Kasus Penyidikan Saham BP Jamsostek, Ekonom: Unrealized Loss Bagian Risiko Investasi Wajar
Jum'at, 12 Maret 2021 - 15:56 WIB
JAKARTA-Fenomena Unrealized Loss (UL) kini menjadi momok yang menakutkan karena berpotensi menjadi ancaman kriminalisasi sehingga sangat mengkhawatirkan bagi dunia investasi. Hal ini muncul setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan penyidikan terhadap BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek). Beberapa bulan terakhir, masyarakat dikagetkan dengan tuduhan kerugian tidak wajar yang berpotensi pidana pada UL portofolio saham BP Jamsostek.
“Kerugian ini, terkesan dipaksakan, seolah sama dengan kerugian dalam kasus Jiwasraya yang menghebohkan beberapa waktu sebelumnya. Padahal, hasil kajian menunjukkan bahwa proses investasi portofolio BP Jamsostek sudah prudent dan sesuai kaidah-kaidah investasi. Alokasi aset telah memperhatikan aspek pengelolaan resiko yang relatif baik. Secara garis besar, investasi dimulai dengan strategi mengalokasikan dana investasi ke dalam beberapa kelas aset sesuai tujuan investasi, saham, reksadana, deposito, obligasi dan bahkan properti serta penyertaan langsung,” ujar Profesor Keuangan Investasi, IPMI International Business School Roy Sembel dalam keterangan tertulisnya hari ini. (Baca juga:APRDI Menilai Kasus BPJS Ketenagakerjaan Berbeda dengan Jiwasraya dan Asabri)
Dia menjelaskan, masing-masing kelas aset dilakukan strategi pemilihan sekuritas (securities selection) atau manager investasi yang cocok dengan tujuan investasi. Bahkan, dalam pemilihan manager investasi relatif ketat. Syaratnya harus mempunya dana kelolaan minimal Rp1,5 triliun. Lebih jauh Roy Sembel memaparkan, data portofolio saham BP Jamsostek diinvestasikan pada saham-saham LQ-45. Itu artinya isi portfolio sahamnya dominan terdiri dari saham-saham berkapitalisasi pasar besar dan relatif likuid. Tidak perlu diragukan lagi tentang saham-saham LQ-45. Penurunan dan kenaikan harga saham sangat tergantung pada perkembangan pasar modal di Indonesia.
“Kerugian yang terjadi (yang masih belum direalisasikan atau disebut unrealized loss) masih sejalan dengan perkembangan pasar saham Indonesia hal itu tercermin dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terdampak krisis pandemi dan resesi ekonomi,” tambah dia.
Bukti menunjukkan, lanjut Roy Sembel, unrealized loss-nya naik turun sesuai dengan naik turunnya IHSG. Pada saat IHSG di level 5.979 (31 Desember 2020) unrealized loss mencapai Rp22,308 triliun, tapi ketika IHSG di level 6.429 (20 Januari 2021) lalu, unrealized loss nya menurun menjadi Rp14,417 triliun atau 2.91% dari total portofolio Rp495 triliun yang mayoritas disebabkan penurunan kinerja emiten BUMN. Naik turun akan terjadi sesuai dengan pergerakan harga saham. “Bukan tak mungkin, ketika IHSG di level 7.000, bukan unrealized loss, tapi bisa berbalik arah menjadi unrealized gain. Hal ini bisa dilihat naik turunnya potensial loss itu sangat tergantung dari pergerakan IHSG. Ada banyak faktor yang menyebabkan naik turunnya harga saham, namun yang paling penting sahamnya likuid dan mempunyai kapitalisasi pasar yang besar dan hal itu yang menjadi portofolio saham BPJS-TK,” tegas Roy Sembel.
Dia menambahkan, temuan itu berbeda dengan kerugian portofolio investasi pada kasus Jiwasraya. Portofolio saham-saham Jiwasraya, termasuk golongan saham kualitas rendah, tidak likuid dan mempunyai kaplitalisasi pasar yang kecil. Banyak orang menyebut saham-saham “gorengan”. “Jelas hal ini berbeda, meski tampak sama. Banyak perbedaan riil antara kerugian Jiwasraya yang sudah realized loss dengan unrealized loss seperti di BP Jamsostek. Hal yang mendasar terjadi, seperti persyaratan pemilihan manager investasi. Di BP Jamsostek sangat ketat, sementara di Jiwasraya longgar,” katanya.
