Resmi Diserahkan ke BUMD, Pengelolaan Blok B Harus Transparan
Senin, 24 Mei 2021 - 13:54 WIB
JAKARTA - Pemerintah secara resmi telah menyerahkan pengelolaan Blok B yang sebelumnya dikelola PT Pertamina melalui anak usahanya PT Pertamina Hulu Energi North Sumatra B-Block (PHE NSB) kepada PT Pema Global Energi (PGE), yang tak lain BUMD Pemprov Aceh. Sejumlah pihak menilai, meski ada kesan penyerahan ke daerah, seringkali operator sebenarnya pihak swasta. Khusus untuk blok B tersebut, Grup Bakrie dinilai berada di belakang penguasaan blok B. Tak heran sebelum pengalihan pun banyak protes dari warga karena khawatir tak mampu dikelola grup Bakrie.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai pemerintah perlu berhati-hati menunjuk pengelolaan blok migas, terutama di daerah. Daerah pun harus transparan, apakah benar dikelola sepenuhnya atau justru diam-diam diserahkan ke swasta. Jika diserahkan ke Grup Bakrie, masih banyak permasalahan yang ditimbulkan seperti kasus Lapindo yang sampai sekarang belum selesai. Mereka juga masih mempunyai beban utang kepada pemerintah yang belum terselesaikan. Belum lagi utang-utang mereka kepada pihak lain yang belum selesai. Jadi, Mamit menilai wajar ada kekhawtiran dari masyarakat Aceh terkait keterlibatan mereka di PT PGE. Karena bagaimanapun, industri migas adalah industri yang penuh resiko dan juga biaya tinggi.
"Track record Group Bakrie melalui anak perusahaan di sektor migas kurang bagus.Dengan kondisi keuangan Group Bakrie apakah mereka bisa berkomitmen untuk meningkatkan dan mengelola Blok B. Saya juga sedikit menyanyangkan pemda Aceh kurang berhati-hati dalam memilih partner dalam mengelola Blok B karena Blok B akan menjadi penerimaan daerah ke depannya," tegas Mamit, Senin (24/5/2021).
Pemda jika memang ingin mencari pihak swasta atau partner, lanjut Mamit, seharusnya mencari yang punya pengalaman bagus di sektor migas serta pastinya mempunyai keuangan yang bagus. "Memang untuk mengelola sendiri Blok B bagi Pemda Aceh saya kira cukup sulit dengan anggaran yang mereka miliki. Makanya mereka harus berhati-hati memilih partner," ungkap dia.
Termasuk juga, kata Mamit, PT PGE harus berkomunikasi dengan Bumi Siak Pusako, BUMD Riau yang mengelola lapangan mereka setelah diserahkan oleh Chevron. Pola kerjasama mereka dengan tetap menggandeng PHE dimana kepemilikan sebesar 50% masing-masing. "Ini lebih logis karena Pertamina mempunyai pengalaman dan sisi pendanaan juga bagus.Memang ini berbeda dengan kasus BUMD Bojonegoro dimana PI 10% yang mereka miliki di berikan kepada swasta," beber dia.
Akhirnya, kata Mamit, pemerintah mengeluarkan PerMen ESDM No 37/2016 tentang ketentuan PI 10%. Dijelaskan bahwa PI tersebut tidak bisa diperjual belikan dan di awal K3S akan menggendong terlebih dahulu dari sisi pendanaan. "Saya mengharapkan agar Pemda bisa memanfaatkan secara maksimal peluang yang sudah mereka dapatkan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Aceh, bukan membesarkan pihak lain atau swasta," ungkap Mamit.
Blok B, kata Mamit, adalah sumur-sumur tua, maka dibutuhkan biaya dan juga teknologi untuk terus menjaga dan meningkatkan produksi. Ini membutuhkan biaya dan pengalaman yang kuat. "Makanya, harus mencari partner yang kuat secara teknis dan liquid pendanannya," tegasnya.
Pendapat yang sama juga disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara. Dalam pengelolaan Blok B ini Pemerintah Daerah harus transparan, apakah sepenuhnya dikelola, atau justru memberikan pengelolaan kepada Group Bakri. "Pertamina dan pemda Aceh harus transparan," kata Marwan. Terkait alih kelola blok migas yang seringkali digunakan elit untuk mengambil untung, Marwan pun meminta DPR RI maupun DPRD setempat harus bersuara. "DPR RI dan DPRD Aceh harus bersuara! Setiap ada penyerahan blok harus jelas signature bonusnya. Bakrie bayar berapa?" ungkap dia.
