Pembangunan Rendah Karbon Bisa Memulihkan Ekonomi dan Ramah Lingkungan
Selasa, 24 Agustus 2021 - 05:47 WIB
President IBCSD/Co-Chair Global Investor for Sustainable Development Alliance (GISD Alliance), Shinta Khamdani pada kesempatan dan sesi yang sama mengatakan, saat ini para pelaku usaha telah siap untuk menjalankan kegiatan bisnis rendah karbon. Bahkan sejumlah sektor sejak beberapa tahun telah membuktikan hal itu.
Mulai dari sektor kehutanan yang terus menekan angka deforestrasi untuk ekspansi usahanya. Begitu puula dengan sektor energi yang secara berangsur meninggalkan sumber energi dari fosil. Bahkan, lanjut Shinta, tidak sedikit sektor-sektor usaha yang menggunakan biogas dari limbah ternak.
“Intinya, kontribusi sektor swasta terhadap program pembangunan rendah karbon ini mulai dari mitigasi climate change, mendukung pembangunan rendah emisi, hingga compliance dan transparansi aktifitas,” ujar Shinta.
Menurut Shinta kalangan dunia usaha sangat menyadari pembangunan rendah karbon penting untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) hingga tahun 2030 nanti.
Lebih dari itu, merek juga menyadari bahwa perubahan iklim berpotensi menghambat laju Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 20%, oleh karena itu tidak ada pilihan lain kecuali mendukung kerja keras pemerintah untuk mewujudkan Pembangunan Rendah Karbon.
Namun, transisi dari paradigma pembangunan yang ada sebelumnya menuju pembangunan rendah karbon, harus dilakukan secara mulus dan berkeadilan. Khususnya tetap mempertimbangkan daya saing dunia usaha.
“Karena kalau bicara daya saing ini bukan hanya di dalam negeri saja (lokal) saja tetapi juga bagaimana daya saing dunia usaha di tingkat global. Bagaimana berkompetisi di tingkat global harus menjadi pertimbangan," kata dia.
Chief Executive Officer Landscape Indonesia, Agus P. Sari mengatakan, saat ini kondisi dunia telah berubah dengan cepat dan eksistensi kehidupan manusia menghadapi sejumlah tantangan. Di antara tantangan itu adalah dampak iklim yang ekstrim dan naiknya suhu bumi yang diperkirakan bakal 1,5 - 4 derajat Celcius (dan kini kenaikan telah mencapai 1,3 derajat Celcius) akan secara signifikan telah mempengaruhi produktivitas makanan dan meningkatkan risiko bencana.
Pada sisi lain, tingkat deforestasi dan degradasi lahan yang tinggi, polusi udara dari kebakaran gambut, serta penggunaan bahan bakar fosil selama ini telah berdampak negatif terhadap produktivitas dan kualitas hidup manusia. Terlebih, ketika pandemi Covid-19 berkecamuk, sektor ekonomi juga mengalami dampak yang signifikan.
“Berbagai faktor ini membuat platform pembangunan yang rendah karbon penting untuk masa depan negara. Karena dalam kondisi pandemi, ekonomi kita – seperti yang pernah diungkap Presiden Joko Widodo – seperti komputer yang hang (berhenti) sehingga perlu di-restart,” kata Agus.
Mulai dari sektor kehutanan yang terus menekan angka deforestrasi untuk ekspansi usahanya. Begitu puula dengan sektor energi yang secara berangsur meninggalkan sumber energi dari fosil. Bahkan, lanjut Shinta, tidak sedikit sektor-sektor usaha yang menggunakan biogas dari limbah ternak.
“Intinya, kontribusi sektor swasta terhadap program pembangunan rendah karbon ini mulai dari mitigasi climate change, mendukung pembangunan rendah emisi, hingga compliance dan transparansi aktifitas,” ujar Shinta.
Menurut Shinta kalangan dunia usaha sangat menyadari pembangunan rendah karbon penting untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) hingga tahun 2030 nanti.
Lebih dari itu, merek juga menyadari bahwa perubahan iklim berpotensi menghambat laju Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 20%, oleh karena itu tidak ada pilihan lain kecuali mendukung kerja keras pemerintah untuk mewujudkan Pembangunan Rendah Karbon.
Namun, transisi dari paradigma pembangunan yang ada sebelumnya menuju pembangunan rendah karbon, harus dilakukan secara mulus dan berkeadilan. Khususnya tetap mempertimbangkan daya saing dunia usaha.
“Karena kalau bicara daya saing ini bukan hanya di dalam negeri saja (lokal) saja tetapi juga bagaimana daya saing dunia usaha di tingkat global. Bagaimana berkompetisi di tingkat global harus menjadi pertimbangan," kata dia.
Chief Executive Officer Landscape Indonesia, Agus P. Sari mengatakan, saat ini kondisi dunia telah berubah dengan cepat dan eksistensi kehidupan manusia menghadapi sejumlah tantangan. Di antara tantangan itu adalah dampak iklim yang ekstrim dan naiknya suhu bumi yang diperkirakan bakal 1,5 - 4 derajat Celcius (dan kini kenaikan telah mencapai 1,3 derajat Celcius) akan secara signifikan telah mempengaruhi produktivitas makanan dan meningkatkan risiko bencana.
Pada sisi lain, tingkat deforestasi dan degradasi lahan yang tinggi, polusi udara dari kebakaran gambut, serta penggunaan bahan bakar fosil selama ini telah berdampak negatif terhadap produktivitas dan kualitas hidup manusia. Terlebih, ketika pandemi Covid-19 berkecamuk, sektor ekonomi juga mengalami dampak yang signifikan.
“Berbagai faktor ini membuat platform pembangunan yang rendah karbon penting untuk masa depan negara. Karena dalam kondisi pandemi, ekonomi kita – seperti yang pernah diungkap Presiden Joko Widodo – seperti komputer yang hang (berhenti) sehingga perlu di-restart,” kata Agus.
tulis komentar anda