaimanapun juga SWF ini keinginan Presiden, harus diberikan dukuangan sepenuhnya baik politik, regulasi dan lainnya," katanya.
Misbakhun juga mengharapkan adanya kodifikasi insentif perpajakan. Sebab, saat ini insentif perpajakan bertebaran baik di Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dan regulasi lainnya. "Ini yang harus diperhatikan sehingga dengan kodifikasi bisa menyatu di satu tempat," cetusnya.
Politikus Golkar itu mengkhawatirkan perbedaan perlakuan bidang perpajakan sebagai insentif bagi mitra LPI bakal menjadi disinsentif. Berbicara pada rapat kerja Komisi XI DPR dengan Menkeu Sri Mulyani secara virtual, Senin (1/2), Misbakhun menyatakan bahwa dirinya mendukung penuh pembentukan LPI sebagai amanat Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. "LPI ini kita berikan fasilitas atau karpet merah, full dari sisi perizinan, perpajakan dan fasilitas lain," ujar Misbakhun.
Namun, katanya, insentif itu harus benar-benar memberikan manfaat bagi investasi asing atau foreign direct investment (FDI). Misbakhun mewanti-wanti agar insentif itu tidak menjadi hal mubazir yang tak terpakai. "Kalau belum memberikan manfaat bagi FDI, saya khawatir ini hanya akan jadi fasilitas yang tidak pernah dimanfaatkan," ujar Misbakhun.
Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu menilai mitra LPI akan memperoleh fasilitas berlebih. Menurutnya, hal itu akan membuat FDI yang bermitra dengan sesama swasta bakal menganggap insentif untuk partner LPI sebagai disinsentif. "Orang akan membandingkan kalau dia berpartner dengan swasta tak dapat fasilitas sebanding dengan LPI, ini akan menjadi disinsentif. Ini mengkhawatirkan bagi saya," sambungnya.
Namun, Misbakhun menegaskan bahwa dirinya mendukung LPI sebagai buah gagasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang tentang sovereign wealth fund (SWF) ala Indonesia. Oleh karena itu, katanya, LPI harus memperoleh dukungan secara poltiik dan regulasi. "Bagaimanapun juga SWF ini keinginan Presiden, harus diberikan dukuangan sepenuhnya baik politik, regulasi dan lainnya," katanya.
Misbakhun juga mengharapkan adanya kodifikasi insentif perpajakan. Sebab, saat ini insentif perpajakan bertebaran baik di Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dan regulasi lainnya. "Ini yang harus diperhatikan sehingga dengan kodifikasi bisa menyatu di satu tempat," cetusnya.
(nng)
tulis komentar anda