Agar Harga Tak Menggelepar, Kementan Kendalikan Pasokan Ayam Hidup
Jum'at, 19 Maret 2021 - 16:02 WIB
JAKARTA - Sejak awal tahun 2019 harga jual ayam hidup di tingkat peternak selalu di bawah harga pokok produksi (HPP) akibat kelebihan pasokan. Kementerian Pertanian RI melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) RI tengah mengupayakan langkah stabilisasi pasokan dengan harapan harga ayam hidup di tingkat peternak membaik. ( Baca juga: Indonesia Tidak Butuh Investasi untuk Bangun Rumah Sakit Baru )
Data Kementerian Pertanian menyebutkan, bahwa potensi produksi ayam hidup sejak Agustus-Desember 2020 tumbuh 8,01% dengan rataan tiap bulan sebanyak 259,4 juta ekor atau setara daging ayam sebanyak 304,3 ribu ton. Sementara kebutuhannya sebanyak 137,7 juta ekor atau setara daging ayam sebanyak 161,5 ribu ton sehingga potensi surplus masih terlalu tinggi sebesar 88,44% rata-rata per bulan atau setara daging ayam sebanyak 142,8 ribu ton.
Kondisi kelebihan pasokan ini perlu segera ditangani dengan tindakan tegas agar kondisi harga ayam yang fluktuatif tidak berkelanjutan. Saat ini, Kementan telah menerapkan dan terus memantau pengurangan DOC FS melalui Cutting Hatching Egg (HE), penyesuaian setting HE, dan afkir dini parent stock (PS).
Sekarang ini, implementasi kebijakan menjadi fokus utama Ditjen PKH, dan terbukti sejak akhir tahun lalu harga live bird berangsur membaik bahkan stabil hingga hari ini. Terkait implementasi, pemerintah juga menyadari peran penting dan kolaborasi dari seluruh pelaku usaha perunggasan.
Sementara itu, transparansi data dari setiap pelaku usaha menjadi kunci keberhasilan penerapan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan. Kemudian, masukkan dari lembaga kajian independen yang kredibel juga diperlukan untuk membangun industri perunggasan yang berkelanjutan.
Direktur Pembibitan dan Produksi Ternak Kementerian Pertanian RI Sugiono menyatakan, selain penerapan kebijakan cutting HE dan afkir dini PS, penetapan jumlah impor GPS harus dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar kelebihan pasokan tidak terus-menerus terjadi.
“Kementan tengah meninjau ulang aturan pemberian impor GPS kepada pelaku usaha peternakan unggas, agar izin impor yang diberikan kepada pelaku usaha harus transparan dan didasari dengan terpenuhinya kriteria-kriteria tertentu yang telah ditetapkan pemerintah,” ujarnya.
Kriteria-kriteria izin impor tersebut di antaranya adalah kepemilikan terhadap RPHU dan cold storage, kemampuan hilirisasi, banyaknya ekspor yang dilakukan, serta kepatuhan terhadap program pemerintah dan transparansi data, memiliki fasilitas kandang yang memadai, dan bermitra dengan peternak kecil.
Kemitraan ini memiliki peran yang sangat besar andilnya terhadap daya tahan peternak kecil di tengah turbulensi pasar ayam hidup, terutama pada saat terjadi oversupply dan masa krisis Covid-19 di mana harga ayam hidup sempat menyentuh angka di bawah Rp10.000 per kg.
Di atas itu semua, transparansi data menjadi kunci dalam keberhasilan mengatasi isu kelebihan pasokan yang kerap terjadi. Dengan adanya data yang transparan, pengawasan dapat dilakukan bersama-sama oleh seluruh pihak di industri perunggasan. ( Baca juga: ASEAN Didesak Tinggalkan Doktrin Non-Intervensi demi Menolong Myanmar )
“Sanksi yang tegas juga dapat diberikan kepada perusahaan pelanggar, dan hal ini dapat diawasi langsung oleh publik. Dengan keterbukaan informasi akan membawa perubahan yang lebih baik bagi kelangsungan bisnis perunggasan nasional,” tegas Sugiono.
Data Kementerian Pertanian menyebutkan, bahwa potensi produksi ayam hidup sejak Agustus-Desember 2020 tumbuh 8,01% dengan rataan tiap bulan sebanyak 259,4 juta ekor atau setara daging ayam sebanyak 304,3 ribu ton. Sementara kebutuhannya sebanyak 137,7 juta ekor atau setara daging ayam sebanyak 161,5 ribu ton sehingga potensi surplus masih terlalu tinggi sebesar 88,44% rata-rata per bulan atau setara daging ayam sebanyak 142,8 ribu ton.
Kondisi kelebihan pasokan ini perlu segera ditangani dengan tindakan tegas agar kondisi harga ayam yang fluktuatif tidak berkelanjutan. Saat ini, Kementan telah menerapkan dan terus memantau pengurangan DOC FS melalui Cutting Hatching Egg (HE), penyesuaian setting HE, dan afkir dini parent stock (PS).
Sekarang ini, implementasi kebijakan menjadi fokus utama Ditjen PKH, dan terbukti sejak akhir tahun lalu harga live bird berangsur membaik bahkan stabil hingga hari ini. Terkait implementasi, pemerintah juga menyadari peran penting dan kolaborasi dari seluruh pelaku usaha perunggasan.
Sementara itu, transparansi data dari setiap pelaku usaha menjadi kunci keberhasilan penerapan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan. Kemudian, masukkan dari lembaga kajian independen yang kredibel juga diperlukan untuk membangun industri perunggasan yang berkelanjutan.
Direktur Pembibitan dan Produksi Ternak Kementerian Pertanian RI Sugiono menyatakan, selain penerapan kebijakan cutting HE dan afkir dini PS, penetapan jumlah impor GPS harus dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar kelebihan pasokan tidak terus-menerus terjadi.
“Kementan tengah meninjau ulang aturan pemberian impor GPS kepada pelaku usaha peternakan unggas, agar izin impor yang diberikan kepada pelaku usaha harus transparan dan didasari dengan terpenuhinya kriteria-kriteria tertentu yang telah ditetapkan pemerintah,” ujarnya.
Kriteria-kriteria izin impor tersebut di antaranya adalah kepemilikan terhadap RPHU dan cold storage, kemampuan hilirisasi, banyaknya ekspor yang dilakukan, serta kepatuhan terhadap program pemerintah dan transparansi data, memiliki fasilitas kandang yang memadai, dan bermitra dengan peternak kecil.
Kemitraan ini memiliki peran yang sangat besar andilnya terhadap daya tahan peternak kecil di tengah turbulensi pasar ayam hidup, terutama pada saat terjadi oversupply dan masa krisis Covid-19 di mana harga ayam hidup sempat menyentuh angka di bawah Rp10.000 per kg.
Di atas itu semua, transparansi data menjadi kunci dalam keberhasilan mengatasi isu kelebihan pasokan yang kerap terjadi. Dengan adanya data yang transparan, pengawasan dapat dilakukan bersama-sama oleh seluruh pihak di industri perunggasan. ( Baca juga: ASEAN Didesak Tinggalkan Doktrin Non-Intervensi demi Menolong Myanmar )
“Sanksi yang tegas juga dapat diberikan kepada perusahaan pelanggar, dan hal ini dapat diawasi langsung oleh publik. Dengan keterbukaan informasi akan membawa perubahan yang lebih baik bagi kelangsungan bisnis perunggasan nasional,” tegas Sugiono.
(uka)
Lihat Juga :
tulis komentar anda