Insentif PPnBM untuk Mobil Timbulkan Kecemburuan Industri Lainnya

Selasa, 16 Februari 2021 - 19:11 WIB
Foto/Ilustrasi/SINDOnews
JAKARTA - Pemberian insentif PPnBM kepada industri otomotif dianggap tak adil dan menimbulkan kecemburan di sektor industri lain, salah satunya properti . Pasalnya, selain insentif PPnBM hingga nol persen, pemerintah juga meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merevisi aturan uang muka (down payment/DP) untuk mendorong kredit pembelian kendaraan bermotor menjadi 0%.

Pemerintah seharusnya tidak lupa bahwa ada sektor lain yang juga bisa menjadi lokomotif perekonomian nasional, yaitu sektor properti. Pasalnya di industri ini ada 174 industri yang juga ikut teribat. ( Baca juga:Diskon Pajak Hanya untuk Mobil di Bawah 1.500 cc, Ada Kemungkinan Berubah )

“Sah-sah saja pemerintah merelaksasi sektor otomotif, tapi pemerintah jangan lupa bahwa sektor properti akan sangat berpotensi untuk mendongkrak ekonomi nasional sebagai lokomotif ekonomi,” jelas Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch, di Jakarta, Selasa (16/2/2021).



Menurut Ali, dibandingkan sektor otomotif, industri properti relatif mempunyai nilai tambah yang lebih baik bagi masyarakat. Relaksasi yang dilakukan di sektor otomotif mungkin baik untuk menyelamatkan industri itu, namun pada jangka panjang akan menimbulkan kemacetan dan penurunan nilai aset.

Pembelian kendaraan dengan kondisi saat ini pun rasanya bukan menjadi keputusan bijak bagi masyarakat. Masyarakat perlu juga diedukasi apalagi generasi muda mengenai pentingnya mempunyai aset properti untuk tabungan masa depan.

“Saat ini pasar properti bukan kehilangan daya beli, karena data-data menunjukkan bahwa daya beli masih ada, khususnya golongan menengah sampai atas, yang mau tidak mau bisa menjadi ‘penyelamat’ pasar properti saat ini. Mereka hanya menunda,” lanjut Ali Tranghanda.

Dengan adanya insentif, Ali yakin golongan itu akan masuk ke sektor properti dengan momentum pasar yang dirasa pas saat ini untuk investasi. Saat ini banyak juga daerah yang menaikkan NJOP dan membuat nilai transaksi menjadi tinggi terkait pajak.

Alih-alih mendapatkan pendapatan daerah yang lebih tinggi, pasar properti malah turun drastis. Seharusnya diberikan pengurangan NJOP yang akan mendorong lebih banyak lagi transaksi properti.

Berdasarkan riset yang dilakukan Indonesia Property Watch, minat masyarakat untuk membeli properti saat ini masih tinggi, sebesar 68,09%. Beberapa faktor yang saat ini menjadi faktor penundaan pembelian properti antara lain besarnya uang muka, tingginya suku bunga, besarnya pajak, dan besarnya biaya transaksi.

Seperti diketahui untuk uang muka saat ini sudah dimungkinkan 0% meskipun tidak semua bank memberlakukan hal tersebut sesuai dengan manajemen risiko masing-masing. Namun suku bunga perbankan saat ini relatif masih tinggi meskipun sudah mulai menurun.

Kebijakan insentif bunga yang saat ini sudah diberlakukan pemerintah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), ada baiknya juga diperluas sampai masyarakat menengah agar akses membeli properti semakin luas. ( Baca juga:Hingga Kini Polisi Masih Dalami Kasus Vaksinasi Helena Lim )

Di sisi lain, biaya BPHTB yang dibebankan pembeli sebesar 5%, saat ini masih dirasa tinggi. Ditambah biaya-biaya notaris dan lainnya yang bisa mencapai 11-12%. Belum lagi pengenaan PPN 10%, sehingga konsumen yang membeli properti dari pengembang terbebani pajak dan biaya-biaya sebesar 21-22 persen. Dalam kondisi saat ini perlu adanya strategi relaksasi yang signifikan dari pemerintah agar dapat menggerakkan pasar properti secara nyata.
(uka)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More