Ada perbedaan, lanjut Roy Sembel, dari sisi alokasi aset. Misalnya, porsi saham dan reksadana di Jiwasraya lebih dari 91% (31 Desember 2019). Sementara di BP Jamsostek pada 31 Desember 2020 lalu hanya 23,56% untuk porsi saham dan reksadana. Dari data itu jelas terlihat bahwa strategi alokasi aset berbeda di antara keduanya. Kondisi makin nyata ketika menengok portofolio saham Jiwasraya dengan BP Jamsostek. Seperti diulas sebelumnya, portofolio saham BP Jamsostek termasuk saham kualitas bagus, likuid dan kapitalisasinya besar. Pendek kata saham blue chip berfundamental bagus sehingga berbeda dengan portofolio saham Jiwasraya pada umumnya.
BP Jamsostek dengan dana kelolaan Rp484,38 triliun merupakan investor institusional dalam negeri yang dapat berperan dalam peningkatan pendalaman pasar finansial di Indonesia. Tidak ada salahnya seluruh stakeholder dapat menjaga momentum untuk menyongsong pertumbuhan ekonomi pasca pandemik Covid-19. Kesimpulannya, unrealized loss pada portofolio investasi saham BP Jamsostek berbeda dengan kasus kerugian Jiwasraya. Unrealized loss BP Jamsostek adalah wajar sebagai risiko wajar dari investasi saham di pasar modal dan bisa kembali untung saat pasar kembali ke level sebelum pandemi.
“Jadi, kerugian portofolio saham BP Jamsotek masih di atas kertas yang wajar sebagai risiko investasi, dan bisa kembali untung sejalan dengan membaiknya ekonomi setelah Pandemi Covid-19. Unrealized loss ini tidak logis dikategorikan sebagai kerugian hasil manipulasi yang berpotensi pidana. Lebih pada risiko bisnis yang sudah dikalkulasi dengan baik,” paparnya.Kasus Penyidikan Saham BP Jamsostek, Ekonom: Itu Bagian Risiko Investasi Wajar
“Kerugian ini, terkesan dipaksakan, seolah sama dengan kerugian dalam kasus Jiwasraya yang menghebohkan beberapa waktu sebelumnya. Padahal, hasil kajian menunjukkan bahwa proses investasi portofolio BP Jamsostek sudah prudent dan sesuai kaidah-kaidah investasi. Alokasi aset telah memperhatikan aspek pengelolaan resiko yang relatif baik. Secara garis besar, investasi dimulai dengan strategi mengalokasikan dana investasi ke dalam beberapa kelas aset sesuai tujuan investasi, saham, reksadana, deposito, obligasi dan bahkan properti serta penyertaan langsung,” ujar Profesor Keuangan Investasi, IPMI International Business School Roy Sembel dalam keterangan tertulisnya hari ini. (Baca juga:APRDI Menilai Kasus BPJS Ketenagakerjaan Berbeda dengan Jiwasraya dan Asabri)
Dia menjelaskan, masing-masing kelas aset dilakukan strategi pemilihan sekuritas (securities selection) atau manager investasi yang cocok dengan tujuan investasi. Bahkan, dalam pemilihan manager investasi relatif ketat. Syaratnya harus mempunya dana kelolaan minimal Rp1,5 triliun. Lebih jauh Roy Sembel memaparkan, data portofolio saham BP Jamsostek diinvestasikan pada saham-saham LQ-45. Itu artinya isi portfolio sahamnya dominan terdiri dari saham-saham berkapitalisasi pasar besar dan relatif likuid. Tidak perlu diragukan lagi tentang saham-saham LQ-45. Penurunan dan kenaikan harga saham sangat tergantung pada perkembangan pasar modal di Indonesia.
