Harga BBM Tetap Tinggi, Imbas Kebijakan Akal-akalan
Senin, 20 April 2020 - 14:52 WIB
JAKARTA - Sebulan telah berlalu lalu saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjanji akan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebagai imbas terus anjloknya harga minyak dunia. Namun, sejak diucapkan tanggal 18 Maret 2020 lalu hingga hari ini, janji tersebut belum juga dipenuhi.
Tetap tingginya harga jual BBM di Indonesia pada saat harga minyak dunia sedang anjlok memang mengherankan. Apalagi, saat ini harga minyak dunia berada dalam level terendah sejak 18 tahun terakhir. Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei jatuh ke level USD24,88 per barel. Sementara, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April anjlok menjadi USD20,37 per barel. Minyak Brent merosot lebih dari 50% dalam 10 hari terakhir. Dengan penurunan-penurunan tersebut, mestinya harga BBM telah turun jauh dari posisi harga saat ini, yang terakhir kali ditetapkan pada 5 Januari 2020.
Sebagai perbandingan, saat ini Malaysia menjual Ron 95 (setara Pertamax Turbo) seharga RM1,25, atau setara dengan Rp4.500 per liter. Padahal, di Jakarta, harga Pertamax Turbo saat ini adalah Rp9.850. Ini kan gila-gilaan selisihnya. Siapa yang ambil keuntungan?
Sebagai catatan, asumsi harga minyak yang ditetapkan dalam APBN 2020 adalah USD63 per barel. Artinya, kalau harga minyak mentah hari ini kita anggap USD30 per barel saja, maka penurunannya sudah sekitar 52% dari asumsi harga yang dipatok APBN.
Memang, dalam komponen penentuan harga BBM juga ada faktor nilai tukar. Dalam APBN 2020, kurs dolar diasumsikan Rp14.400/USD. Sedangkan, per hari ini nilainya Rp15.400. Jadi, kurs melemah sekitar 6% dari asumsi. Dari selisih antara asumsi harga minyak mentah dengan kurs tersebut, harga BBM sebenarnya bisa turun 35% hingga 40%.
Kenapa kemarin Pertamina, misalnya, berani memberikan iming-iming cashback hingga 50% kepada para pengemudi ojek online? Karena harga BBM mestinya memang sudah turun cukup besar hari ini! Kebijakan hanya pada ojek online justru diskriminatif terhadap konsumen lain termasuk mereka yang membutuhkan.
Di tengah ancaman krisis ekonomi besar, yang oleh IMF disebut sebagai "The Great Lockdown", penurunan harga BBM sebenarnya bisa jadi stimulus ekonomi. Penurunan tersebut akan membantu daya beli masyarakat yang sejauh ini sudah tergerus. Penurunan itu juga akan membantu menekan ongkos logistik.
Sayangnya, bukannya menjadikan harga BBM sebagai instrumen meringankan beban ekonomi masyarakat, Pemerintah malah menjadikan momen anjloknya harga minyak ini sebagai jalan untuk mengeruk keuntungan.
Pada 28 Februari 2020 lalu, Menteri ESDM telah mengeluarkan Kepmen ESDM No. 62. K/12/MEM/2020 yang mengubah formula harga jual BBM. Kebijakan inilah yang telah membuat harga BBM kita tetap bertengger di level mahal, meskipun harga minyak mentah sebenarnya sedang anjlok. Ini kan kebijakan akal-akalan saja.
Tetap tingginya harga jual BBM di Indonesia pada saat harga minyak dunia sedang anjlok memang mengherankan. Apalagi, saat ini harga minyak dunia berada dalam level terendah sejak 18 tahun terakhir. Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei jatuh ke level USD24,88 per barel. Sementara, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April anjlok menjadi USD20,37 per barel. Minyak Brent merosot lebih dari 50% dalam 10 hari terakhir. Dengan penurunan-penurunan tersebut, mestinya harga BBM telah turun jauh dari posisi harga saat ini, yang terakhir kali ditetapkan pada 5 Januari 2020.
Sebagai perbandingan, saat ini Malaysia menjual Ron 95 (setara Pertamax Turbo) seharga RM1,25, atau setara dengan Rp4.500 per liter. Padahal, di Jakarta, harga Pertamax Turbo saat ini adalah Rp9.850. Ini kan gila-gilaan selisihnya. Siapa yang ambil keuntungan?
Sebagai catatan, asumsi harga minyak yang ditetapkan dalam APBN 2020 adalah USD63 per barel. Artinya, kalau harga minyak mentah hari ini kita anggap USD30 per barel saja, maka penurunannya sudah sekitar 52% dari asumsi harga yang dipatok APBN.
Memang, dalam komponen penentuan harga BBM juga ada faktor nilai tukar. Dalam APBN 2020, kurs dolar diasumsikan Rp14.400/USD. Sedangkan, per hari ini nilainya Rp15.400. Jadi, kurs melemah sekitar 6% dari asumsi. Dari selisih antara asumsi harga minyak mentah dengan kurs tersebut, harga BBM sebenarnya bisa turun 35% hingga 40%.
Kenapa kemarin Pertamina, misalnya, berani memberikan iming-iming cashback hingga 50% kepada para pengemudi ojek online? Karena harga BBM mestinya memang sudah turun cukup besar hari ini! Kebijakan hanya pada ojek online justru diskriminatif terhadap konsumen lain termasuk mereka yang membutuhkan.
Di tengah ancaman krisis ekonomi besar, yang oleh IMF disebut sebagai "The Great Lockdown", penurunan harga BBM sebenarnya bisa jadi stimulus ekonomi. Penurunan tersebut akan membantu daya beli masyarakat yang sejauh ini sudah tergerus. Penurunan itu juga akan membantu menekan ongkos logistik.
Sayangnya, bukannya menjadikan harga BBM sebagai instrumen meringankan beban ekonomi masyarakat, Pemerintah malah menjadikan momen anjloknya harga minyak ini sebagai jalan untuk mengeruk keuntungan.
Pada 28 Februari 2020 lalu, Menteri ESDM telah mengeluarkan Kepmen ESDM No. 62. K/12/MEM/2020 yang mengubah formula harga jual BBM. Kebijakan inilah yang telah membuat harga BBM kita tetap bertengger di level mahal, meskipun harga minyak mentah sebenarnya sedang anjlok. Ini kan kebijakan akal-akalan saja.
tulis komentar anda