Meski Memberatkan, Gapki Dukung Penyesuaian Pungutan Ekspor Produk Kelapa Sawit
Selasa, 24 Agustus 2021 - 14:52 WIB
JAKARTA - Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Tofan Mahdi mengatakan, pihaknya mendukung kebijakan penyesuaian tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit untuk meningkatkan daya saing produk kelapa sawit Indonesia di pasar internasional. Pengenaan tarif baru tersebut mulai berlaku tujuh hari setelah diundangkan tanggal 25 Juni 2021 atau mulai berlaku tanggal 2 Juli 2021.
"Kami sempat berdiskusi dengan pemerintah terkait dengan tarif pungutan ekspor yang sempat cukup tinggi. Itu memang sempat memberatkan," ujarnya dalam Market Review IDX Channel, Selasa (24/8/2021).
Dia melanjutkan, sekitar 70% produk minyak sawit Indonesia terserap ekspor. Indonesia tidak bisa terus mengandalkan pasar ekspor karena bergantung pada permintaan dari negara lain. Ketika terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi secara global maka permintaan menjadi melemah sehingga pemerintah merumuskan strategi agar produk kelapa sawit bisa diserap di dalam negeri. Salah satunya pelaksanaan mandatori biodiesel B30 yang sekarang berjalan.
"Kami mendukung kebijakan pemerintah termasuk kebijakan pungutan ekspor karena untuk menjamin stabilitas harga CPO di pasar dunia. Kemudian untuk mendukung program mandatori biodiesel yang dilaksanakan pemerintah dan pada ujungnya meningkatkan kesejahteraan petani sawit karena ketika harga CPO tinggi maka yang menikmati harga bukan hanya pelaku usaha tetapi para petani sawit menjual sawitnya ke perusahaan," jelasnya.
Sesuai PMK tersebut, batas pengenaan tarif progresif berubah yang semula pada harga CPO USD670/MT menjadi USD750/MT. Apabila harga CPO di bawah atau sama dengan USD750/MT, maka tarif pungutan ekspor tetap yaitu misalnya untuk tarif produk crude sebesar USD55 per ton.
Selanjutnya, setiap kenaikan harga CPO sebesar USD50/MT akan diikuti dengan kenaikan tarif pungutan sebesar USD20/MT untuk produk minyak mentah (crude) dan USD16 per ton untuk produk turunan sampai harga CPO mencapai USD1000 per ton. Apabila harga CPO di atas USD1000 per ton, maka tarif berlaku flat sesuai tarif tertinggi masing-masing produk. Oktiani Endarwati
Baca Juga
"Kami sempat berdiskusi dengan pemerintah terkait dengan tarif pungutan ekspor yang sempat cukup tinggi. Itu memang sempat memberatkan," ujarnya dalam Market Review IDX Channel, Selasa (24/8/2021).
Dia melanjutkan, sekitar 70% produk minyak sawit Indonesia terserap ekspor. Indonesia tidak bisa terus mengandalkan pasar ekspor karena bergantung pada permintaan dari negara lain. Ketika terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi secara global maka permintaan menjadi melemah sehingga pemerintah merumuskan strategi agar produk kelapa sawit bisa diserap di dalam negeri. Salah satunya pelaksanaan mandatori biodiesel B30 yang sekarang berjalan.
"Kami mendukung kebijakan pemerintah termasuk kebijakan pungutan ekspor karena untuk menjamin stabilitas harga CPO di pasar dunia. Kemudian untuk mendukung program mandatori biodiesel yang dilaksanakan pemerintah dan pada ujungnya meningkatkan kesejahteraan petani sawit karena ketika harga CPO tinggi maka yang menikmati harga bukan hanya pelaku usaha tetapi para petani sawit menjual sawitnya ke perusahaan," jelasnya.
Sesuai PMK tersebut, batas pengenaan tarif progresif berubah yang semula pada harga CPO USD670/MT menjadi USD750/MT. Apabila harga CPO di bawah atau sama dengan USD750/MT, maka tarif pungutan ekspor tetap yaitu misalnya untuk tarif produk crude sebesar USD55 per ton.
Selanjutnya, setiap kenaikan harga CPO sebesar USD50/MT akan diikuti dengan kenaikan tarif pungutan sebesar USD20/MT untuk produk minyak mentah (crude) dan USD16 per ton untuk produk turunan sampai harga CPO mencapai USD1000 per ton. Apabila harga CPO di atas USD1000 per ton, maka tarif berlaku flat sesuai tarif tertinggi masing-masing produk. Oktiani Endarwati
(uka)
tulis komentar anda