LPS: Literasi Keuangan Indonesia Masih Rendah, Hati-Hati Bias Informasi
Jum'at, 19 Maret 2021 - 05:13 WIB
JAKARTA - Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) , Didik Madiyono mengatakan komunikasi publik yang efektif tentang skema penjaminan simpanan, terlebih di era digital seperti sekarang dapat menciptakan kepercayaan nasabah terhadap perbankan.
Didik menyampaikan bahwa masalah asimetris informasi di era sekarang ini relatif bukan disebabkan karena tidak tersedianya informasi melainkan disebabkan oleh noise dan bias informasi pada informasi publik, terutama melalui media sosial.
"Oleh karena itu, komunikasi publik yang efektif tentang skema penjaminan simpanan kepada masyarakat menjadi sangat penting untuk menciptakan kepercayaan publik. Apalagi, berdasar survei OJK tahun 2019, literasi keuangan di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara lain,” ujarnya saat menjadi narasumber di forum virtual Financial Development, Digital Transformation and Economic Uncertainty, dihelat oleh UNS Fintech Center, Rabu (17/3/2021).
Oleh karenanya, sebagai langkah antisipatif, dia lantas menyatakan LPS secara intensif terus menyosialisasikan mandat dan fungsinya, serta skema dan kebijakan penjaminan simpanan antara lain melalui, kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk dengan insan media dalam berbagai bentuk edukasi masyarakat guna menjaga kepercayaan terhadap perbankan.
Dalam kesempatan yang sama, dia juga memaparkan tentang pergeseran perilaku konsumen pada masa pandemi covid-19 saat ini, lebih memilih berbagai layanan yang berbasis digital. Terbukti, situasi pandemi meningkatkan ketergantungan konsumen pada layanan berbasis digital. Pada hasil penelitian yang dilakukan Bank Dunia, Google, Temasek, dan Bain & Company menyebut fenomena ini sebagai "flight-to-digital".
“Dengan perkembangan teknologi komputerisasi dan digitalisasi, model bisnis perbankan juga terus berkembang. Perkembangan teknologi ini akan mengarah pada perbankan yang lebih efisien, layanan pelanggan yang lebih baik, dan kontribusi yang lebih tinggi bagi perekonomian,” jelasnya.
Adapun, di Asia Tenggara, sekitar 1 dari 3 (± 36%) konsumen yang menggunakan layanan digital merupakan konsumen baru selama pandemi. Sekitar 9 dari 10 konsumen yang menggunakan layanan digital baru akan terus menggunakan layanan ini di masa mendatang. Meskipun mengalami pertumbuhan ekonomi setahun penuh yang negatif di tahun 2020 (yaitu -2.07% YoY), ekonomi berbasis internet Indonesia telah mampu tumbuh dua digit sebesar 11% dari Nilai Pasar Bruto (GMV) pada tahun 2020.
Meski hampir semua lini terdigitalisasi, Didik juga mengingatkan mengenai potensi risiko dan tantangan yang akan dihadapi, baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
Dia menjelaskan, menurut World Economic Forum Global Risks Perception Survey 2020, salah satu ancaman potensial dalam perkembangan digital ialah ketidaksetaraan digital (digital inequality). Menurutnya, hal tersebut merupakan risiko dengan tingkat kemungkinan yang tinggi dalam sepuluh tahun ke depan, termasuk risiko keamanan siber.
“Dalam jangka panjang, kita perlu bersiap menghadapi dampak buruk teknologi. Oleh karena itu, perlu disiapkan rencana penanganan risiko yang memadai agar dapat meminimalkan dampak dari potensi risiko yang mungkin timbul tersebut,” pungkasnya.
Didik menyampaikan bahwa masalah asimetris informasi di era sekarang ini relatif bukan disebabkan karena tidak tersedianya informasi melainkan disebabkan oleh noise dan bias informasi pada informasi publik, terutama melalui media sosial.
"Oleh karena itu, komunikasi publik yang efektif tentang skema penjaminan simpanan kepada masyarakat menjadi sangat penting untuk menciptakan kepercayaan publik. Apalagi, berdasar survei OJK tahun 2019, literasi keuangan di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara lain,” ujarnya saat menjadi narasumber di forum virtual Financial Development, Digital Transformation and Economic Uncertainty, dihelat oleh UNS Fintech Center, Rabu (17/3/2021).
Baca Juga
Oleh karenanya, sebagai langkah antisipatif, dia lantas menyatakan LPS secara intensif terus menyosialisasikan mandat dan fungsinya, serta skema dan kebijakan penjaminan simpanan antara lain melalui, kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk dengan insan media dalam berbagai bentuk edukasi masyarakat guna menjaga kepercayaan terhadap perbankan.
Dalam kesempatan yang sama, dia juga memaparkan tentang pergeseran perilaku konsumen pada masa pandemi covid-19 saat ini, lebih memilih berbagai layanan yang berbasis digital. Terbukti, situasi pandemi meningkatkan ketergantungan konsumen pada layanan berbasis digital. Pada hasil penelitian yang dilakukan Bank Dunia, Google, Temasek, dan Bain & Company menyebut fenomena ini sebagai "flight-to-digital".
“Dengan perkembangan teknologi komputerisasi dan digitalisasi, model bisnis perbankan juga terus berkembang. Perkembangan teknologi ini akan mengarah pada perbankan yang lebih efisien, layanan pelanggan yang lebih baik, dan kontribusi yang lebih tinggi bagi perekonomian,” jelasnya.
Adapun, di Asia Tenggara, sekitar 1 dari 3 (± 36%) konsumen yang menggunakan layanan digital merupakan konsumen baru selama pandemi. Sekitar 9 dari 10 konsumen yang menggunakan layanan digital baru akan terus menggunakan layanan ini di masa mendatang. Meskipun mengalami pertumbuhan ekonomi setahun penuh yang negatif di tahun 2020 (yaitu -2.07% YoY), ekonomi berbasis internet Indonesia telah mampu tumbuh dua digit sebesar 11% dari Nilai Pasar Bruto (GMV) pada tahun 2020.
Meski hampir semua lini terdigitalisasi, Didik juga mengingatkan mengenai potensi risiko dan tantangan yang akan dihadapi, baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
Dia menjelaskan, menurut World Economic Forum Global Risks Perception Survey 2020, salah satu ancaman potensial dalam perkembangan digital ialah ketidaksetaraan digital (digital inequality). Menurutnya, hal tersebut merupakan risiko dengan tingkat kemungkinan yang tinggi dalam sepuluh tahun ke depan, termasuk risiko keamanan siber.
“Dalam jangka panjang, kita perlu bersiap menghadapi dampak buruk teknologi. Oleh karena itu, perlu disiapkan rencana penanganan risiko yang memadai agar dapat meminimalkan dampak dari potensi risiko yang mungkin timbul tersebut,” pungkasnya.
(ind)
tulis komentar anda