Para Pakar Belejeti Dampak Minus Regulasi PLTS Atap

Minggu, 15 Agustus 2021 - 19:32 WIB
Alasan lainnya, lanjut Nanang, sistem kelistrikan ditopang banyak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang harus terus menerus beroperasi. Namun dengan regulasi tersebut, beban akan dipenuhi terlebih dahulu dari pasokan PLTS Atap. Akibatnya, operasi PLTU ditekan dari biasanya beroperasi 70-80%, turun hingga 50-60%. "Dampaknya, efisiensi PLTU menjadi rendah," ungkapnya.

Akibat dua faktor itu, jelas dia, BPP listrik dipastikan naik dan semua pelanggan PLN-lah yang akan menanggungnya. Di sisi lain, penyedia PLTS Atap yang diuntungkan hanya mewakili sebagian kecil dari jumlah pelanggan PLN. "Akibat PV Rooftop yang hanya beberapa persen itu, 70 juta pelanggan PLN harus merasakan dampak kenaikan BPP," cetusnya.

Kalaupun nantinya kenaikan itu tak dibebankan pada pelanggan PLN, imbuh Nanang, maka opsinya adalah negara yang menanggung kenaikan tersebut melalui subsidi. Hal ini tentu akan berdampak pada naiknya beban APBN. "Kalau negara mau menanggung, ya silakan," tandasnya.

Terkait dorongan untuk memasifkan pengembangan PLTS Atap di dalam negeri, Nanang menilai hal ini terkait dengan perkembangan PLTS Atap di negara tetangga. Di Vietnam, kata dia, pertumbuhan PLTS Atap cukup signifikan, mencapai 2.000 MW dalam dua tahun. Penyedia PLTS Atap di Vietnam ini menurutnya kemudian mulai bergeser ke Indonesia sehingga timbul tekanan untuk mendorong perkembangan PLTS Atap di dalam negeri.

"Inilah yang kemudian muncul tekanan hingga mengubah aturan dari sebelumnya 65% harga jual listrik Rooftop PV ke PLN menjadi 100%," kata Nanang.



Terpisah, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berharap para pihak yang berkepentingan memiliki pemahaman utuh terkait pengembangan PLTS Atap. "Jangan hanya didorong upaya mencapai target 23% EBT tanpa disertai informasi lain yang utuh. Bahwa PLTS paling cepat prosesnya betul, tetapi risiko biaya yang tinggi juga harus dipahami," jelasnya.

Risiko biaya tinggi tersebut yang timbul karena sifat PLTS Atap yang intermiten karena hanya mampu berproduksi sekitar 4-6 jam per hari, sehingga sisanya memerlukan dukungan jenis pembangkit lain. "Ini yang kalau dijumlahkan biayanya tentu lebih mahal bagi PLN," ungkap doktor kebijakan publik sektor energi dari Universitas Trisakti ini.

Karena itu, Komaidi berharap regulasi terkait PLTS Atap harus memperhatikan banyak aspek. Selain biaya, lainnya adalah bahwa saat ini sebagian besar komponennya masih sangat bergantung pada impor. "Pengembangan PLTS Atap perlu disinergikan dengan kebijakan TKDN agar manfaat ekonominya lebih besar lagi," tuturnya.
(fai)
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More