Pasalnya, kata dia, masuknya Group Bakrie dalam pengelolaan Blok B tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Dan sangat wajar jika masyarakat Aceh terutama Aceh Utara menolak kehadiran mereka. Sementara itu, Koordinator Koalisi Ormas Peduli Migas Blok B Mukhtar menilai PT Pema Global Energi (PGE) dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh telah mengkhianati masyarakat Kabupaten Aceh Utara. Hal itu diutarakan sehubungan alih kelola 100 persen lapangan gas Wilayah Kerja (WK) Blok B dari PT Pertamina Hulu Energi North Sumatra B-Block (PHE NSB) ke PT Pema Global Energi (PGE) merupakan badan usaha milik daerah (BUMD) Pemprov Aceh. "Sampai saat ini Aceh Utara masih menjadi penonton karena tidak dilibatkan. Padahal Blok B berada di Aceh Utara. Sebenarnya ini momen yang sungguh ditunggu masyarakat Aceh Utara setelah 42 tahun dikelola pihak lain," tukas Mukhtar.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai pemerintah perlu berhati-hati menunjuk pengelolaan blok migas, terutama di daerah. Daerah pun harus transparan, apakah benar dikelola sepenuhnya atau justru diam-diam diserahkan ke swasta. Jika diserahkan ke Grup Bakrie, masih banyak permasalahan yang ditimbulkan seperti kasus Lapindo yang sampai sekarang belum selesai. Mereka juga masih mempunyai beban utang kepada pemerintah yang belum terselesaikan. Belum lagi utang-utang mereka kepada pihak lain yang belum selesai. Jadi, Mamit menilai wajar ada kekhawtiran dari masyarakat Aceh terkait keterlibatan mereka di PT PGE. Karena bagaimanapun, industri migas adalah industri yang penuh resiko dan juga biaya tinggi.
"Track record Group Bakrie melalui anak perusahaan di sektor migas kurang bagus.Dengan kondisi keuangan Group Bakrie apakah mereka bisa berkomitmen untuk meningkatkan dan mengelola Blok B. Saya juga sedikit menyanyangkan pemda Aceh kurang berhati-hati dalam memilih partner dalam mengelola Blok B karena Blok B akan menjadi penerimaan daerah ke depannya," tegas Mamit, Senin (24/5/2021).
Pemda jika memang ingin mencari pihak swasta atau partner, lanjut Mamit, seharusnya mencari yang punya pengalaman bagus di sektor migas serta pastinya mempunyai keuangan yang bagus. "Memang untuk mengelola sendiri Blok B bagi Pemda Aceh saya kira cukup sulit dengan anggaran yang mereka miliki. Makanya mereka harus berhati-hati memilih partner," ungkap dia.
Termasuk juga, kata Mamit, PT PGE harus berkomunikasi dengan Bumi Siak Pusako, BUMD Riau yang mengelola lapangan mereka setelah diserahkan oleh Chevron. Pola kerjasama mereka dengan tetap menggandeng PHE dimana kepemilikan sebesar 50% masing-masing. "Ini lebih logis karena Pertamina mempunyai pengalaman dan sisi pendanaan juga bagus.Memang ini berbeda dengan kasus BUMD Bojonegoro dimana PI 10% yang mereka miliki di berikan kepada swasta," beber dia.
Akhirnya, kata Mamit, pemerintah mengeluarkan PerMen ESDM No 37/2016 tentang ketentuan PI 10%. Dijelaskan bahwa PI tersebut tidak bisa diperjual belikan dan di awal K3S akan menggendong terlebih dahulu dari sisi pendanaan. "Saya mengharapkan agar Pemda bisa memanfaatkan secara maksimal peluang yang sudah mereka dapatkan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Aceh, bukan membesarkan pihak lain atau swasta," ungkap Mamit.
Blok B, kata Mamit, adalah sumur-sumur tua, maka dibutuhkan biaya dan juga teknologi untuk terus menjaga dan meningkatkan produksi. Ini membutuhkan biaya dan pengalaman yang kuat. "Makanya, harus mencari partner yang kuat secara teknis dan liquid pendanannya," tegasnya.
Pendapat yang sama juga disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara. Dalam pengelolaan Blok B ini Pemerintah Daerah harus transparan, apakah sepenuhnya dikelola, atau justru memberikan pengelolaan kepada Group Bakri. "Pertamina dan pemda Aceh harus transparan," kata Marwan. Terkait alih kelola blok migas yang seringkali digunakan elit untuk mengambil untung, Marwan pun meminta DPR RI maupun DPRD setempat harus bersuara. "DPR RI dan DPRD Aceh harus bersuara! Setiap ada penyerahan blok harus jelas signature bonusnya. Bakrie bayar berapa?" ungkap dia.
Pasalnya, kata dia, masuknya Group Bakrie dalam pengelolaan Blok B tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Dan sangat wajar jika masyarakat Aceh terutama Aceh Utara menolak kehadiran mereka. Sementara itu, Koordinator Koalisi Ormas Peduli Migas Blok B Mukhtar menilai PT Pema Global Energi (PGE) dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh telah mengkhianati masyarakat Kabupaten Aceh Utara. Hal itu diutarakan sehubungan alih kelola 100 persen lapangan gas Wilayah Kerja (WK) Blok B dari PT Pertamina Hulu Energi North Sumatra B-Block (PHE NSB) ke PT Pema Global Energi (PGE) merupakan badan usaha milik daerah (BUMD) Pemprov Aceh. "Sampai saat ini Aceh Utara masih menjadi penonton karena tidak dilibatkan. Padahal Blok B berada di Aceh Utara. Sebenarnya ini momen yang sungguh ditunggu masyarakat Aceh Utara setelah 42 tahun dikelola pihak lain," tukas Mukhtar.
(nng)
tulis komentar anda