“Kerugian yang terjadi (yang masih belum direalisasikan atau disebut unrealized loss) masih sejalan dengan perkembangan pasar saham Indonesia hal itu tercermin dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terdampak krisis pandemi dan resesi ekonomi,” tambah dia.
Bukti menunjukkan, lanjut Roy Sembel, unrealized loss-nya naik turun sesuai dengan naik turunnya IHSG. Pada saat IHSG di level 5.979 (31 Desember 2020) unrealized loss mencapai Rp22,308 triliun, tapi ketika IHSG di level 6.429 (20 Januari 2021) lalu, unrealized loss nya menurun menjadi Rp14,417 triliun atau 2.91% dari total portofolio Rp495 triliun yang mayoritas disebabkan penurunan kinerja emiten BUMN. Naik turun akan terjadi sesuai dengan pergerakan harga saham. “Bukan tak mungkin, ketika IHSG di level 7.000, bukan unrealized loss, tapi bisa berbalik arah menjadi unrealized gain. Hal ini bisa dilihat naik turunnya potensial loss itu sangat tergantung dari pergerakan IHSG. Ada banyak faktor yang menyebabkan naik turunnya harga saham, namun yang paling penting sahamnya likuid dan mempunyai kapitalisasi pasar yang besar dan hal itu yang menjadi portofolio saham BPJS-TK,” tegas Roy Sembel.
Dia menambahkan, temuan itu berbeda dengan kerugian portofolio investasi pada kasus Jiwasraya. Portofolio saham-saham Jiwasraya, termasuk golongan saham kualitas rendah, tidak likuid dan mempunyai kaplitalisasi pasar yang kecil. Banyak orang menyebut saham-saham “gorengan”. “Jelas hal ini berbeda, meski tampak sama. Banyak perbedaan riil antara kerugian Jiwasraya yang sudah realized loss dengan unrealized loss seperti di BP Jamsostek. Hal yang mendasar terjadi, seperti persyaratan pemilihan manager investasi. Di BP Jamsostek sangat ketat, sementara di Jiwasraya longgar,” katanya.
Ada perbedaan, lanjut Roy Sembel, dari sisi alokasi aset. Misalnya, porsi saham dan reksadana di Jiwasraya lebih dari 91% (31 Desember 2019). Sementara di BP Jamsostek pada 31 Desember 2020 lalu hanya 23,56% untuk porsi saham dan reksadana. Dari data itu jelas terlihat bahwa strategi alokasi aset berbeda di antara keduanya. Kondisi makin nyata ketika menengok portofolio saham Jiwasraya dengan BP Jamsostek. Seperti diulas sebelumnya, portofolio saham BP Jamsostek termasuk saham kualitas bagus, likuid dan kapitalisasinya besar. Pendek kata saham blue chip berfundamental bagus sehingga berbeda dengan portofolio saham Jiwasraya pada umumnya.
BP Jamsostek dengan dana kelolaan Rp484,38 triliun merupakan investor institusional dalam negeri yang dapat berperan dalam peningkatan pendalaman pasar finansial di Indonesia. Tidak ada salahnya seluruh stakeholder dapat menjaga momentum untuk menyongsong pertumbuhan ekonomi pasca pandemik Covid-19. Kesimpulannya, unrealized loss pada portofolio investasi saham BP Jamsostek berbeda dengan kasus kerugian Jiwasraya. Unrealized loss BP Jamsostek adalah wajar sebagai risiko wajar dari investasi saham di pasar modal dan bisa kembali untung saat pasar kembali ke level sebelum pandemi.
“Jadi, kerugian portofolio saham BP Jamsotek masih di atas kertas yang wajar sebagai risiko investasi, dan bisa kembali untung sejalan dengan membaiknya ekonomi setelah Pandemi Covid-19. Unrealized loss ini tidak logis dikategorikan sebagai kerugian hasil manipulasi yang berpotensi pidana. Lebih pada risiko bisnis yang sudah dikalkulasi dengan baik,” paparnya.Kasus Penyidikan Saham BP Jamsostek, Ekonom: Itu Bagian Risiko Investasi Wajar
tulis komentar anda